Jumat, 08 Juni 2012

Pemilihan, Polemik dan Dilema



Tinggal menghitung hari lagi, proses demokratis dengan pemilihan kepala desa akan berlangsung. Tepatnya pada tanggal 10 Juni 2012, proses tersebut akan menyelimuti desa yang bernama Srimartani. Prosesi akbar yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat untuk dapat memilih secara langsung pemimpin mereka sesuai dengan hati nurani setiap individu. Hal tersebut merupakan implementasi dari paham demokrasi yang sudah sejak awal republik sampai detik ini dianut oleh Indonesia. Walaupun sedikit terdapat kecacatan system selama 32 tahun lamanya. Pemilihan langsung yang dimulai dari kepala Negara (Presiden dan wakilnya), wakil-wakil rakyat, kepala daerah, sampai pada tataran terendah birokrasi di Indonesia, salah satunya Kepala Desa.
Lurah adalah sebutan umum untuk kepala desa. Di beberapa tempat di Jawa tengah, nama lurah sering disebut juga dengan Bayan. Para lurah ini mempunyai ototritas tertinggi terhadap daerah yang dipimpinnya yakni kelurahan. Biasanya kelurahan membawahi beberapa desa-desa. Namun, Lurah juga masih berada pada pengawasan para Camat, begitu seterusnya system birokrasi di Indonesia.
Desa Srimartani adalah nama kelurahan yang mencalup kurang lebih 15 desa. Terletak di bawah pegunungan kidul, sebelum naik kea rah Wonosari, tepatnya Jl. Piyungan-Prambanan Km 1-2. Desa ini memiliki lahan yang cukup subur dan bisa dikatakan mata pencaharian penduduknya adalah agraris, ada juga pedagang, pegawai, wiraswasta dan sebagainya. Multicultural di desa ini sangat tampak. Selain itu, mayoritas penduduk adalah beragama Islam. Jarang terjadi masalah yang tampak, artinya kerukunan antar masyarakat terjalin dengan baik.
Memang tinggal beberapa hari lagi, tanggal 10 Juni 2012, acara pilurdes akan dilangsungkan. Banyak harapan yang diinginkan oleh masyarakat, yakni perbaikan, perubahan, pemerataan, dan kesejahteraan. Setiap pemimpin baru harus membawa angin baru yang lebih segar dari sebelumnya. Pemimpin yang cakap dan visioner terhadap perubahan jaman yang terus bergerak. Pemimpin yang tidak mengkotak-kotakkan, tidak diskriminatif dan sebagainya.
Beberapa gerakan kepemudaan dan juga organisasi masyarakat (ormas) sudah mulai bergerak menyerukan pilurdes yang bersih. Bersih dalam hal ini adalah bebas dari money politic dan praktik kotor lainnya. Beberapa spanduk telah terpampang bertuliskan bermacam-macam. Antara lain “ulo sowo turune mlungker, ojo percoyo janji kader” (ular sawa tidurnya melingkar, jangan percaya janji kader [calon lurah-red]). “Pilurdes bebas money politik”, “menang a umuk, kalah ra ngamuk” (menang tidak sombong, kalah tidak marah), “ojo karono duit semliwer, ati lan pikiranmu keblinger, wis wancine Srimartani dipimpin wong sing resik! (jangan karena uang bertebaran, hati dan pikiranmu goyah, sudah saatnya Srimartani dipimpin orang yang bersih). Selain itu ada juga spanduk bertuliskan “siapapun calon lurahnya, pemimpin untuk semua masyarakat, bukan golongan tertentu, wujudkan good and clean governance. Begitulah kira-kira isi beberapa spanduk yang dapat dijumpai di Srimartani.
Pelaksanaan pesta demokrasi yang bersih khususnya dalam piurdes di Srimartani memang dambaan bagi setiap masyarakat di mana pun berada. Gerakan moral beberapa ormas dan organisasi kepemudaan tersebut memang positif. Artinya sikap kritis dan skeptic terhadap sesuatu dan selalu mencari kebenaran dan keadilan tersebut memang harus didukung. Peran pemuda sebagai agent of change tampaknya masih kuat di desa Srimartani. Intelektual dan kepedulian social dari para pemuda ini perlu mendapat apresiasi tersendiri.
Akan tetapi ada hal yang lebih krusial yang perlu disoroti. Gerakan money politic tersebut seolah-olah menjadi gerakan utama. Memang money politic adalah bentuk jual beli suara yang berakibat memasung proses demokrasi. Pemilihan kandidat yang seharusnya dipilih sesuai hati nurani menjadi tidak murni karena dikangkangi oleh uang. Ini akibat sogok-menyogok, jual-beli, serangan fajar, atau apalah sinonim yang dipakai untuk mengartikan money politic secara membumi. Sungguh, sebuah masalah klasik yang masih saja actual di negeri ini.
