Selasa, 04 Oktober 2011

Ki Bagus Hadikusumo, Perjuangan di Muhammadiyah dan Negara (1942-1953)


A.    Biografi Singkat Ki Bagus Hadikusumo
              Nama kecil Ki Bagus Hadikusumo adalah Raden Hidayat. Ia lahir pada tanggal 24 November 1890 di kampung Kauman[1] Yogyakarta dan meninggal pada tanggal 3 September 1954. Ia merupakan putra ketiga dari lima bersaudara, ayahnya bernama Raden Hasyim, seorang pejabat agama Islam atau abdi dalem lurah bidang keagamaan Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Keluarga Raden Hidayat termasuk keluarga yang taat beragama, serta termasuk keluarga yang berhasil mendidik putra-putrinya menjadi seorang yang shaleh. Kelima anak dari Raden Hidayat tercatat sebagai tokoh-tokoh Muhammadiyah yang cukup dikenal secara luas dikalangan Muhammadiyah, yaitu H. Sudjak, KH Fachrudin[2], Ki Bagus Hadikusumo, KH. Zaini, dan Siti Munjiyah.[3]
              Pendidikan yang dilewati Ki Bagus, sebagaimana anak-anak pada waktu itu hanya sampai pada sekolah rakyat, selebihnya dilakukan dengan mengaji kepada para ulama yang ada di kampung Kauman dan sekitarnya. Selain menimba ilmu di pesantren Wonokromo, Ki Bagus juga menekuni secara langsung pengajaran dari KH Ahmad Dahlan. Ilmu yang diperoleh tersebut ditambah dengan karya karya ulama lainnya berpengaruh pada dirinya. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya Ki Bagus lainnya seperti Poetaka Iman, Risalah Katresnan Djati, Poestaka Hadi dan Poetaka Islam.[4] Selain itu juga tercermin lewat pemikiran-pemikiran lepas maupun sikap hidup yang ditunjukan oleh Ki Bagus sendiri. Motivasi untuk berjuang menyebarkan agama Islam yang sebenar-benarnya juga sangat besar, ini terlihat Ki Bagus sering mendapat tugas untuk bertabligh ke pelosok-pelosok sambil membawa barang dagangan yang sekiranya laku dijual.[5]
                 Ki Bagus sangat tegas, disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Secara tetap dia melakukan kontrol pada pekerjaan-pekerjaan yang dihadapi anak-anaknya mulai dari ibadah, belajar, waktu bermain, bekerja, serta kewajiban-kewajiban lainnya. Ki Bagus adalah ulama yang sangat konsekuen terhadap ilmu dan keyakinannya, ia adalah orang yang teguh dalam pendiriannya. Tidak hanya aturan-aturan agama saja yang dijunjung tinggi, akan tetapi keputusan rapat yang telah disepakati bersama harus tetap dilaksanakan. Ki Bagus bukan ahli politik ataupun tata negara. Ia adalah seorang ulama yang mempunyai cita-cita, yaitu Islam yang menjadi keyakinannya. Baginya segala pembicaraan yang sudah menyentuh keyakinan, maka ia takkan mundur. Oleh karena itu dalam dunia pergerakan ia selalu berada dibelakang, akan tetapi apabila perjuangan sudah sampai taraf mempetahankan keyakinan barulah ia maju kedepan untuk menyatakan menang atau kalah.
                 Terlepas dari segala kekurangan yang ada dalam diri Ki Bagus Hadikusumo sebagai seorang manusia, ia adalah orang yang konsekuen dengan apa yang diyakininya. Sebagai seorang ulama, guru, pemimpin, selaigus ayah ia berusaha dengan segala kemampuan untuk menjalankan ajaran agamanya. Apa yang dilakuakan Ki Bagus baik pada masa penjajahan maupun dalam Persyarikatan Muhammadiyah tidak lepas dari keyakinan yang dipegang secara teguh. Keyakinan itu adalah mempertahankan kebenaran dan keadilan serta ketauhidan.  
