A.
Biografi Singkat Ki Bagus Hadikusumo
Nama
kecil Ki Bagus Hadikusumo adalah Raden Hidayat. Ia lahir pada tanggal 24
November 1890 di kampung Kauman[1]
Yogyakarta dan meninggal pada tanggal 3 September 1954. Ia merupakan putra
ketiga dari lima bersaudara, ayahnya bernama Raden Hasyim, seorang pejabat
agama Islam atau abdi dalem lurah bidang keagamaan Keraton Yogyakarta pada masa
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Keluarga Raden Hidayat termasuk keluarga yang
taat beragama, serta termasuk keluarga yang berhasil mendidik putra-putrinya
menjadi seorang yang shaleh. Kelima anak dari Raden Hidayat tercatat sebagai
tokoh-tokoh Muhammadiyah yang cukup dikenal secara luas dikalangan
Muhammadiyah, yaitu H. Sudjak, KH Fachrudin[2],
Ki Bagus Hadikusumo, KH. Zaini, dan Siti Munjiyah.[3]
Pendidikan
yang dilewati Ki Bagus, sebagaimana anak-anak pada waktu itu hanya sampai pada
sekolah rakyat, selebihnya dilakukan dengan mengaji kepada para ulama yang ada
di kampung Kauman dan sekitarnya. Selain menimba ilmu di pesantren Wonokromo,
Ki Bagus juga menekuni secara langsung pengajaran dari KH Ahmad Dahlan. Ilmu
yang diperoleh tersebut ditambah dengan karya karya ulama lainnya berpengaruh
pada dirinya. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya Ki Bagus lainnya seperti Poetaka
Iman, Risalah Katresnan Djati, Poestaka Hadi dan Poetaka Islam.[4]
Selain itu juga tercermin lewat pemikiran-pemikiran lepas maupun sikap hidup
yang ditunjukan oleh Ki Bagus sendiri. Motivasi untuk berjuang menyebarkan
agama Islam yang sebenar-benarnya juga sangat besar, ini terlihat Ki Bagus
sering mendapat tugas untuk bertabligh ke pelosok-pelosok sambil membawa barang
dagangan yang sekiranya laku dijual.[5]
Ki
Bagus sangat tegas, disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Secara tetap dia
melakukan kontrol pada pekerjaan-pekerjaan yang dihadapi anak-anaknya mulai
dari ibadah, belajar, waktu bermain, bekerja, serta kewajiban-kewajiban
lainnya. Ki Bagus adalah ulama yang sangat konsekuen terhadap ilmu dan
keyakinannya, ia adalah orang yang teguh dalam pendiriannya. Tidak hanya
aturan-aturan agama saja yang dijunjung tinggi, akan tetapi keputusan rapat
yang telah disepakati bersama harus tetap dilaksanakan. Ki Bagus bukan ahli
politik ataupun tata negara. Ia adalah seorang ulama yang mempunyai cita-cita,
yaitu Islam yang menjadi keyakinannya. Baginya segala pembicaraan yang sudah
menyentuh keyakinan, maka ia takkan mundur. Oleh karena itu dalam dunia
pergerakan ia selalu berada dibelakang, akan tetapi apabila perjuangan sudah
sampai taraf mempetahankan keyakinan barulah ia maju kedepan untuk menyatakan
menang atau kalah.
Terlepas
dari segala kekurangan yang ada dalam diri Ki Bagus Hadikusumo sebagai seorang
manusia, ia adalah orang yang konsekuen dengan apa yang diyakininya. Sebagai
seorang ulama, guru, pemimpin, selaigus ayah ia berusaha dengan segala
kemampuan untuk menjalankan ajaran agamanya. Apa yang dilakuakan Ki Bagus baik
pada masa penjajahan maupun dalam Persyarikatan Muhammadiyah tidak lepas dari
keyakinan yang dipegang secara teguh. Keyakinan itu adalah mempertahankan
kebenaran dan keadilan serta ketauhidan.
