Pada tahun 1830 dimulai tanam paksa dan tahun 1870 dikeluarkanya Undang-Undang agraria oleh pemerintah kolonial. Undang-Undang agraria memberikan kebebasan bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya. Sejak tahun 1830 di Vorstenlanden berkembang perusahaan perkebunan. Baik tanam paksa maupun perusahaan perkebunan memerlukan lahan yang luas. Di karisedenan Surakarta tanah yang luas dan subur adalah tanah apanage ( tanah apanage atau tanah lungguh adalah tanah jabatan sementara, sebagai upah atau bgaji seorang priyayi atau bangsawan. Tanah apanage dapat dieksploitasikan sehingga dapat menghasilkan pajak yang berupa uang, barang ataupun tenaga kerja ). Kepemimpinan seorang bekel ( mula-mula para cikal bakal atau primus interpares yang berhasil membuka tanah desa disebut pimpinan desa. Oleh karena ia bertugas membagi-bagikan tanah desa itu untuk calon penggarap, ia kemudian disebut kepala desa. Setelah adanya apanage diangkatlah seorang bekel dari kepala desa tersebut yang bertugas sebagai penebas pajak. Sedikit demi sedikit bekel di beri kekuasaan sebagai kepala desa sehingga kemudian perananya berubah dari penebas pajak menjagi pemegang kekuasaan di desa ). Diperlukan sekali bagi kehidupan sosial di tanah apanage.
Di daerah karisidenan Surakarta di dalam proses perubahan sosial, terkait perubahan peranan bekel pada tahun 1830-1920. pada tahun 1830, setelah perang diponegora berakhir, terbuka fase baru bagi perusahaan perkebunan untuk mengusahakan komoditas ekspor bagi pasar Eropa. Dalam rangka perluasan perkebunan banyak tanah apanage disewa dari para patuh atau pemegang hak tanah apanage ( apanage houder ). Didalam masyarakat tradisional mereka menguasai tenaga kerja di tanah apanagenya. Akan tetapi setelah tanah itu disewa oleh perusahaan perkebunan, hak-hak yang ada pada patuh beralih kepada perusahaan perkebunan.
Sistem apanage timbul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Didalam menjalankan pemerintahanya penguasa dibantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya, dan sebagai imbalanya mereka diberi tanah apanage. Tanah ini merupakan tanah jabatan, dan mereka, para patuh, berhak mendapat layanan kerja dan sebagian hasil dari tanah-tanah apanage.
Timbulnya sistem bekel tidak dapat dipisahkan dari sistem apanage. Karena patuh yang tinggal di kuthagara tidak mengerjakan apanage sendiri, ia kemudian mengangkat seorang bekel. Selain mewakili patuh dan bertugas sebagai penebas pajak, bekel juga mendapat hasil dari sebagian hasil tanah atau sebagian dari pajak. Seperti yang tertulis dalam prasasti dan karya-karya sastra Jawa kuno peranan bekel sebagai penebas pajak sudah berlaku pada zaman Majapahit. Pada zaman Mataram-Islam timbul istilah bekel istana dan karena berkembangnya birokrasi kerajaan, diperlukan distribusi jabatan dan spesialisasinya. Dengan demikian, jelas terdapat perbedaan kedudukan dan peranan bekel istana dan bekel desa.
Didalam perjanjian Giyanti pada tahun 1755, berdirilah dua buah kerajaan, yaitu kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, pada tahun 1757 berdirilah kadipaten Mangkunegaran sebagai hasil perjanjian Solotigo. Didalam perkembanganya di satu pihak kerajaan Surakarta atau Kasunanan makin terikat kontrak-kontrak dengan gubernemen, sedangkan di pihak lain Mangkunegaran makin banyak mendapatkan kebebasan, khususnya di bidang perekonomian.
surakarta adalah bagian dari Vorstenlanden. Wilayahnya meliputi daerah seluas 6.215 km. Sejak diperlakukanya perluasan perkebunan pada awal abad XIX, karisidenan Surakarta sudah mengkoordinasikan seluruh kegiatanya yang meliputi daerah Klaten, Boyalali, Kartosuro, Sragen, Karanganyar dan Wonogiri. Letak karisidenan Surakarta sangat stategis. Penduduknya dapat dikatakan homogen, orang Jawa tentu yang terbanyak, tinggal di pedesaan dan orang Belanda, Cina dan Arab tinggal di kota-kota.