  1. Peran Ki Bagus Hadikusumo dibidang Politik
Gagasan dan perilaku politik tentang negara Islam baru muncul secara resmi di panggung politik yaitu beberapa bulan menjelang diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu ketika BPUPKI bertugas menyusun UUD. Untuk dasar negara telah muncul tiga konsep: Islam, Pancasila, dan sosial-ekonomi. Namun, konsep terakhir tenggelam setelah terjadi tarik-menarik antara dua konsep, yaitu pancasila dan Islam. Akhir dari tarik menarik ini adalah dihasilkannya Piagam Jakarta yang dirancang, dirumuskan, dan ditandatangani oleh panitia sembilan tanggal 22 Juni 1945 sebagai konsensus dari dua sayap.
Golongan Islam ingin mengusung konsep negara berdasar Islam, artinya mereka ingin menjadikan Indonesia berdasarkan Islam. Negara Islam  sebagai konsep, isinya menekankan subtansi, dengan menjadikan ajaran Islam sebagai Undang-undang negara. Isu Islam sebagai dasar negara sangat mewarnai percakapan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI pada 1945 sidang-sidang konstituante pada 1957-1959.[6] Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh vokal yang mewakili golongan Islam dalam sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945 mengeluarkan pernyataan yang intinya “membangun negara di atas ajaran Islam”. Gagasannya tersebut didasarkan pada alasan sosio-historis dan pemahaman terhadap ajaran Islam. Menurut Ki Bagus, agama Islam paling tidak sudah enam abad menjadi agama bangsa Indonesia. Adat istiadat dan hukum islam sudah berlaku lama di Indonesia.
            Mayoritas penduduk yang berjiwa islam tidaklah pasif, tetapi aktif dan terus menerus hidup bersemangat. Jiwa yang hidup menggerakkan aktifitas sosial artinya meskipun keadaan ekonomi masih lemah dan rendah sebagai akibat penindasan dan pemerasan kolonial Belanda namun kaum muslimin tetap dapat mendirikan beribu-ribu pondok pesantren , mushola, dan masjid yang digunakan untuk keperluan umum.[7]   Di masa modern ini, dibangun pula beribu-ribu sekolah, madrasah, dan berbagai balai pertolongan seperti rumah sakit, rumah yatim dan sebagainya.[8] Alasan yang kedua tentang pemahaman atas ajaran Islam, Ki Bagus Hadikusuma mendasarkan keinginannya agar Islam dijadikan dasar negara pada pemahaman Islam secara substansial dan menyeluruh. Substansi dan sistematika ajaran Islam meliputi iman, ibadah, amal shaleh dan jihad.[9] Keempat aspek ajaran ini merupakan ringkasan ajaran Islam yang diajarkan dan dipimpinkan Rosulullah SAW dalam rangka memperbaiki negara atau masyarakat.
            Ringkasan ajaran Islam tersebut kemudian disampaikan dalam sidang BPUPKI tahun 1945 dan dalam Muktamar Muhammadiyahke-31. Ki Bagus menyampaikan pidato tentang Islam sebagai dasar negara akan tidak dimuat dalam dokumen negara yang disusun oleh Muhammad Yamin, begitu juga dengan pidato dari golongan Islam lainnya seperti Mas Mansyur, Muzakkir, Wahid Hasyim.[10] Demikian pula yang terjadi dengan pidato Mohammad Hatta, sehingga Hatta menyebut Yamin “manusia licik”.[11] Sidang tersebut berlangsung pada tanggal 29, 30, dan 31 Mei 1945, yang membahas tentang dasar negara Indonesia, daerah negara dan kebangsaan Indonesia. Sidang tersebut diketuai oleh Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat.
