Tinggal menghitung hari lagi, proses demokratis dengan pemilihan kepala desa akan berlangsung. Tepatnya pada tanggal 10 Juni 2012, proses tersebut akan menyelimuti desa yang bernama Srimartani. Prosesi akbar yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat untuk dapat memilih secara langsung pemimpin mereka sesuai dengan hati nurani setiap individu. Hal tersebut merupakan implementasi dari paham demokrasi yang sudah sejak awal republik sampai detik ini dianut oleh Indonesia. Walaupun sedikit terdapat kecacatan system selama 32 tahun lamanya. Pemilihan langsung yang dimulai dari kepala Negara (Presiden dan wakilnya), wakil-wakil rakyat, kepala daerah, sampai pada tataran terendah birokrasi di Indonesia, salah satunya Kepala Desa.
Lurah
adalah sebutan umum untuk kepala desa. Di beberapa tempat di Jawa tengah, nama
lurah sering disebut juga dengan Bayan. Para lurah ini mempunyai ototritas
tertinggi terhadap daerah yang dipimpinnya yakni kelurahan. Biasanya kelurahan membawahi
beberapa desa-desa. Namun, Lurah juga masih berada pada pengawasan para Camat,
begitu seterusnya system birokrasi di Indonesia.
Desa
Srimartani adalah nama kelurahan yang mencalup kurang lebih 15 desa. Terletak di
bawah pegunungan kidul, sebelum naik kea rah Wonosari, tepatnya Jl.
Piyungan-Prambanan Km 1-2. Desa ini memiliki lahan yang cukup subur dan bisa
dikatakan mata pencaharian penduduknya adalah agraris, ada juga pedagang,
pegawai, wiraswasta dan sebagainya. Multicultural di desa ini sangat tampak. Selain
itu, mayoritas penduduk adalah beragama Islam. Jarang terjadi masalah yang
tampak, artinya kerukunan antar masyarakat terjalin dengan baik.
Memang
tinggal beberapa hari lagi, tanggal 10 Juni 2012, acara pilurdes akan
dilangsungkan. Banyak harapan yang diinginkan oleh masyarakat, yakni perbaikan,
perubahan, pemerataan, dan kesejahteraan. Setiap pemimpin baru harus membawa
angin baru yang lebih segar dari sebelumnya. Pemimpin yang cakap dan visioner
terhadap perubahan jaman yang terus bergerak. Pemimpin yang tidak
mengkotak-kotakkan, tidak diskriminatif dan sebagainya.
Beberapa
gerakan kepemudaan dan juga organisasi masyarakat (ormas) sudah mulai bergerak
menyerukan pilurdes yang bersih. Bersih dalam hal ini adalah bebas dari money
politic dan praktik kotor lainnya. Beberapa spanduk telah terpampang
bertuliskan bermacam-macam. Antara lain “ulo sowo turune mlungker, ojo percoyo
janji kader” (ular sawa tidurnya melingkar, jangan percaya janji kader [calon
lurah-red]). “Pilurdes bebas money politik”, “menang a umuk, kalah ra ngamuk”
(menang tidak sombong, kalah tidak marah), “ojo karono duit semliwer, ati lan
pikiranmu keblinger, wis wancine Srimartani dipimpin wong sing resik! (jangan
karena uang bertebaran, hati dan pikiranmu goyah, sudah saatnya Srimartani
dipimpin orang yang bersih). Selain itu ada juga spanduk bertuliskan “siapapun
calon lurahnya, pemimpin untuk semua masyarakat, bukan golongan tertentu,
wujudkan good and clean governance. Begitulah kira-kira isi beberapa spanduk
yang dapat dijumpai di Srimartani.
Pelaksanaan
pesta demokrasi yang bersih khususnya dalam piurdes di Srimartani memang
dambaan bagi setiap masyarakat di mana pun berada. Gerakan moral beberapa ormas
dan organisasi kepemudaan tersebut memang positif. Artinya sikap kritis dan skeptic
terhadap sesuatu dan selalu mencari kebenaran dan keadilan tersebut memang
harus didukung. Peran pemuda sebagai agent of change tampaknya masih kuat di
desa Srimartani. Intelektual dan kepedulian social dari para pemuda ini perlu
mendapat apresiasi tersendiri.
Akan
tetapi ada hal yang lebih krusial yang perlu disoroti. Gerakan money politic
tersebut seolah-olah menjadi gerakan utama. Memang money politic adalah bentuk
jual beli suara yang berakibat memasung proses demokrasi. Pemilihan kandidat
yang seharusnya dipilih sesuai hati nurani menjadi tidak murni karena
dikangkangi oleh uang. Ini akibat sogok-menyogok, jual-beli, serangan fajar,
atau apalah sinonim yang dipakai untuk mengartikan money politic secara
membumi. Sungguh, sebuah masalah klasik yang masih saja actual di negeri ini.