Untuk daerah Kasunanan sistem apanage dimulai sejak palihan nagari pada tahun 1755, dan untuk daerah Mangkunegaran sejak diadakannya perjanjian Solotigo pada tahun 1757. pembagian tanah apanage tidak berdasarkan atas wilayah kerajaan yang membawahinya, tetapi letaknya tumpang paruk atau simpang siur. Banyak tanah apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan birokrat kasunanan yang terletak di Mangkunegaran atau didaerah Kasultanan. Keadaan yang seperti ini menyulitkan penyewa tanah-tanah apanage, baik dari segi manajemenya maupun keamanannya. Oleh karena itu pemerintah kolonial sedikit demi sedikit melakakan penyederhanaan sistem apanage dengan pembaharuan persewaan tanah maupun penghapusan tanah apanage itu sendiri.
Disamping raja menggunakan tanah untuk kepentinganya sendiri, tanah-tanah tersebut juga diberikan sementara kepada sentana dan narapraja sebagai siti atau bumi ganduhan. Menurut fungsinya tanah-tanah di Kasunanan dan Mangkunegaran dibedakan menjadi, pertama, bumi narawita, yaitu tanah yang menghasilkan sesuatu yang ditentukan dan diperlukan oleh raja. Yang terdiri dari bumi pamajegan, yang menghasilkan pajak uang, bumi pangrembe, yang khusus ditanami padi dan tanaman keperluan istana, bumi gladag tanah yang penduduknya diberi tugas transportasi. Kedua bumi lungguh atau tanah apanage yaitu tanah ganduhan yang diberikan kepada sentana dan narapraja sebagai gaji berupa bumi palungguhan. Dalam hal ini penggarapan apanagenya dilakukan oleh seorang bekel, dalam hal ini bekel berfungsi sebagai mewakili patuh, juga dipercaya memungut hasil bumi dari para petani. Dalam arti sempit tugas bekel adalah pengumpul pajak dari petani di desa-desa, dan dalam arti luas ia harus mengawasi keamanan desa, termasuk menyediakan tanah dan tenaga kerja.
Satuan tanah apanage disebut jung, satu jung merupakan 28.386 m. Yang terdiri dari empat cacah. Cacah merupakan unit kerja didalam penggarapan tanah dan cacah dianggap sebagai satuan fiskal pedesaan yang terpencar. Menurut pendapat Breman. Didalam sistem apanage terdapat hierarki kepangkatan. Setiap patuh mermpunyai cacah sebagai penggarap tanah, pembayar pajak dan pekerja wajib. Kepangkatan itu juga menunjukkan struktur fiskal yang disesuaikan dengan banyaknya cacah sebagai petani inti. Semakin tinggi pangkat semakin banyak pula cacah yang dimiliki. Ini berarti bahwa penyadap atau ekstrasi tanah dan tenaga kerja para sikep dilakukan oleh para birokrat dan bangsawan.
Tanah-tanah narawita menghasilkan bahan pangan, kudapan, dan bahan-bahan yang diperlukan oleh istana. Raja dan patuh menyerakhkan penggarapan itu kepada bekel. Untuk desa-desa besar bekel-bekel diawasi oleh demang. Pembagian hasil tanah dilakukan dengan maro, 2/5 bagian untuk raja dan patuh, 2/5 untuk sikep, 1/5 untuk bekel. Pola hubungan ke bawah dari raja atau patuh kepada bekel dan sikep baik di tanah narawita dan tanah apanage merupakan pola hubungan tetap.
Dalam masyarakat tersebut ada dua golongan sosial besar yakni golongan priyayi disatu pihak dan golongan wong cilik di pihak lain. Golongan priyayi terdiri dari para sentana dan narapraja. Dan golongan wong cilik terdiri dari sikep dan kuli-kuli. Para priyayi mengawasi sikep karena ia memberi tanah garapan kepadanya. Golongan sikep menyediakan tenaga kerja untuk menggarap tanah-tanah apanage. Dengan demikian dilihat dari struktur sosial yang berlaku, tampak adanya dominasi dan eksploitasi oleh golongan sosial diatas suasana desa.
