Pada abad ke -19, historiografi lebih menekankan terhadap individu dan para elit. Sejarawan Barat yang terkenal sebagai bapak sejarah modern yaitu Leopold von Ranke. Berkat karyanya “ A Critique of Modern Historical Writers”. Sejarah moden juga dikenal dengan sejarah kritis karena menekankan kritik dalam penulisan sejarah. Hal ini berkaitan dengan perubahan dari penggunaan sumber sejarah lama (kronik) ke penggunaan ‘arsip resmi pemerintah.[1] Di sini sejarawan mulai menggeluti arsip dan mengembangkan teknik-teknik yang semakin modernuntuk menilai reability dokumen-dokumen arsip. Hasil kerja sejarawan berupa fakta-fakta obyektif, mereka berpendapat bahwa historiografi mereka lebih obyektif dan ilmiah dibanding dari pada para pendahulunya. Tugas sejarawan adalah memaparkan fakta-fakta sejarah secara kronologis dan logis, dengan meminimalkan intrepertasi.[2] Munculnya ilmu sejarah modern ada korelasinya dengan munculnya ilmu-imu sosial seperti sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Hal ini dimaksud untuk menandaskan bahwa ilmu sejarah sebagai ilmu tersendiri yang berbeda dengan disiplin ilmu ilmu-ilmu lain.
Dalam perjalanannya sejarah modern dikenal sebagai sejarah konvensional dikarenakan obyek kajiannya fokus pada sejarah politik yang mementingkan orang besar. Sejarah adalah sejarahnya orang besar atau great man in history. Sebagaimana anak zaman, sejarawan pada waktu itu mengisi panggung sejarah hanya para pembesar, raja, negarawan, jenderal perang.[3] Sejarah konvensional adalah tulisan sejarah yang menekankan pada proses terjadinya suatu peristiwa. Di dalamnya sudah tercakup pertanyaan 5W+1H ( who, what, when, where, why, dan how). Sejarah konvensional bersifat diskriptif-naratif. Ternyata teori Ranke itu mendapat mendapat kritikan dari sejarawan Amerika, Carl L Barker. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap fakta dan pembedaan fakta keras (hard fact) dan fakta lunak (cold fact) hanya ilusi. Sejarah yang obyektif itu tidak ada, seperti halnya ternyata ilmu alam pun penuh ketidakpastian.[4]
Sejarah baru (New History) dimulai oleh sejarawan Amerika, James Harvey Robinson dan Carl L Becker. Sejarah baru, menekankan pentingnya ilmu-ilmu sosial. Sejarah ini dikenal dengan multidimensional, yaitu sejarah dengan menggunakan pendekatan multidimensional yang diambil dari konsep, paradigma, dan teori-teori ilmu sosial. Sejarah baru, menolak pembatasan sejarah konvensional yang hanya menekankan pada aktifitas politik, konstitusi, militer, sejarah baru memanfaatkan temuan ilmu-ilmu sosial tentang studi kemanusiaan. Sejarah baru, disebut sejarah ilmiah (scientific history) atau sejarah sosial ilmiah dan kalau semua aspek dipresentasikan disebut sejarah total. Gagasan awal Robinson adalah bahwa arti luas dari sejarah sesungguhnya termasuk semua jejak dan semua yang ditinggalkan manusia. Pakar antropologi, sosiologi, psikologi ekonomi telah menemukan beberapa butir yang sangat penting bagi perkembangan sejarah dan dianggap berguna untuk mengaktualisasikan keaslian, kemajuan dan prospek sejarah masa depan. Perkembangan ilmu sosial yang revolusioner yang terjadi, maka sejarah harus mengikuti agar tidak ketinggalan . gagasan sejarah yang anarkis dan cirinya yang khas harus ditinggalkan.[5]
Ciri khas sejarah sosial ilmiah, dalam bukunya suhartono, teori dan metodologi sejarah menyebutkan antara lain untuk menghasilkan sejarah kolektif, sejarawan sejarah sosial ilmiah mencoba untuk menceritakan dan memahami pola-pola perilaku kolektif dalam arti konsep teoritis dan model, dan percaya sepenuhnya pada perbandingan. Tidak dapat dipungkiri bahwa semua ilmu mempunyai kandungan sejarahnya, artinya dimana-mana dan disetiap cabang ilmu, sejarah melekat di setiap disiplin ilmu, sebaliknya sejarah memanfaatkan perkembengan ilmu sosial. Artinya keduanya saling melekat dan mengutungkan. Unsur diakronis sejarah akan menjadi makin kaya dengan sumbangan unsur sinkronis dari ilmu sosial[6]. Dalam perkembangan ilmu sosial, sejarah tertarik untuk mengikuti perkembangan ilmu itu, terutama setelah kelompok annales di Prancis mengembangkan sejarah sosial.[7]
Sekarang sejarah dilihat bukan dari atas, tetapi berkembang mengetengahkan peran orang kecil, wong cilik, rakyat. Rakyat kecil yang teridentifikasi menjadi beberapa kelompok seperti petani, buruh, pedagang(kecil), nelayan, seniman(kecil) mulai dilihat perannya dalam sejarah.[8] Mereka menduduki struktur bawah, akan tetapi sebenarnya perannya dapat lebih tinggi dalam menopang kehidupan pusat pemerintahan. Sejarah diisi oleh semua lapisan masyarakat, maka dari itu sejarah petani (peasant history), sejarah buruh (labor history), mulai banyak diminati, bukan monopoli orang besar saja, tetapi kawulo alit pun berhak dijelaskan dalam sejarah.[9] The New History, sejarah sosial baru di indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Sartono Kartodirjo pada tahun 1960-an dengan disertasinya “ Peasant Revolt of Banten in 1888”, ia memperkenalkan dan kemudian mengembangkan sejarah sosial. Petani di Banten yang menghadapi pemerintah kolonial melakuakan gerakan pembebasan atau pemberontakan melawan pemerintah kolonial. Gerakan petani itu didekatinya lewat pendekatan multidimensional.