- Peran Ki Bagus Hadikusumo dibidang Politik
Gagasan
dan perilaku politik tentang negara Islam baru muncul secara resmi di panggung
politik yaitu beberapa bulan menjelang diproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu ketika BPUPKI bertugas menyusun UUD. Untuk
dasar negara telah muncul tiga konsep: Islam, Pancasila, dan sosial-ekonomi. Namun,
konsep terakhir tenggelam setelah terjadi tarik-menarik antara dua konsep,
yaitu pancasila dan Islam. Akhir dari tarik menarik ini adalah dihasilkannya
Piagam Jakarta yang dirancang, dirumuskan, dan ditandatangani oleh panitia
sembilan tanggal 22 Juni 1945 sebagai konsensus dari dua sayap.
Golongan
Islam ingin mengusung konsep negara berdasar Islam, artinya mereka ingin
menjadikan Indonesia berdasarkan Islam. Negara Islam sebagai konsep, isinya menekankan subtansi,
dengan menjadikan ajaran Islam sebagai Undang-undang negara. Isu Islam sebagai
dasar negara sangat mewarnai percakapan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI
pada 1945 sidang-sidang konstituante pada 1957-1959.[6]
Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh vokal yang
mewakili golongan Islam dalam sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945 mengeluarkan
pernyataan yang intinya “membangun negara di atas ajaran Islam”. Gagasannya
tersebut didasarkan pada alasan sosio-historis dan pemahaman terhadap ajaran
Islam. Menurut Ki Bagus, agama Islam paling tidak sudah enam abad menjadi agama
bangsa Indonesia. Adat istiadat dan hukum islam sudah berlaku lama di Indonesia.
Mayoritas
penduduk yang berjiwa islam tidaklah pasif, tetapi aktif dan terus menerus
hidup bersemangat. Jiwa yang hidup menggerakkan aktifitas sosial artinya
meskipun keadaan ekonomi masih lemah dan rendah sebagai akibat penindasan dan
pemerasan kolonial Belanda namun kaum muslimin tetap dapat mendirikan
beribu-ribu pondok pesantren , mushola, dan masjid yang digunakan untuk
keperluan umum.[7] Di masa
modern ini, dibangun pula beribu-ribu sekolah, madrasah, dan berbagai balai
pertolongan seperti rumah sakit, rumah yatim dan sebagainya.[8]
Alasan yang kedua tentang pemahaman atas ajaran Islam, Ki Bagus Hadikusuma
mendasarkan keinginannya agar Islam dijadikan dasar negara pada pemahaman Islam
secara substansial dan menyeluruh. Substansi dan sistematika ajaran Islam meliputi
iman, ibadah, amal shaleh dan jihad.[9] Keempat aspek ajaran
ini merupakan ringkasan ajaran Islam yang diajarkan dan dipimpinkan Rosulullah
SAW dalam rangka memperbaiki negara atau masyarakat.
Ringkasan
ajaran Islam tersebut kemudian disampaikan dalam sidang BPUPKI tahun 1945 dan
dalam Muktamar Muhammadiyahke-31. Ki
Bagus menyampaikan pidato tentang Islam sebagai dasar negara akan tidak dimuat
dalam dokumen negara yang disusun oleh Muhammad Yamin, begitu juga dengan
pidato dari golongan Islam lainnya seperti Mas Mansyur, Muzakkir, Wahid Hasyim.[10]
Demikian pula yang terjadi dengan pidato Mohammad Hatta, sehingga Hatta
menyebut Yamin “manusia licik”.[11]
Sidang tersebut berlangsung pada tanggal 29, 30, dan 31 Mei 1945, yang membahas
tentang dasar negara Indonesia, daerah negara dan kebangsaan Indonesia. Sidang
tersebut diketuai oleh Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat.
