Senin, 09 Mei 2011

Kelompok Minoritas Kreatif


Het wonder is gescheld, insulide, de schoone slaaper is ontwaakt. “ suatu kejadian telah terjadi, insulide, putri jelita yang tidur itu telah bagkit” (Mr. Conrad Theodore van Deventer)


Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A Study of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan tentang sebuah metahistory  yang ada dalam peradaban yang mencakup kemunculan, pertumbuhan dan kehancurannya. Toynbee merupakan kemenakan dari seorang sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana namanya dengan sang paman sering salah digunakan karena kemiripan nama. Toynbee memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.
Lihat : http://mas-tsabit.blogspot.com/2009/05/membedah-pemikiran-arnold-j-toynbee.html

Menarik setelah membaca tentang teori yang dipaparkan oleh Toynbee ini, dan ini saya dapatkan saat kuliah Filsafat Sejarah yang diampu oleh Prof. Dr. Ajad Sudrajad, M. Ag. Kemudian kalau dikorelasikan dengan sejarah Indonesia, terutama sejak awal abad ke 20. Dalam metode perjuangan yang sudah bisa dikatakan modern. Artinya, jika kita bandingkan dengan abad-abad sebelumnya terutama terletak dalam penggunaan “akal dan okol”. Ternyata kekuatan otak lebih maju daripada hanya dengan otot saja. Akan tetapi dalam melihat hal ini harus balance, karena dalam perjuangan (revolusi_red), tidak hanya otak saja, tetapi gerakan nyata juga harus ada. Akal untuk berfikir, menyusun strategi dan otot (tenaga_red) untuk bergerak mengaplikasikan hasil dari proses kerangka berfikir.

Masa-masa perlawanan fisik berubah keperlawanan non-fisik. Senjata tidak lagi menjadi panglima. Golongan intelektual mulai bermunculan lewat sistem bentukan pemerinah kolonial Belanda sendiri. Politik etis yang timbul karena kritikan dari kaum-kaum kritis di Belanda, seperti C. Th. Van Deventer yang dimuat dalam majalah The Gids tahun 1899, berjudul Een Ereschuld (Debt of Honour) atau hutang kehormatan. Politik etis mencakup tiga hal (trias), yaitu irigasi, migrasi, edukasi. Secara tekstual memang bertujuan mensejahterkan pribumi, tapi dalam aplikasinya tidak jauh-jauh dari kepentingan yang diusung oleh kolonial Belanda sendiri. Misalnya dalam bidang pendidikan, hal ini bertujuan untuk menciptakan pegawai-pegawai yang bekerja untuk kepentingan kolonial, seperti menciptakan juru tulis, pangreh praja, juru ketik, controlir perkebunan dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam perjalanan watu, dengan adanya pengkotak-kotakan di dalam sistem pendidikannya, yaitu antara sekolah untuk bangsa Belanda (eropa), Cina, Arab, dan Pribumi ternyata menjadi titik balik bagi sejarah Indonesia.

Lulusan dari sekolah bentukan Belanda ini sebagian ada yang menjadi intelektual-intelektual yang kritis. Sebut saja seperti Sutomo, Wahidin Sudiro Husodo, Cipto Mangkusumo menjadi penggerak awal perjuangan teknik baru (modern). Perjuangan dimulai dengan mendirikan organisasi, partai, pers dan sebagainya. Hal ini juga ada dikalangan ulama, dan kaum pribumi lainya seperti KH Ahmad dahlan dengan Muhammadiyahnya dan HOS Cokroaminoto dengan Sarekat Dagang Islamnya. Golongan intelektual kritis minoritas ini mulai bermunculan di balik ribuan penduduk pribumi yang masih berkutat dalam kebodohan dan keterbelakangan. Mereka berjuangan atas asas atau metodenya masing-masing,  berusaha mensejahterkan masyarakat dan menentang praktik-praktik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Masa ini sering disebut dalam Sejarah Indonesia sebagai masa-masa “Pergerakan Nasional”.

Mereka berjuang menegakkan hak-hak yang telah dirampas oleh pemerintah kolonial Belanda. Perjuangan dengan segala cara lewat politik, diplomasi dan sebagainya akhirnya membuahkan hasil. Walaupun kadang terdapat konflik-konflik intern yang tidak dapat dihindarkan, seperti perbedaan asas perjuangan (non-cooperasi vs cooperasi), masalah idiologi dan sebagainya. Semisal dalam perkembangan selanjutnya, muncul seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Hasyim Asyari dan sebagainya.  Para intelektual minoritas itu memang dalam perjalanannya dapat merubah bangsa ini. Seiring dengan berjalannya zaman yang terus bergerak mendatangkan situasi-situasi baru. Hal ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, akan tetapi di belahan bumi manapun, keberadaan dari para “kaum kreatif” minoritas ini yang pada akhirnya merubah suasana bangsa mereka masing-masing. Kejadian dibeberapa tempat di belahan bumi ini, selalu ada dampaknya baik di suatu tempat ke tempat lain. Jadi peristiwa-peristiwa itu menjadi serangkaian acuan untuk bergerak mengikuti teori dan pola masing-masing.
Kita tahu, bahwa sekarang jaman semakin maju, IPTEK semakin berkembang, dan disisi lain permasalahan semakin kompleks. Pertarungan pemikiran, ide-ide, benturan peradaban tidak bisa dipungkiri. Khususnya untuk Indonesia, kita merindukan munculnya para “kaum minoritas kreatif “ini yang nantinya akan membawa bangsa ini ke ranah yang SEMAKIN baik, karena mayoritas manusia dimanapun berada pasti menginginkan keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan sebagainya. Maka dari itu, kalau memengok kembali sejarah pergerakan nasional dulu, mereka berhasil membawa bangsa ini menuju ke pintu gerbang kemerdekaan, dan sekarang kita kita membutuhkan orang-orang yang lebih bisa membawa menuju kemerdekaan yang lebih merdeka dalam segala aspek.

Pemikiran pribadi, setelah sekian lama berkutat dengan buku-buku sejarah indonesia ini. Ternyata seperti yang dikatakan Cicero ; HISTORIA MAGISTRA VITAE, bahwasanya sejarah adalah guru kehidupan. Maka dari itu masa lalu itu selalu aktual, tinggal bagaimana kita mengaplikasikan masa lalu di masa kini. Semoga kita tidak terjebak dalam hal-hal yang terjadi di masa lalu (introspeksi_red). Yang terpenting bukan bagaimana belajar sejarah, tapi bagaimana belajar dari sejarah.

Hasby marwahid/10 Mei 2011/. 02.06 WIB
Ditulis pada tanggal 06 Maret 2011.

0 komentar:

Posting Komentar