            Dalam masa reses selama hampir 40 hari, 2 Juni-9 Juli 1945 terbentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang, karenanya lebih dikenal dengan panitia sembilan. Kesembilan panitia kecil adalah : Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, A.A Maramis, Ahmad Subarjo, Abdul Kahar Muzakir, K.H Wachid Hasyim, Agus Salim, Abikusno Tjokrosujono.[12]  Pada tanggal 22 Juni 1945 – panitia sembilan menghasilkan dokumen-dokumen yang kemudian oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) itu akhirnya diterima bulat dan ditandatangani oleh BPUPKI.[13] Kesembilan penandatanganan Piagam Jakarta itu sungguh-sungguh  representatif mencerminkan alam dan aliran pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia.[14]
Rumusan kolektif daripada dasar negara Indonesia Merdeka berbunyi : [15]
1.   Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2.   (menurut ) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.   Persatuan Indonesia
4.   (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.   (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

            Pergumulanyang panjang selama 22 hari, tercapailah konsensus dua peikiran : Islam sebagai dasar negara dan pancasila sebagai dasar negara. Dalam pembahasan lebih lanjut pancasila diterima sebagai dasar negara dengan konsekuensi tertentu, maksudnya disini terjadi perubahan, yaitu Sila Ketuhanan diletakkan diurutan pertama dengan menambah kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Akan tetapi hal ini mendapat reaksi dari berbagai pihak saat rancangan Piagam Jakarta ini disampaikan pada sidang hari kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Reaksi tersebut muncul dari Lutuharhary, Wongsonegoro, dan Hosein Djajadiningrat. Kemudian  pada sidang pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 tanggapan muncul dari nasionalis Islami, yaitu Ki Bagus Hadikusumo yang mengusulkan dihapuskannya kata-kata dalam kalimat Ketuhanan, yaitu   bagi pemeluk-pemeluknya.[16] Pada awalnya Ki Bagus Hadikusumo hanya mengomentari soal redaksi dan kemudian mengemukakan alasan lain, bahwasannya itu merupakan perundang-undangan ganda, yaitu untuk kaum muslim dan satu untuk umat lain, hal ini tidak dapat diterima.
            Hal ini mendapat tanggapan dari Sukarno yang sekaligus menjadi ketua panitia sembilan dan anggota  BPUPKI. Ia menaggapi bahwasannya hal itu sudah merupakan keputusan mutlak dari hasil kompromi dari kedua belah pihak, yaitu golongan kebangsaan dan Islam. Setelah diskusi yang panjang mengenai batang tubuh Undang-undang Dasar, Ki Bagus Hadikusumo untuk ketiga kalinya minta penjelasan mengenai anak kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya. Akan tetapi ketua menjelaskan bahwa masalah ini sudah dibahas panjang lebar pada hari sebelumnya. Sekali lagi, ia menyatakan ketidaksetujuannya dan tetap pada pendiriannya, yaitu dihapuskannya kata bagi pemeluk-pemeluknya dalam anak kalimat sila Ketuhanan. Kemudian pernyataan dari Abikusno tentang persatuan dan kesatuan, kompromi antar kedua golongan.[17] Penjelasan tersebut mendapat tepuk tangan oleh para anggota. Ketua BPUPKI Radjiman bertanya kepada Ki Bagus, “ Jadi bagaimana pendirian tuan Hadikusumo? Sudah terima?” Ki Bagus menjawab, “ Sudah.” Radjiman bertanya lagi,” jadi apakah saya bisa menetukan, bahwa usul panitia tentang pernyataan dan pembukaan…… diterima bulat?” anggota sidang menjawab: Bulat”.[18]  Pada sidang pleno tanggal 14 Juli 1945 inilah suara aklamasi menyetujui dan mengesahkan secara bulat rancangan Piagam Jakarta.
               PPKI yang dijanjikan Jepang dibentuk secara resmi pada tanggal 14 Agustus 1945 dan mengadakan rapat pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945, kemudian diubah menjadi KNIP.[19] Walaupun hanya berumur setengah bulan tapi mampu mengukir sejarah bagi pembangunan pondasi politik bangsa Indonesia karena berhasil menetapkan UUD 45 dan memilih serta menetapkan presiden dan wakil presiden. Akan tetapi komposisi anggota PPKI yang mayoritas diisi oleh golongan kebangsaan dan hasil kerjanya menyakitkan golongan islam. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam sidang BPUPKI ternyata dimentahkan oleh kelompok kebangsaan yaitu, dalam anak kalimat Ketuhanan yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan Yang Maha Esa.” Kata Muqadimah diganti dengan Pembukaan. Kemudian yang paling penting adalah syarat beragama Islam bagi presiden dihapus. Dalam melihat hal ini peran Hatta sangat penting.[20]