Permasalahan tersebut yakni visi-mis calon yang kurang tersentuh oleh masyarakat secara luas. Masyarakat dihadapkan dengan calon-calon pemimpin mereka yang notabene masih asing ditelinga. Hanya kalangan tertentu saja yang paham. Terutama terkait dengan visi-misi dan kebijakan yang diusung oleh masing-masing calon. Publikasi dan akses informasi yang minim membuat masyarakat bingung dan cenderung apatis. Padahal hari H pelaksanaan pemilihan tinggal menghitung hari lagi. Selain itu hal ini membuat proses pengkritisasian masyarakat terhadap para kandidat otomatis menjadi melemah. Maka dari itu proses gegap gempita demokrasi khususnya di Srimartani ini menjadi rawan penyelewengan. Meskipun secara formal sudah diadakan debat kandidat di kelurahan, akan tetapi banyak masyarakat yang “malas” berbondong-bondong melihat acara tersebut. Hal ini dikarenakan factor kesibukan, memang malas, tidak tertarik dan lain sebagainya.
Stigma umum “memilih kucing dalam karung” menjadi semakin kuat. Hal ini “mungkin” bisa dikikis apabila akses informasi dan publikasi visi misi dari para calon tersebar luas. Bukan hanya foto-foto para calon dan track recordnya saja. Sehingga kampanye terselubung yang disusupi praktik kotor bisa dicegah dan berkurang. Walaupun pasti dan masih akan terjadi praktik tersebut, meski dengan bahasa yang lebih halus lagi. Banyak trik yang dilakukan para calon untuk merebut hati masyarakat awam. Tingkat kreatifitas dan factor kesempatan, nampaknya kurang disadari oleh masyarakat karena cara-cara mereka mengemas money politic menjadi lebih berwarna.
Mungkin, hal posisif dari spanduk gerakan moral yang dilancarkan oleh para ormas dan gerakan kepemudaan tersebut, setidaknya menjadi proses pembelajaran politik untuk masyarakat. Gerakan langsung juga ada, yakni dengan membentuk tim pengawas independen pemantau pilurdes, dan sebagainya. Akan tetapi bukan hanya prosesnya saja yang dikritisi, visi dan misi mereka itulah sasaran pengkritisian tersebut. Hal ini karena program-program mereka lah yang akan menentukan gerak langkah ke depan.
Ada adagium politik yang tidak asing di telinga kita “tak ada teman sejati,  tak ada  musuh yang abadi, sepanjang masih ada kompromi”. Di sini kita bisa menarik sebuah kesimpulan sederhana, bahwa selain sikap politik yang abu-abu,  bahasa politik (janji politik-red) para politisi yang diobral pun tak sepenuhnya konsisten ditunaikan.
Harapan ke depan, adalah siapapun pemimpinya, pria maupun wanita tidak menjadi soal. Permasalahannya adalah bisa tidak mereka membawa desa ini menjadi lebih sejahtera. Bukan hanya memimpin untuk meraup kekuasaan dan keuntungan pribadi maupun kelompok. Tapi ada hal yang lebih krusial, khalayak umum. Mereka dipilih dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Maka mereka harus bekerja untuk rakyat secara keseluruhan. Jangan bangga dengan amanah (pemimpin-red), karena apa yang kau pimpin akan dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Jangan merasa arogan dengan kekuasaan, anda adalah pemerintah, yang berarti orang yang memberikan perintah. Tetapi perintah itu adalah hasil keputusan masyarakat. Jangan anda membuat keputusan sepihak mengatasnamakan masyarakat. Kepada masyarakat, jangan takut kepada pemimpin, presiden sekali pun. Pemimpin hanyalah symbol dari kekuasaan. Lakukan protes apabila hak anda tidak terpenuhi, turun ke jalan, berteriak sekencang mungkin. Jika tidak mendengar maka silahkan diadili !
[Murni Opini Pribadi, mohon maaf jika ada yang tersinggung, bukan maksud saya menyinggung. Yang saya inginkan hanya perbaikan dan perubahan. Fastabiqul Khoirot.]

 
Munggur, 2 Juni 2012.
03:26 AM
Hasby Marwahid

0 komentar:

Posting Komentar