Dalam
masa reses selama hampir 40 hari, 2 Juni-9 Juli 1945 terbentuklah panitia kecil
yang beranggotakan sembilan orang, karenanya lebih dikenal dengan panitia
sembilan. Kesembilan panitia kecil adalah : Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, A.A Maramis, Ahmad Subarjo, Abdul Kahar Muzakir, K.H Wachid Hasyim, Agus Salim, Abikusno Tjokrosujono.[12] Pada tanggal 22
Juni 1945 – panitia sembilan
menghasilkan
dokumen-dokumen yang kemudian
oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) itu akhirnya diterima
bulat dan ditandatangani oleh BPUPKI.[13] Kesembilan penandatanganan
Piagam Jakarta itu sungguh-sungguh
representatif mencerminkan alam dan aliran pikiran yang hidup dalam
masyarakat Indonesia.[14]
Rumusan
kolektif daripada dasar negara Indonesia Merdeka berbunyi : [15]
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. (menurut ) dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pergumulanyang
panjang selama 22 hari, tercapailah konsensus dua peikiran : Islam sebagai
dasar negara dan pancasila sebagai dasar negara. Dalam pembahasan lebih lanjut
pancasila diterima sebagai dasar negara dengan konsekuensi tertentu, maksudnya
disini terjadi perubahan, yaitu Sila Ketuhanan diletakkan diurutan pertama
dengan menambah kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Akan tetapi hal ini mendapat reaksi dari berbagai pihak
saat rancangan Piagam Jakarta ini disampaikan pada sidang hari kedua BPUPKI
tanggal 11 Juli 1945. Reaksi tersebut muncul dari Lutuharhary, Wongsonegoro,
dan Hosein Djajadiningrat. Kemudian pada
sidang pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 tanggapan muncul dari nasionalis
Islami, yaitu Ki Bagus Hadikusumo yang mengusulkan dihapuskannya kata-kata
dalam kalimat Ketuhanan, yaitu bagi
pemeluk-pemeluknya.[16]
Pada awalnya Ki Bagus Hadikusumo hanya mengomentari soal redaksi dan kemudian
mengemukakan alasan lain, bahwasannya itu merupakan perundang-undangan ganda,
yaitu untuk kaum muslim dan satu untuk umat lain, hal ini tidak dapat diterima.
Hal
ini mendapat tanggapan dari Sukarno yang sekaligus menjadi ketua panitia
sembilan dan anggota BPUPKI. Ia menaggapi
bahwasannya hal itu sudah merupakan keputusan mutlak dari hasil kompromi dari
kedua belah pihak, yaitu golongan kebangsaan dan Islam. Setelah diskusi yang
panjang mengenai batang tubuh Undang-undang Dasar, Ki Bagus Hadikusumo untuk
ketiga kalinya minta penjelasan mengenai anak kalimat “bagi
pemeluk-pemeluknya. Akan tetapi ketua menjelaskan bahwa masalah ini sudah
dibahas panjang lebar pada hari sebelumnya. Sekali lagi, ia menyatakan
ketidaksetujuannya dan tetap pada pendiriannya, yaitu dihapuskannya kata bagi
pemeluk-pemeluknya dalam anak kalimat sila Ketuhanan. Kemudian pernyataan
dari Abikusno tentang persatuan dan kesatuan, kompromi antar kedua golongan.[17]
Penjelasan tersebut mendapat tepuk tangan oleh para anggota. Ketua BPUPKI
Radjiman bertanya kepada Ki Bagus, “ Jadi bagaimana pendirian tuan Hadikusumo?
Sudah terima?” Ki Bagus menjawab, “ Sudah.” Radjiman bertanya lagi,” jadi
apakah saya bisa menetukan, bahwa usul panitia tentang pernyataan dan pembukaan……
diterima bulat?” anggota sidang menjawab: Bulat”.[18] Pada sidang pleno tanggal 14 Juli 1945 inilah
suara aklamasi menyetujui dan mengesahkan secara bulat rancangan Piagam
Jakarta.