        Namun kegigihan Muhammadiyah ini tak terbayar karena, dengan berbagai pertimbangan termasuk demi terjaganya persatuan dan persatuan negeri yang baru terlahir setelah sekian lama berada dalam cengkeraman penjajahan, akhirnya kelompok Islam harus berbesar hati untuk mengakomodir tuntutan Kristen dengan bersedia dilakukan penghapusan “tujuh kata” tersebut.[21]
               Golongan Islam yang diajak rapat oleh Hatta adalah Ki Bagusa Hadikusumo, Wahid Hasim, Mr Kasman Singodimejo, dan Mr Teuku Muhammad Hasan. Mengenai Teuku Muhammad Hasan ia bereaksi positif atas usul Hatta karena ia sendiri tidak tergolong nasionalis Islami. Mengenai Wahid Hasyim, menurut Ansari dan Syafullah menyatakan ia tidak hadir[22] dalam pertemuan tersebut. Sedangkan Mr Kasman Singodimejo, ia adalah anggota tambahan PPKI yang baru mendadak mendapat undangan pagi itu sehingga dapat dipahami ia tidak siap dengan permasalahan ini. Peran Kasman sangat besar dalam melunakkan kekerasan hati Ki Bagus Hadikusumo dalam mempertahankan kalimat-kalimat Islami.[23] Dalam hal ini Ki Bagus sangat vokal dalam membela dan meperjuangkan aspirasi Islam, oleh sebab itu dapat dipahami bahwa seluruh beban psikologis tentang berhasil atau tidaknya penentuan Undang-undang Dasar diletakkan dipundak Ki Bagus Hadikusumo sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam pada waktu itu, karena beliau adalah anggota BPUPKI, anggota sub-panitia 22, dan anggota PPKI.
C.  Peran Ki Bagus Hadikusumo di Perang Kemerdekaan (Revolusi Fisik)
            Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini dalam arti tekstual Indonesia sudah menjadi negara merdeka, artinya telah bebas dari penjajahan. Akan tetapi kenyataanya kolonial Belanda yang sebelumnya telah menjajah Indonesia dalam waktu yang cukup lama kembali ingin menguasai negeri ini. Belanda pergi dari Indonesia setelah Jepang berhasil mengambil alih kekuasaanya dan berkuasa pada tahun 1942-1945. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta ternyata tidak diakui oleh Belanda, artinya mereka masih menganggap bahwa Hindia Belanda masih menjadi jajahannya dan perlu mendapat pembinaan untuk benar-benar menjadi negara yang merdeka seutuhnya.  Belanda kembali mencoba menduduki kembali tanah bekas jajahannya dengan berbagai cara di Hindia Belanda khususnya Indonesia.
            Saat terjadinya Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta pada tanggal 21 Juli 1947, dalam waktu yang relatif singkat Belanda dapat menerobos pertahanan TNI. Dalam menghadapi ini, ulama-ulama Muhammadiyah membuka markas di masjid Taqwa di kampung Suronatan.[24] Di sini selain membahas tentang strategi berperang juga diadakan rapat mengenai persiapan perang. Dalam peretemuan tersebut dihadiri oleh Ki Bagus Hadikusumo, K.H Mahfudz, K.H Hajdid, K.H Badawi, Jenderal Sarbini, K.H Abdul Aziz, K.H Johar, K.H Juremi dan dalam pertemuan ini terbentuklah Angkatan Perang Sabil (APS) lengkap dengan pengurusnya. Ki Bagus menjadi penasihat. Pembentukan APS ini dilaporkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan juga kepada Sudirman, panglima besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat)[25]
            Aksi dari Agresi militer Belanda ini mendapat kecamana dari dunia internasional, yaitu melalui DK ( Dewan Keamanan) PBB. Mereka menyerukan untuk gencatan senjata dari kedua belah pihak yang bertikai. Dalam kenyataanya Belanda tidak mematuhi sama sekali, bahkan pada tanggal 29 Agustus 1947 secara sepihak Van Mook memproklamirkan tentang “garis demakrasi van Mook” yang menjadi batas antara daerah RI dan daerah yang dikuasai oleh Belanda. Maka dari itu Indonesia mendesak Komisi tiga Negara (KTN) untuk menekan Belanda mematuhi gencatan senjata. [26] Pada akhirnya Belanda mau berunding dengan Indonesia tanggal 8 Desember 1947, kemudian yang dikenal dengan perjanjian Renville.  Perundingan ini disepakati dan ditandatangai pada tanggal 17 Januari 1948 oleh ketua delegasi Indonesia PM Amir Syarifuddin dan delegasi Belanda R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.[27] Keputusan perundingan ini sangat menyakitkan bagi Indonesia, karena wilayah RI menjadi sempit yang mengakibatkan anggota TNI harus ditarik dari belakang garis van Mook.
