Kamis, 21 Maret 2013

Dinamika Islam Masa Jepang 1941-1945


Oleh : Hasbi Marwahid

Berita pecahnya perang dengan penyerbuan Negeri Belanda oleh tentara Jerman pada tanggal 10 Mei 1940 disambut di seluruh Indonesia dengan rasa simpati kepada bangsa Belanda disertai pernyataan kesediaan untuk kerja sama agar usaha dapat ditingkatkan. Pada umumnya Indonesia menyadari bahwa dengan jatuhnya Negeri Belanda ke tangan Jerman, Indonesia mempunyai kedudukan dan peranan penting di dunia internasional. Persepsi kaum nasionalis mengenai situasi tersebut adalah bahwa dengan sikap moderat, dan kemauan bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda, usul untuk mengadakan perubahan ketatanegaran dan penentuan nasib sendiri dapat direalisasikan.
Bahwasanya ide tersebut memang sesuai dengan situasi zaman, terbukti jelas dari isi pidato Ratu Wilhelmina tahun 1941 dan isi Piagam Atlantik pada tahun yang sama. Sekutu memproklamirkan Piagam Atlantik, sehingga secara disengaja atau tidak, memberikan harapan kepada bangsa-bangsa yang hidup dalam penjajahan untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri. Namun, ternyata Pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa pada saat itu bukan waktu yang tepat untuk membicarakan percobaan politik yang baru. Bahkan pelakuan pun sangat keras terhadap kaum pergerakan di Indonesia. Pemerintah memproklamirkan bahwa Hindia Belanda berada di bawah undang-undang keadaan darurat perang dan segala rapat-rapat politik, baik yang bersifat umum dan tertutup juga dilarang.[1]
Pecahnya Perang Asia Timur Raya dimulai dengan tindakan Jepang menyerang pangkalan laut Amerika Serikat, Pearl Harbour pada tanggal 8 Desember 1941. Selain itu, serangan Jepang terhadap daerah-daerah kekuasaan milik sekutu yang berada di selatan, yakni Asia Tenggara, dipusatkan pada Singapura dan Jawa.[2] Pada saat itu Singapura adalah pusat kekuasaan Inggris di Asia Tenggara, sedangkan Jawa adalah pusat kekuasaan Belanda. Wilayah Asia Tenggara adalah daerah yang kaya dengan bahan-bahan mentah, seperti karet, beras dan minyak bumi. Hal ini sangat berguna untuk Jepang dalam upaya memanfaatkan bahan-bahan mentah tersebut untuk keperluan memenangkan perang.

Senin, 04 Maret 2013

Ironi Sebuah TOA

Sebuah speaker atau yang lebih dikenal dengan TOA rupa-rupanya memiliki banyak sekali manfaatnya. Salah satunya untuk masjid. Biasanya TOA ini digunakan di masjid-masjid untuk mengeraskan suara, baik suara adzan, pengumuman informasi baik lelayu maupun informasi penting lainnya, ataupun saat adanya kegiatan pengajian berlangsung. Tujuannya supaya suara tersebut terdengar di saentero wilayah kampung atau daerah disekitaran masjid. Utamanya adalah menunjukkan waktu shalat segera dimulai. Adzan, begitu adzan dikumandangkan, suara begitu keras tersebut menggugah masyarakat untuk segera bergegas menuju kemasjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Sejarahnya, dulu pada zaman Islam era Rosulullah, adalah Billal bin Rabbah yang ditunjuk menjadi tukang adzan (muadzin/modin) karena suaranya yang keras. Suara yang keras tersebut  menggugah kaum muslimin untuk menghentikan aktfitas sejenak dan melaksanakan shalat. Seiring berkembangnya zaman yang terus maju, tekhnologi terus melakukan inovasi. Di Jawa misalnya,  setelah adzan dikumandangkan, kemudian diikuti dengan bunyi kentongan atau bedug yang bertalu-talu. Namun, setelah ditemukannya pengeras suara modern, TOA mulai diadabtasi di masjid-masjid karena dinilai efektif untuk mengeraskan suara modin yang masih manual.