PPKI yang dijanjikan Jepang dibentuk secara
resmi pada tanggal 14 Agustus 1945 dan mengadakan rapat pertamanya pada tanggal
18 Agustus 1945, kemudian diubah menjadi KNIP.[19]
Walaupun hanya berumur setengah bulan tapi mampu mengukir sejarah bagi
pembangunan pondasi politik bangsa Indonesia karena berhasil menetapkan UUD 45
dan memilih serta menetapkan presiden dan wakil presiden. Akan tetapi komposisi
anggota PPKI yang mayoritas diisi oleh golongan kebangsaan dan hasil kerjanya
menyakitkan golongan islam. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam sidang
BPUPKI ternyata dimentahkan oleh kelompok kebangsaan yaitu, dalam anak kalimat
Ketuhanan yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya diganti dengan Yang Maha Esa.” Kata Muqadimah diganti
dengan Pembukaan. Kemudian yang paling penting adalah syarat beragama Islam
bagi presiden dihapus. Dalam melihat hal ini peran Hatta sangat penting.[20]
Namun
kegigihan Muhammadiyah ini tak terbayar karena, dengan berbagai pertimbangan
termasuk demi terjaganya persatuan dan persatuan negeri yang baru terlahir
setelah sekian lama berada dalam cengkeraman penjajahan, akhirnya kelompok
Islam harus berbesar hati untuk mengakomodir tuntutan Kristen dengan bersedia
dilakukan penghapusan “tujuh kata” tersebut.[21]
Golongan
Islam yang diajak rapat oleh Hatta adalah Ki Bagusa Hadikusumo, Wahid Hasim, Mr
Kasman Singodimejo, dan Mr Teuku Muhammad Hasan. Mengenai Teuku Muhammad Hasan
ia bereaksi positif atas usul Hatta karena ia sendiri tidak tergolong
nasionalis Islami. Mengenai Wahid Hasyim, menurut Ansari dan Syafullah
menyatakan ia tidak hadir[22]
dalam pertemuan tersebut. Sedangkan Mr Kasman Singodimejo, ia adalah anggota
tambahan PPKI yang baru mendadak mendapat undangan pagi itu sehingga dapat
dipahami ia tidak siap dengan permasalahan ini. Peran Kasman sangat besar dalam
melunakkan kekerasan hati Ki Bagus Hadikusumo dalam mempertahankan
kalimat-kalimat Islami.[23]
Dalam hal ini Ki Bagus sangat vokal dalam membela dan meperjuangkan aspirasi
Islam, oleh sebab itu dapat dipahami bahwa seluruh beban psikologis tentang
berhasil atau tidaknya penentuan Undang-undang Dasar diletakkan dipundak Ki
Bagus Hadikusumo sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam pada waktu itu,
karena beliau adalah anggota BPUPKI, anggota sub-panitia 22, dan anggota PPKI.
C. Peran Ki Bagus Hadikusumo di Perang Kemerdekaan
(Revolusi Fisik)
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945. Ini dalam arti tekstual Indonesia sudah menjadi negara merdeka, artinya
telah bebas dari penjajahan. Akan tetapi kenyataanya kolonial Belanda yang
sebelumnya telah menjajah Indonesia dalam waktu yang cukup lama kembali ingin
menguasai negeri ini. Belanda pergi dari Indonesia setelah Jepang berhasil
mengambil alih kekuasaanya dan berkuasa pada tahun 1942-1945. Kemerdekaan
Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta ternyata tidak diakui oleh
Belanda, artinya mereka masih menganggap bahwa Hindia Belanda masih menjadi
jajahannya dan perlu mendapat pembinaan untuk benar-benar menjadi negara yang
merdeka seutuhnya. Belanda kembali
mencoba menduduki kembali tanah bekas jajahannya dengan berbagai cara di Hindia
Belanda khususnya Indonesia.