              Agresi militer Belanda II dilancarkan pada tanggal 19 Desember 1948 dengan sasaran Yogyakarta dan Bukit tinggi, karena dengan alasa dikuasainya dua tempat ini maka berakhirlah riwayat Republik Indonesia. Sementara itu dilain pihak pendaftaran anggota APS yang diketuai oleh K.H A. Badawi[28] terus berlangsung. Latihan diselenggarakan di alun-alun dan atas instruksi dari komandan pertahanan yang bermarkas di Yogyakarta, pasukan APS ini diberangkatkan ke front perbatasan di daerah Kedu dan Semarang. 
D.    Peran Ki Bagus Hadikusumo di Muhammadiyah
              Kondisi sosial politik negara Indonesia pada masa Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua Umum Muhammadiyah benar benar dihadapkan pada tantangan yang berat berupa masa transisi. Dimulai dari masa pendudukan Jepang, kemudian masa perebutan kekuasaan sampai pada Proklamasi 1945, hingga ada usaha dari pihak kolonial Belanda untuk kembali menjajah Republik Indonesia, masa mempertahankan kemerdekaan yang telah dibentuk dengan perang-perang kemerdekaan I dan II, dan yang terakhir adalah mengisi kemerdekaan. Kalau melihat realitas diatas, tentang situasi dan kondisi yang terjadi, masa kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo adalah masa-masa sulit bagi siapapun untuk memimpin umat. Ki Bagus Hadikusumo disamping memimpin persyarikatan Muhammadiyah, juga memikirkan nasib bangsa. Pada masa pendudukan Jepang, ia menentang “Sei Kerei[29] yang diwajibkan bagi sekolah sekolah setiap pagi hari. Setelah melalui debat yang sangat seru, menegangkan dan beresiko tinggi dengan fihak jepang, akhirnya pemerintah Jepang memberi dispensasi khusus bagi sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara tersebut.[30]
               Ia merasa terpanggil untuk menyelamatkan generasi muda dari kesyirikan, maksudnya upacara tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu ia juga tercatat sebagai anggota Dokuritsu Junbi Cosakai (BPUPKI) dan sangat vokal memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dengan berbagai tantangannya. Setelah tugas-tugas kenegaraan terselesaikan ia kembali menekuni dan mencermati berbagai hal yang ada di Muhammadiyah dan menemukan berbagai masalah fundamental yaitu Muqadimah anggaran dasar Muhammadiyah belum diuraikan dan hanya berupa batang tubuh. Ki Bagus Hadikusumo melihat bahwa arti pentingnya mukadimah bagi sebuah anggaran dasar, sama pentingnya dengan Pembukaan atau “Preambule” bagi sebuah Undang-undang Dasar.[31] Hal ini dikarenakan dapat memberikan gambaran kepada dunia luar atau kepada siapapun pandangan hidup , seta tujuan yang dicita-citakan.
               Isi dari Mukadimah merupakan hasil dari refleksi, yaitu penyorotan dan pengungkapan kembali pemikiran, ide, dan gagasan dari K.H Ahmad Dahlan dalam upaya menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam. Hakekat dari mukadimah tersebut sebenarnya menggambarkan falsafah hidup dan falsafah perjuangan K.H Ahmad Dahlan yang didalamnya menegaskan tentang “dasar dan keyakinan hidup, tujuan atau cita-cita hidup, dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan hidup. Selain itu hasil dari rumusan tersebut ternyata Muhammadiyah pada masa ini tentang maksud dan tujuan mengalami perubahan dalam yang fundamental, artinya sebelumnya terbatas dan sederhana, kemudian diformulasikan kembali. Dengan demikian formulasi maksud dan tujuan Muhammadiyah  sebagai hasil dari muktamar ke-31 tahun 1950 adalah “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.[32]
               Terdapat beberapa alasan mengapa Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah baru disusun dan dirumuskan pada periode Ki Bagus.[33] Alasan pertama belum ada rumusan formal mengenai dasar dan cita-cita perjuangan Muhammadiyah. K.H Ahmad Dahlan membangun Muhammadiyah tidak dengan suatu teori, ia hanya menerapkan pemahaman Islam yang bersumber pada Al Quran dan As Sunnah. Perkembangan yang terjadi pada Muhammadiyah mengakibatkan semakin kaburnya penghayatan terhadap dasar-dasar pokok tersebut. Kedua, Kehidupan ruhani keluarga Muhammadiyah yang menampakkan gejala menurun akibat terlalu mengejar kehidupan duniawi, artinya perkembagan yang terjadi dimasyarakat seperti kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan tidak dibarengi dengan peningkatan rohani.