Masyuarakat Surakarta terdiri dari dua golongan sosial yang besar, yaitu golongan atas yang terdiri dari golongan bangsawan dan priyayi, dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dll. Bangsawan adalah golongan yang mempunyai hubungan genalogi dengan raja. Mereka merupakan sentana atau keluarga raja. Priyayi merupakan pejabat pemerintah kerajaan atau narapraja. Dua golongan sosial yaitu priyayi dan wong cilik menempati wadah budaya yang berbeda yang ditunjukkan oleh struktur apanage.
Suatu konsekuensi sistem apanage adalah distribusi tanah yang tidak merata dan sama luasnya. Hal ini berhubungan dengan jauh dekatnya hubungan kekerabatan patuh dengan raja dan tinggi rendahnya jabatan elite birokrat. Membagi apanage untuk elite birokrat jauh lebih mudah karena dapat diseragamkan menurut pangkatnya. Namun ada kesulitan dalam memetakan tanah-tanah apanage karena tidak ditemukan catatan yang lengkap. Selain itu kedudukan tanah apanage sangat labil, dan setiap kali tanah itu berganti pemegangnya. Untuk menjaga kestabilan politiknya, raja dapat menambah atau mengurangi apanagenya, tetapi tindakan raja ini dapat menimbulkan perasaan tidak puas dikalangan patuh.
Pada tahun 1755, didaerah Kasunanan terdapat 55.300 cacah dan jumlah ini pada tahun 1733 menjadi 65.080. setelah tahun 1830, wilayah sunan dipersempit. Bersama dengan perkembangan pemerintah Hindia Belanda para elite birokrat tidak sepenuhnya mendapat tanah apanage, tetapi mereka menerima sebagian uang.
Kedudukan tanah apanage di Mangkunegaran agak berbeda dengan yang dibahas diatas. Didalam piagem yang dibuat didalam perjanjian Solotigo tahun 1757 disebut bahwa Mas Said, atau P.A Mangkunegara I mendapat apanage berupa 4000 karya. Pada tahun1813 apanegnya bertambah 1000 cacah dan tahun 1830 bertambah menjadi 500 cacah.
Gambaran situasi apanage di Kasunanan dan Mangkunegaran diatas membawa perkembangan sosial politik yang berbeda. Di Kasunanan tanah-tanah apanage disewakan pada perusahaan perkebunan dan di Mangkunegaran sudah terlebih dahulu diruntis pembebasan apanage dan diusahakan bahwa tanah-tanah itu dimanfaatkan untuk tanaman perdagangan. Namun situasi di pedesaan masih belum berubah, masih terjadi pemerasan, pemaksaan oleh para patuh. Kesimpangsiuran atas tanah tidak menguntungkan patuh maupun petani. Sehingga menyebabkan konflik dan kesengsaraan.
Dalam sistem apanage, fungsi tanah adalah sangat vital karena tanah yang digarap oleh petani memberikan hasil yang disebut pajeg. Dari pajeg itu kehidupan ekonomi priyayi ditanggung oleh petani. Pembayaran pajak berbentuk uang atau barang. Pembayaran di bumi pangrembe dilakukan dengan marohasil dan di bumi pamajegan dibayar dengan uang dengan perhitungan satu real setiap jung ( 1 real = f 2,80 ). Jenis pajak yang terpenting disebut pacumpleng ( semacam sewa tanah ). Meskipun besarnya pajak hanya seperenam atau sepertujuh, tetapi karena setiap cacah harus membayar, jumlah keseluruhanya menjadi besar. Selain itu pajak ada yang disebut pudhutan , pajak ini sebenarnya hanya permintaan patuh pada upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Untuk memperkuat loyalitas penyewa pada patuh diperlukan pembayaran bekti yang akan dibahas kemudian.