Saat
terjadinya Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta pada tanggal 21 Juli 1947,
dalam waktu yang relatif singkat Belanda dapat menerobos pertahanan TNI. Dalam
menghadapi ini, ulama-ulama Muhammadiyah membuka markas di masjid Taqwa di
kampung Suronatan.[24]
Di sini selain membahas tentang strategi berperang juga diadakan rapat mengenai
persiapan perang. Dalam peretemuan tersebut dihadiri oleh Ki Bagus Hadikusumo,
K.H Mahfudz, K.H Hajdid, K.H Badawi, Jenderal Sarbini, K.H Abdul Aziz, K.H
Johar, K.H Juremi dan dalam pertemuan ini terbentuklah Angkatan Perang Sabil
(APS) lengkap dengan pengurusnya. Ki Bagus menjadi penasihat. Pembentukan APS
ini dilaporkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan juga kepada Sudirman, panglima
besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat)[25]
Aksi
dari Agresi militer Belanda ini mendapat kecamana dari dunia internasional,
yaitu melalui DK ( Dewan Keamanan) PBB. Mereka menyerukan untuk gencatan
senjata dari kedua belah pihak yang bertikai. Dalam kenyataanya Belanda tidak
mematuhi sama sekali, bahkan pada tanggal 29 Agustus 1947 secara sepihak Van
Mook memproklamirkan tentang “garis demakrasi van Mook” yang menjadi batas
antara daerah RI dan daerah yang dikuasai oleh Belanda. Maka dari itu Indonesia
mendesak Komisi tiga Negara (KTN) untuk menekan Belanda mematuhi gencatan
senjata. [26]
Pada akhirnya Belanda mau berunding dengan Indonesia tanggal 8 Desember 1947,
kemudian yang dikenal dengan perjanjian Renville. Perundingan ini disepakati dan ditandatangai
pada tanggal 17 Januari 1948 oleh ketua delegasi Indonesia PM Amir Syarifuddin
dan delegasi Belanda R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.[27]
Keputusan perundingan ini sangat menyakitkan bagi Indonesia, karena wilayah RI
menjadi sempit yang mengakibatkan anggota TNI harus ditarik dari belakang garis
van Mook.
Agresi
militer Belanda II dilancarkan pada tanggal 19 Desember 1948 dengan sasaran
Yogyakarta dan Bukit tinggi, karena dengan alasa dikuasainya dua tempat ini
maka berakhirlah riwayat Republik Indonesia. Sementara itu dilain pihak
pendaftaran anggota APS yang diketuai oleh K.H A. Badawi[28]
terus berlangsung. Latihan diselenggarakan di alun-alun dan atas instruksi dari
komandan pertahanan yang bermarkas di Yogyakarta, pasukan APS ini
diberangkatkan ke front perbatasan di daerah Kedu dan Semarang.
D. Peran Ki Bagus Hadikusumo di
Muhammadiyah
Kondisi
sosial politik negara Indonesia pada masa Ki
Bagus Hadikusumo sebagai Ketua Umum Muhammadiyah benar benar dihadapkan pada
tantangan yang berat berupa masa transisi. Dimulai dari masa pendudukan Jepang,
kemudian masa perebutan kekuasaan sampai pada Proklamasi 1945, hingga ada usaha
dari pihak kolonial Belanda untuk kembali menjajah Republik Indonesia, masa
mempertahankan kemerdekaan yang telah dibentuk dengan perang-perang kemerdekaan
I dan II, dan yang terakhir adalah mengisi kemerdekaan. Kalau melihat realitas
diatas, tentang situasi dan kondisi yang terjadi, masa kepemimpinan Ki Bagus
Hadikusumo adalah masa-masa sulit bagi siapapun untuk memimpin umat. Ki Bagus
Hadikusumo disamping memimpin persyarikatan Muhammadiyah, juga memikirkan nasib
bangsa. Pada masa pendudukan Jepang, ia menentang “Sei Kerei”[29]
yang diwajibkan bagi sekolah sekolah setiap pagi hari. Setelah melalui debat
yang sangat seru, menegangkan dan beresiko tinggi dengan fihak jepang, akhirnya
pemerintah Jepang memberi dispensasi khusus bagi sekolah Muhammadiyah untuk
tidak melakukan upacara tersebut.[30]
Ia merasa terpanggil untuk
menyelamatkan generasi muda dari kesyirikan, maksudnya upacara tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu ia juga tercatat
sebagai anggota Dokuritsu Junbi Cosakai
(BPUPKI) dan sangat vokal memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dengan
berbagai tantangannya. Setelah tugas-tugas kenegaraan terselesaikan ia kembali
menekuni dan mencermati berbagai hal yang ada di Muhammadiyah dan menemukan
berbagai masalah fundamental yaitu Muqadimah anggaran dasar Muhammadiyah belum
diuraikan dan hanya berupa batang tubuh. Ki Bagus Hadikusumo melihat bahwa arti
pentingnya mukadimah bagi sebuah anggaran dasar, sama pentingnya dengan
Pembukaan atau “Preambule” bagi sebuah Undang-undang Dasar.[31]
Hal ini dikarenakan dapat memberikan gambaran kepada dunia luar atau kepada
siapapun pandangan hidup , seta tujuan yang dicita-citakan.