              Ketiga, semakin kuatnya pengaruh-pengaruh dari luar yang bertentangan dengan Muhammadiyah, antara lain cara berfikir, pandangan hidup, yang telah masuk dalam masyarakat. Keempat, dorongan dengan disusunya prembul UUD 1945, Ki Bagus Hadikusumo merasa isi rumusan Piagam Jakarta[34] sangat penting. Berdasarkan kenyataan yang terjadi dengan dicoretnya kata-kata “ dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” maka ia menyusun Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang berfungsi menerapkan jiwa dan semangat pengabdian serta pejuangan persyarikatan Muhammadiyah.
Daftar Pustaka
Adaby Darban, Ahmad,. 2000. Sejarah Kauman, (menguak  identitas kampung Muhammadiyah).    Yogyakarta : Tarawang.
Anshari, Endang Saifuddin. 1983.  Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959). Bandung: Penerbit Pustaka.

Hidayatullah, Syarif. 2010. Muhammadiyah & Pluralitas Agama di Indonesia. Yogyakarta:    Pustaka Pelajar.
Kamal Pasha, Mustafa, dan Ahmad Adaby Darban. 2005. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Poesponegoro, M. Djoenoed dan Nugroho Notosusanto,(cetakan ke-8), 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI,  Jakarta: Balai Pustaka.
Sardiman. 2008. Guru Bangsa, Sebuah Biografi Jenderal Sudirman. Yogyakarta : Ombak.
Sinaga, Nannie Hudawati dan Saafroedin Bahar, et.al. (penyuting). 1992. Risalah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Jakarta: Sekertariat Negara Republik Indonesia.
Suffatni, Retno dan Yanto Bashri (ed.). 2009. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: LKiS.
Suwarno. 2010. Relasi Muhammadiyah, Islam dan Negara (Kontribusi Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah).  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Toer, Pramodya Ananta. et.al . 1999. Kronik Revolusi Indonesia. Jilid I. (1945). Jakarta:    KPG.


        [1] Kauman erat kaitannya dengan istilah kaum, yaitu pejabat keagamaan ditingkat desa dalam sistem pemerintahan Mataram. Jabatan keagamaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemerintahan umum lainnya. Lihat Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman, Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, (Yogyakarta: Tarawang, 2000). hlm. 6.
       [2] Mengenai peran KH. Fachrudin, lihat juga, Suwarno, Relasi Muhammadiyah, Islam, dan Negara (Kontribusi Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). hlm. 53-56.
       [3] Mengenai penjelasan masing-masing dari anak Raden Hidayat, lihat Skripsi, Endang Lestari, Pemikiran dan Perjuangan Ki Bagus Hadikusumo (1922-1953), (FISE: Universias Negeri Yogyakarta, 2006).  hlm. 29-31 dan Mustafa Kemal Pasha dan A. Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. (Yogyakarta: Citra Kasa Mandiri, 2005). hlm. 153.
        [4] Skripsi, Endang Lestari, (2006). hlm. 34.
       [5] Bertabligh sambil berdagang biasa dilakukan oleh para mubaligh. Disini selain berdakwah mereka tidak mengharapkan imbalan dari tablighnya tersebut. Hal ini sesuai dengan pesan dari KH Ahmad Dahlan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah akan tetapi jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”.
        [6] Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997). hlm. 101.
       [7] Ibid., hlm. 103
       [8] Ibid.
       [9] Ibid., hlm. 105
       [10] Syafullah (1997)., op. cit. hlm. 108-109
       [11] Ibid., hlm. 108. Lihat juga hal ini dalam Yanto Bashri dan Retno Suffatri (ed.), Sejarah Tokoh Bangsa. (Yogyakarta: LKiS, 2009). hlm. 467-472.
