Rabu, 02 Desember 2015

Dialog Sebuah Foto

“Mas, sepertinya kita sudahan dulu ya. Aku lelah hubungan yang seperti ini”, ucap wanita itu dengan cepatnya.
“Tapi kan, rencana yang sudah kita buat? Lantas?”, lelaki itu menjawab sekenanya. Pernyataan wanita itu bagai sebuah bom atom yang jatuh tepat di ulu hatinya. Tangannya menggigil dan tubuhnya lemas.
“Aku lelah mas, lelah! Kamu tidak tahu betapa tersiksanya aku dengan hubungan seperti ini”, sesenggukan wanita itu terus menjawab. Tangisnya meledak-ledak dan kata bercampur rauangan tangis. Suaranya menjadi bias dan tidak jelas.
“Aku bisa jelaskan dulu…”, tidak kalah hebat, lelaki itu terbawa oleh suasana. Tangisnya pun tidak dapat ditutupi meski dia terus mencoba tegar dan tidak terlihat cengeng.
“Tuuuutttt..tuuuttttt..tuutttt. bunyi telepon yang terputus. Tidak ada suara lagi. Hanya tangis masing-masing yang terdengar. Mereka mencoba memahami dan berdamai dengan tangisnya sendiri-sendiri. Telepon yang terputus itu seakan lonceng akhir dari terputusnya jalinan asmara dua insan yang direkatkan dalam sebuah komitmen dan cita-cita bersama. Hanya, telepon yang menjadi saksi, betapa nestapanya sebuah hubungan sirna. Hanya komunikasi maya, hanya suara-suara yang serak diiringi tangis yang mengalun menusuk ceruk-ceruk cakrawala.

Malam menjelma menjadi dingin. Gelap dan dingin. Persis. Mengisyaratkan suasana hati yang tak bisa digambarkan lagi dengan apa pun, kecuali memang remuk redam. Botam menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Matanya tidak henti-hentinya surut dari berderainya air mata. Ia tutupi kepalanya dengan bantal dan mulutnya meraung-raung. Berteriak. Mungkin dengan berteriak satu masalah menjadi tenang dan hilang. Tidak. Pikirannya tetap melayang-layang. Entah sadar atau tidak. Kejadian lewat begitu saja, tanpa sebab musabab yang jelas. “Ini membingungkan, apa salahku?” pikir Botam dalam hati. Sudah kulakukan semua yang aku bisa, sepertinya tidak sedikitpun aku mengecewakan. Kita sudah berjanji, kita sudah ikat janji itu dalam sebuah ikatan pikiran yang kuat. Sudah tali temali kedalam pikiran kita masing-masing. Ah jarak. Kenapa jarak yang mengecilkan cita-cita kita yang lebih Agung? Bukannya jarak menjadikan kita untuk lebih saling percaya akan kekuatan cinta, lantas setelah bertemu akan meledakkan kerinduan yang kering dengan pertemuan itu menjadi Maha dahsyat. Tapi?!”, Botam terus berpikir dalam hati disertai tangis dan sesenggukan. Nafasnya menjadi sesak. Hidungnya tersumbat air peluhnya.