Isi
dari Mukadimah merupakan hasil dari refleksi, yaitu penyorotan dan pengungkapan
kembali pemikiran, ide, dan gagasan dari K.H Ahmad Dahlan dalam upaya
menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam. Hakekat dari mukadimah tersebut
sebenarnya menggambarkan falsafah hidup dan falsafah perjuangan K.H Ahmad
Dahlan yang didalamnya menegaskan tentang “dasar dan keyakinan hidup, tujuan
atau cita-cita hidup, dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan hidup.
Selain itu hasil dari rumusan tersebut ternyata Muhammadiyah pada masa ini
tentang maksud dan tujuan mengalami perubahan dalam yang fundamental, artinya
sebelumnya terbatas dan sederhana, kemudian diformulasikan kembali. Dengan
demikian formulasi maksud dan tujuan Muhammadiyah sebagai hasil dari muktamar ke-31 tahun 1950
adalah “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.[32]
Terdapat beberapa alasan mengapa Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
baru disusun dan dirumuskan pada periode Ki Bagus.[33]
Alasan pertama belum ada rumusan formal mengenai dasar dan cita-cita perjuangan
Muhammadiyah. K.H Ahmad Dahlan membangun Muhammadiyah tidak dengan suatu teori,
ia hanya menerapkan pemahaman Islam yang bersumber pada Al Quran dan As Sunnah.
Perkembangan yang terjadi pada Muhammadiyah mengakibatkan semakin kaburnya
penghayatan terhadap dasar-dasar pokok tersebut. Kedua, Kehidupan ruhani
keluarga Muhammadiyah yang menampakkan gejala menurun akibat terlalu mengejar
kehidupan duniawi, artinya perkembagan yang terjadi dimasyarakat seperti
kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan tidak dibarengi dengan peningkatan rohani.
Ketiga,
semakin kuatnya pengaruh-pengaruh dari luar yang bertentangan dengan
Muhammadiyah, antara lain cara berfikir, pandangan hidup, yang telah masuk
dalam masyarakat. Keempat, dorongan dengan disusunya prembul UUD 1945, Ki Bagus
Hadikusumo merasa isi rumusan Piagam Jakarta[34]
sangat penting. Berdasarkan kenyataan yang terjadi dengan dicoretnya kata-kata
“ dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” maka ia
menyusun Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang berfungsi menerapkan jiwa
dan semangat pengabdian serta pejuangan persyarikatan Muhammadiyah.
Daftar Pustaka
Adaby Darban, Ahmad,. 2000. Sejarah Kauman, (menguak identitas kampung Muhammadiyah). Yogyakarta : Tarawang.
Anshari,
Endang Saifuddin. 1983. Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 (dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami
dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959).
Bandung: Penerbit Pustaka.
Hidayatullah,
Syarif. 2010. Muhammadiyah & Pluralitas Agama di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kamal Pasha, Mustafa, dan Ahmad
Adaby Darban. 2005. Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Poesponegoro, M.