Pendekatan monodimensi dianggap kurang mampu menjelaskan persoalan yang multikompleks. Maka dari itu kompleksitas persoalan harus didekati secara multidimensional. Pendekatan konvensional dapat dikatakan kering dan tidak explanable. Pendekatan baru untungnya karena berbagai dimensi disoroti meski setiap dimensi tidak sama kuatnya. Ternyata sejarah lama (old history) yang konvensional berbeda dengan sejarah baru (new history). Historiografi sejarah lama cakupannya terbatas, sedangkan yang baru lebih luas karena menggunakan konsep analisis ilmu sosial.
Perbedaan[10]
Old History
|
New History
|
Sejarah konvensional, tradisional, total history
|
Sejarah ilmiah, sejarah sosial ilmiah
|
Tekanan pada peristiwa
|
Problema atau masalah
|
Ruang terbatas pada pengalaman aspek manusia masa lalu
|
Luas, meliputi semua kehidupan
|
Tema terbatas politik dan ekonomi
|
Luas, beragam dengan jenis-jenis sejarah baru
|
Pelaku sejarah orang besar
|
Semua lapisan masyarakat
|
Penjelasan deskriptif-naratif
|
Analitis kritis
|
Tanpa pendekatan ilmu sosial, monodisipliner
|
Interdisipliner, multidimensional
|
Pendekatan ilmu sosial dalam sejarah memang sudah menjadi komitmen Prof. Sartono sejak tahun 1960-an. Ilmu sosial dengan multidimensionalitasnya adalah pegangan dalam penelitian sejarah Indonesia. Menurut Prof. Suhartono, sementara suara sumbang mengatakan bahwa pendekatan multidimensional itu gagal. Kegagalan itu diperkirakan karena distorsi yang disebabkan generasi penerus kurang dapat memahami multidimensionalitas yang terlalu luas dan dalam, pembahasan dan bahannya. Ia menduga bahwa multidimensionalitas tidak gagal dalam historiografi Indonesia, tetapi generasi pewarisnya. Pewarisnya sendiri tidak berhasil menunjukan ciri baru sebagai pewaris historiografi sebelumnya. Banyak sejarawan tersebar di universitas-universitas di nusantara ini menekuni sejarah sosial. Hanya disayangkan karena semangatnya mereka hanya mencantumkan label pendekatan multidimensional. Sedangkan isinya konvensional.
Selain itu hubungan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial sangatlah dekat, artinya terjadi korelasi timbal balik antar keduanya. Kalau dilihat dari jenis dan lingkup keilmuannya memiliki perbedaan hakiki. Namun, perbedaan itu dapat dikombinasikan sesuai dengan keburuhan.
Perbedaan Ilmu Sejarah dan Ilmu Sosial.[11]
Ilmu Sejarah
|
Ilmu-ilmu sosial
|
Masa lampau
|
Masa kini
|
Temporal-spasial
|
Atemporal-aspasial
|
Diakronik
|
Sinkronik
|
Ideografik
|
Monotetik
|
Partikularistik
|
Generalistik
|
Sekali terjadi
|
Berulang kali terjadi
|
Tidak teratur
|
Teratur
|
Tidak dapat dikaji ulang
|
Dapat dikaji ulang
|
Tidak untuk diprediksi
|
Dapat untuk diprediksi
|
Didalam sebuah lingkaran ilmu, sejarah ada ditengah ilmu-ilmu sosial. Diantara ilmu sosial tersebut yang paling dekat dengan sejarah adalah sosiologi, antropologi, politikologi, ekonomi dan lain sebagainya. Sejarah ada ditengah-tengah ilmu sosial membahas perubahan, konflik, revolusi, peradaban, penjelajahan dan isme-isme. Sejarah bergulat makin mempunyai wawasan untuk dikerjakan terutama problem dan konsep. Sebaliknya ilmu-ilmu sosial juga memanfaatkan sejarah , event dan proses. Dengan kata lain, sejarah terhindar dari kompartementalisasi.[12]
Dafar Pustaka
Kartodirjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Rochmat, Saefur. 2007. Pengantar Ilmu Sejarah (diktat Kuliah). Yogyakarta: UNY.
W Pranoto, Suhartono. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[1] Saefur Rochmat, Pengantar Ilmu Sejarah (diktat kuliah),( Yogyakarta:UNY, 2007),. hal. 19.
[2] ibid
[3] Suhartono, Teori dan Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 121
[4] Saefur Rochmat,. op. cit. hal. 21
[5] Suhartono(2010), op. cit., hal. 123.
[6] ibid,. hal. 125
[7] ibid, annales d’histoire sociale economique, mereka mengajak tidak hanya mempelajari ilmu sendiri tetapi juga ilmu lain. Lihat juga Suhartono (2010), hal. 122.
[8] ibid.,
[9] Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992). hal. 183-194.
[10] Suhartono,.op.cit. hal. 131.
[11] Sartono Kartodirjo,. op.cit,. hal. 183-194.
[12] Suhartono, op. cit., hal. 132.
0 komentar:
Posting Komentar