Permasalahan
tersebut yakni visi-mis calon yang kurang tersentuh oleh masyarakat secara
luas. Masyarakat dihadapkan dengan calon-calon pemimpin mereka yang notabene
masih asing ditelinga. Hanya kalangan tertentu saja yang paham. Terutama terkait
dengan visi-misi dan kebijakan yang diusung oleh masing-masing calon. Publikasi
dan akses informasi yang minim membuat masyarakat bingung dan cenderung apatis.
Padahal hari H pelaksanaan pemilihan tinggal menghitung hari lagi. Selain itu
hal ini membuat proses pengkritisasian masyarakat terhadap para kandidat
otomatis menjadi melemah. Maka dari itu proses gegap gempita demokrasi
khususnya di Srimartani ini menjadi rawan penyelewengan. Meskipun secara formal
sudah diadakan debat kandidat di kelurahan, akan tetapi banyak masyarakat yang “malas”
berbondong-bondong melihat acara tersebut. Hal ini dikarenakan factor kesibukan,
memang malas, tidak tertarik dan lain sebagainya.
Stigma
umum “memilih kucing dalam karung” menjadi semakin kuat. Hal ini “mungkin” bisa
dikikis apabila akses informasi dan publikasi visi misi dari para calon
tersebar luas. Bukan hanya foto-foto para calon dan track recordnya saja. Sehingga
kampanye terselubung yang disusupi praktik kotor bisa dicegah dan berkurang. Walaupun
pasti dan masih akan terjadi praktik tersebut, meski dengan bahasa yang lebih
halus lagi. Banyak trik yang dilakukan para calon untuk merebut hati masyarakat
awam. Tingkat kreatifitas dan factor kesempatan, nampaknya kurang disadari oleh
masyarakat karena cara-cara mereka mengemas money politic menjadi lebih
berwarna.
Mungkin,
hal posisif dari spanduk gerakan moral yang dilancarkan oleh para ormas dan
gerakan kepemudaan tersebut, setidaknya menjadi proses pembelajaran politik
untuk masyarakat. Gerakan langsung juga ada, yakni dengan membentuk tim
pengawas independen pemantau pilurdes, dan sebagainya. Akan tetapi bukan hanya
prosesnya saja yang dikritisi, visi dan misi mereka itulah sasaran
pengkritisian tersebut. Hal ini karena program-program mereka lah yang akan
menentukan gerak langkah ke depan.
Ada
adagium politik yang tidak asing di telinga kita “tak ada teman sejati, tak
ada musuh yang abadi, sepanjang masih ada kompromi”. Di sini kita bisa
menarik sebuah kesimpulan sederhana, bahwa selain sikap politik yang
abu-abu, bahasa politik (janji politik-red) para politisi yang diobral
pun tak sepenuhnya konsisten ditunaikan.
Harapan
ke depan, adalah siapapun pemimpinya, pria maupun wanita tidak menjadi soal. Permasalahannya
adalah bisa tidak mereka membawa desa ini menjadi lebih sejahtera. Bukan hanya
memimpin untuk meraup kekuasaan dan keuntungan pribadi maupun kelompok. Tapi ada
hal yang lebih krusial, khalayak umum. Mereka dipilih dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat. Maka mereka harus bekerja untuk rakyat secara keseluruhan. Jangan
bangga dengan amanah (pemimpin-red), karena apa yang kau pimpin akan
dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Jangan merasa arogan dengan
kekuasaan, anda adalah pemerintah, yang berarti orang yang memberikan perintah.
Tetapi perintah itu adalah hasil keputusan masyarakat. Jangan anda membuat
keputusan sepihak mengatasnamakan masyarakat. Kepada masyarakat, jangan takut
kepada pemimpin, presiden sekali pun. Pemimpin hanyalah symbol dari kekuasaan. Lakukan
protes apabila hak anda tidak terpenuhi, turun ke jalan, berteriak sekencang
mungkin. Jika tidak mendengar maka silahkan diadili !
[Murni
Opini Pribadi, mohon maaf jika ada yang tersinggung, bukan maksud saya
menyinggung. Yang saya inginkan hanya perbaikan dan perubahan. Fastabiqul Khoirot.]
Munggur, 2 Juni 2012.
03:26 AM
Hasby Marwahid
0 komentar:
Posting Komentar