Djoenoed dan Nugroho Notosusanto,(cetakan ke-8), 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI,
Jakarta:
Balai Pustaka.
Sardiman. 2008. Guru Bangsa, Sebuah Biografi
Jenderal Sudirman. Yogyakarta : Ombak.
Sinaga, Nannie
Hudawati dan Saafroedin Bahar, et.al. (penyuting). 1992. Risalah
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945.
Jakarta: Sekertariat Negara Republik Indonesia.
Suffatni, Retno dan Yanto Bashri (ed.). 2009. Sejarah
Tokoh Bangsa. Yogyakarta: LKiS.
Suwarno. 2010. Relasi Muhammadiyah, Islam dan Negara (Kontribusi Muhammadiyah dalam
Perspektif Sejarah). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi.
Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Toer, Pramodya Ananta. et.al . 1999. Kronik
Revolusi Indonesia.
Jilid I. (1945). Jakarta: KPG.
[1]
Kauman erat kaitannya dengan istilah kaum,
yaitu pejabat keagamaan ditingkat desa dalam sistem pemerintahan Mataram.
Jabatan keagamaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemerintahan umum
lainnya. Lihat Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman, Menguak Identitas Kampung
Muhammadiyah, (Yogyakarta: Tarawang, 2000). hlm. 6.
[3]
Mengenai penjelasan masing-masing dari anak Raden
Hidayat, lihat Skripsi, Endang Lestari, Pemikiran dan Perjuangan Ki
Bagus Hadikusumo (1922-1953), (FISE: Universias Negeri Yogyakarta, 2006). hlm. 29-31 dan Mustafa Kemal Pasha dan A.
Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. (Yogyakarta: Citra
Kasa Mandiri, 2005). hlm. 153.
[14] Dalam hal ini terdapat perbandingan antara nasionalis sekuler dan
nasionalis Islami. Dari golongan kebangsaan diwakili oleh Sukarno, Hatta, A.A
Maramis, M. Yammin, dan Ahmad Subarjo. Sedangkan golongan Islam diwakili oleh
Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno. Sehingga
perbandingannya 5:4. Lihat Endang Saifuddin
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (dan Sejarah Konsensus Nasional Antara
Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959). (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983). hlm. 39.
[22] Menurut Endang Saifuddin Anshari, (1983), hlm. 48. Wahid Hasyim tidak
hadir karena sedang dalam perjalan ke Jawa Timur. Sedangkan menurut Syaifullah
(1997), hlm. 123. dalam wawancaranya dengan Abdurahman Wahid (Gus Dur), ayahnya
tidak hadir karena biasanya pada bulan Ramadhan ayahnya mengaji Al Quran dan
Hadist di Pondok pesantren Tebu Ireng.
[25] Pada tanggal 12 November 1945 diselenggarakan konferensi TKR yang
pertama dibawah Letnan Jenderal Oerip Sumoharjo. Sebenarnya Sukarno Telah
menunjuk Supriyadi sebagai panglima tertinggi TKR, akan tetapi ia tidak pernah
muncul. Dalam konferensi itu juga akhirnya Sudirman terpilih menjadi Panglima
Besar mengalahkan calon-calon lainnya. Lihat Sardiman, Guru Bangsa, Sebuah
Biografi Jenderal Sudirman, (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 128-134. Ia
dilantik pada tanggal 18 Desember 1945 sebagai panglima besar. Lihat pula dalam Marwati Jonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993),
hlm. 109.
Menjelang Hari Pahlawan 10 Nopember 2015, mohon Pemerintah Jokowi _ JK, untuk menetapkan : Ki Bagus Hadikusumo, dan Mr. Kasman Lion On The Table ( Singodimedjo ) sebagai Pahlawan Nasional, karena jasa- jasa kedua tokoh tsb. yang luar biasa.
BalasHapusTerimakasih.
Mustofa Toha Usman.
Tangerang Selatan.