       [12] Pramodya Ananta Toer, et.al . Kronik Revolusi Indonesia. Jilid I. (1945). (Jakarta: KPG, 1999). hlm. 11.
       [13] Ibid, hal 11.
       [14] Dalam hal ini terdapat perbandingan antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islami. Dari golongan kebangsaan diwakili oleh Sukarno, Hatta, A.A Maramis, M. Yammin, dan Ahmad Subarjo. Sedangkan golongan Islam diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno. Sehingga perbandingannya 5:4.  Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959). (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983). hlm. 39.
       [15] Marwati Jonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,(Jakarta: Balai Pustaka, 1993). hlm. 71.
       [16] Syaifullah (1997)., op. cit. hlm.  112-113
        [17] Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, et.al.,(penyuting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, (Jakarta: Sekertariat Negara Republik Indonesia, 1992). hlm. 197-198.
       [18] Ibid.
       [19] Syaifullah, (1997), op. cit., hlm. 118.
        [20] Hatta membicarakan hal ini dengan Golongan Islam termasuk Ki Bagus Hadikusumo, sesaat sebelum sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus dimulai. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari (1983). Hlm. 45-48. dan Syaifullah (1997), hlm. 120-122.
        [21] Syarif Hidayatullah, Muhammadiyah dan Pluralitas Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). hlm. 54.
         [22] Menurut Endang Saifuddin Anshari, (1983), hlm. 48. Wahid Hasyim tidak hadir karena sedang dalam perjalan ke Jawa Timur. Sedangkan menurut Syaifullah (1997), hlm. 123. dalam wawancaranya dengan Abdurahman Wahid (Gus Dur), ayahnya tidak hadir karena biasanya pada bulan Ramadhan ayahnya mengaji Al Quran dan Hadist di Pondok pesantren Tebu Ireng.
        [23] Syaifullah, (1997), op. cit. hlm. 124.
        [24] Ibid., hlm. 131.
       [25] Pada tanggal 12 November 1945 diselenggarakan konferensi TKR yang pertama dibawah Letnan Jenderal Oerip Sumoharjo. Sebenarnya Sukarno Telah menunjuk Supriyadi sebagai panglima tertinggi TKR, akan tetapi ia tidak pernah muncul. Dalam konferensi itu juga akhirnya Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar mengalahkan calon-calon lainnya. Lihat Sardiman, Guru Bangsa, Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 128-134. Ia dilantik pada tanggal 18 Desember 1945 sebagai panglima besar. Lihat pula dalam Marwati Jonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993), hlm. 109.
        [26] Sardiman (2008), op. cit., hlm. 157.
        [27] Ibid., hlm. 158.
        [28] Mengenai susunan Angkatan Perang Sabil (APS) ini Lihat Syaifullah (1997), hlm. 131.
        [29]Sei Kerei” adalah membungkukkan badan ke arah timur laut, kearah negeri Jepang dengan maksud menghormati dewa matahari, dewa yang dipercaya telah mentiskan para kaisar Jepang (Dewi Amaterasu Omikami)
       [30] Mustafa Kemal Pasha dan A. Adaby Darban,(2005),  hlm. 155.
       [31] Ibid.
       [32] Ibid, hlm. 157.
       [33] Tentang latar belakang terbentuknya Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Lihat Skripsi Endang Lestari (2006). hlm.  72-73,  dan Mustafa Kemal Pasha dan  A. Adaby Darban, (2005), hlm. 157-160.
       [34] Piagam Jakarta inilah yang pada akhirnya setelah melewati perubahan dan penyempurnaan  menjadi pembukaan UUD 1945. 


Makalah Kuliah Sejarah Kemerdekaan yang diampu oleh Prof. Dr. Husain Haikal dan Drs. Djumarwan. 
Semoga bermanfaat

1 komentar:

  1. Menjelang Hari Pahlawan 10 Nopember 2015, mohon Pemerintah Jokowi _ JK, untuk menetapkan : Ki Bagus Hadikusumo, dan Mr. Kasman Lion On The Table ( Singodimedjo ) sebagai Pahlawan Nasional, karena jasa- jasa kedua tokoh tsb. yang luar biasa.
    Terimakasih.
    Mustofa Toha Usman.
    Tangerang Selatan.

    BalasHapus