Perluasan perusahaan perkebunan menghadapi hambatan yang berupa sistem apanage. Sistem ini adalah kendala bagi proses industrialisasi dan komersialisasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Sebab tanah dan tenaga kerja ada dalam ikatan tradisional yang tidak cocok bagi pengembangan ekonomi kolonial. Oleh karena itu diperlukan pembebasan tanah dan tenaga kerja yang menuntut diadakanya reorganisasi agraria. Jadi tujuan reorganisasi adalah pembebasan tanah dan tenaga kerja petani dari ikatan tradisional.
Hambatan agro-industrialisasi yang lain adalah tuntutan bekti dari para patuh yang terlalu tinggi sehingga perusahaan perkebunan merasa keberatan. Selain itu ekstrasi kolonial juga dihambat oleh banyaknya kerusuhan di desa. Gangguan ini terasa sekali pada waktu krisis pertanian yang mengakibatkan : pertama, banyak perusahaan perkebunan menutup usahanya yang berarti terjadi pemutusan hubungan sewa-menyewa tanah, kedua proses pemiskinan para patuh semakin cepat. Keadaan tersebut menyulitkan kedudukan perusahaan perkebunan, namun jika perusahaan perkebunan berhasil mengatasinya para patuh akan tergantung hidupnya pada perusahaan tersebut. Hal ini yang dipakai alasan oleh pemerintah kolonial untuk segara melaksanakan reorganisasi.
Reeorganisasi merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai majikan baru. Dengan demikian kedudukan patuh dihapus sehingga penekanan pada petani tetap dilakukkan kepala desa yang diangkat sebagai fungsionaris polisi, sehingga tercipta suasana aman di pedesaan. Disisi lain reorganisasi tersebut akan mempermudah penarikan pajak yang berarti proses monetisasi semakin lancar.
Perubahan kedudukan terhadap tanah apanage belum sepenuhnya memberikan harapan bagi pemerintah kolonial untuk mengekstrasi tanah dan tenaga petani semakin mungkin. Oleh karena itu diperlukan transformasi struktural yang kompleks, artinya npemerintah harus segera mengubag masyarakat agraris menjadi masyarakat agro industri karena struktur lama tidak fungsional lagi dalam proses industrialisasi. Struktur itu juga berdampak pada status dan peranan bekel.
Untuk mendukung transformasi itu diperlukan perubahan kelembagaan desa. Kebekelan diubah menjadi kelurahan yang mewadai solidaritas komunal petani untuk pengerahan tenaga kerja. Dengan demikian desa-desa dikoordinasikan dibawah pemerintah kelurahan agar desa-desa mudah dikontrol dari pusat pemerintahan.
Dalam mengfusionalkan masyarakat pedesaan maka ikatan komunal diperlukan untuk memobilisasikan seluruh sumber daya pedesaan. Kenyataan transansisi dari ikatan komunal menjadi asosiasional belum berhasil. Ikatan komunal dan primodial sengaja dipertahankan oleh pemerintah kolonial untuk pembangunan ekonomi kolonial.
Dalam buku ini cukup lengkap megulas tentang sistem apnage dan bekel, khususnya di daerah Surakarta. Baik dari pelestarian sistem feodal tanah Jawa yang sudah trun temurun demi kepentingan pemerintah kolonial, maupun penghapusan sistem ini. Akan tetapi untuk memahami sistem tanah yang terjadi masa kolonial, perlu juga membaca sumber acuan yang lain, seperti buku dua abad penguasaan tanah, ada juga buku karya Mubiarto dkk, tentang perburuhan. Selain itu karya Burger juga mendukung, yaitu sejarah sosiologis dan ekonomi, karya joko suryo dan sartono kartodirjo, sejarah perkebunan di Indonesia, karena dalam memahami tentang agraria tidak bisa lepas dari petani, buruh perkebunan. Tanah sudah menjadi satu rangkaian atau hal yang sangat penting bagi Raja, Priyayi maupun kawulo (rakyat jelata), karena ini adalah sumber kekuasaan, prestis dan mata pencaharian. Jadi diharapakan gambaran secara umum dapat menjadi rujukan maupun pembanding dalam memahami sejarah lokal yang ditulis oleh sejarawan kawakan, yaitu Prof. Dr. Suhartono dalam buku yang saya resume ini. Terimakasih.
Suhartono. 1989. APANAGE dan BEKEL ( Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 ). Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.
0 komentar:
Posting Komentar