Sabtu, 24 September 2011

Quo Vadis Kemalasan ?



Gagal. . .
Hari itu telah lewat
Batasnya sudah habis
Kesempatan itu, oh.. jauh sudah
Harapan itu telah melambaikan tangan. .
“selamat tinggal”,  sampai ketemu dikesempatan yang lebih baik
Tapi kapan? Pertanyaan retoris!
Keringat dan peluh bersatu
Maksimal telah melawan keteledoran
M A L A S ! !

Cahaya siang ini semburat
Ditengah pencakar langit yang gagah menantang
Di sudut ruangan yang kusut
Sebuah meja kerja yang lenggang
Oh. . dimanakah gerangan
Kutunggu dan terus kutunggu
Demi secarik kertas sarat makna
Buku ini sudah lusuh terbantai
Tidak juga terdengar datang
Gayung tak bersambut
Kertas tak bertuan
Sekali lagi, badan ini lunglai terkapar
Kesempatan oh kesempatan

Kupacu mesin menembus semak belukar
Kutatap matahari dengan panas membara
Tergelak, isak tawa dan tangis
Bersatu
Dentuman petir telah lewat
Yah, semua sirna sudah.
Kekonyolan ini..
Diri ini..
Tubuh ini..
Dan,
Kesempatan ini, konyol konyol dan konyol !!

“tidak !! pekikan keras itu menembus telingaku
Pundi-pundi cahaya itu masih ada
Gapaila, genggam dan pelukkah
Hari ini memang sia-sia
Tapi esok?
Menit, jam, hari, bulan, tahun
WAKTU !!
Jantung ini masih berdetak
Bumi masih bergetar
Elok pemandangan pelipur lara
Berlari ku mengitari hamparan
Luasnya dunia di sempitnya hati

Manusia-manusia licik itu.
Ya… Mereka !!
Menari-nari di atas lekukan mata ini
Disingkiri,  didekati. .tersingkir, terasing
Kompetisi dari munafiknya dunia
Dia ada didepan kita
Terlihat, terdengar dan terbaca
Lawan dan bantai
Langkah gontai lemah gemulai
Semilir angin tersenyum pelan.
Seraya terbisik “kamu pasti bisa”.

Munggur, 21/9/2011

Jumat, 16 September 2011

Hedonisme dan Kaum Remaja


Oleh : Hasby Marwahid
Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap orang apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi. (HR. Bukhari) 
Anak Adam berkata: "Hartaku... hartaku..." Nabi Saw bersabda: "Adakah hartamu, hai anak Adam kecuali yang telah kamu belanjakan untuk makan atau membeli sandang lalu kumal, atau sedekahkan lalu kamu tinggalkan." (HR. Muslim)
Apa yang sedikit tetapi mencukupi lebih baik daripada banyak tetapi melalaikan. (HR. Abu Dawud)
Media memang menyuguhkan beberapa hal informasi, seperti berita politik, social, ekonomi  dan lain sebagainya. Seperti juga penawaran iklan tentang berbagai produk yang secara sadar maupun tidak telah membius masyarakat. Kaum remaja yang masih diliputi jiwa yang labil  menjadi sasaran utama para produsen produk-produk terkenal ini. Tidak mengherankan jika budaya konsumtif yang sebelumnya sudah melekat dalam diri bangsa ini dikuatkan lagi dengan budaya hedonisme. Globalisasi dalam segala aspek menjadi magnum opusnya (cikal-bakal_red). Siklus kehidupan yang seperti ini seakan menjadi suatu pola baru dan gaya hidup baru. Hedonism sendiri adalah pandangan yang menganggap kesenangan da kenikmatan materi sebagai tujuan utama hidup. Sebuah kebiasaan yang ternyata realitanya menghancurkan tatanan masyarakat yang ada. Coba lihat kesenjangan social yang terjadi dimana-mana sudah menjadi fenomena yang wajar. “Si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin”, begitulah ungkapannya.
Kemunculan budaya hedonism ini terjadi tanpa kita sadari seiring dengan gerak zaman yang semakin modern. Gaya hidup yang glamor semakin digandrungi oleh para remaja, seakan ada istilah “ga style itu ga zaman gan !!”. Mereka-mereka yang sudah tergila-gila dengan budaya konsumtif akan rela melakukan apa saja demi memenuhi hasratnya. Seperti perburuan akan fashion terbaru, jam tangan merek ternama, sepatu, dan bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki pun tak luput menjadi saksi bisu budaya ini. Keinginan hidup seperti borjuis memang menjadi daya tarik tersendiri, seperti Raja atau bangsawan pada masa lalu.

Minggu, 11 September 2011

Nasionalisme Instan?


"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.
(Pramoedya Ananta Toer: Jejak Langkah)
Memang  menjadi sangat wajar apabila politik kolonial Belanda adalah hasil dari permainan politik dan pengaruh-pengaruh politik dalam negeri yang saling bertentangan. Pelaksanaan politik kemakmuran menimbulkan persaingan antara kaum industrialis dan pemilik perkebunan. Selama masa krisis ekonomi, timbulah pertentangan antara golongan pengusaha, pangreh praja, dan kaum intelek progresif yang termasuk golongan kanan, sedangkan golongan kiri terdapat para misionaris, kaum sosialis yang terdiri dari para kaum intelektual dari Leiden. Dapat dikatakan bahwa menurut pernyataan politik kolonial dan tindakan pemerintah Belanda berjalan di atas garis yang telah dibuat oleh komisi soal mandat. Sesuia dengan prinsip mandat rangkap maka Belanda secara berturut-turut mencoba mengubah pemerintahn dalam negeri, memajukan pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Belanda ingin menganggap dirinya sebagai mandataris di Hindia timur dan ingin melaksanakan tanggung jawab yang dualistis.
Dalam realitasnya ternyata tidak sesuai, pembentukan dewan rakyat (volksraad) seakan-akan memberi kesan bahwa prinsip pembentukan nasib sendiri  dan apa yang dilakukan pemerintah tidak memberi celah pada dewan rakyat  untuk bertindak karena fungsi dan komposisinya telah diatur sedemikian rupa. Sementara itu, di sisi lain Belanda mengadakan perlawanan terhadap kaum nasionalis yang dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat. Kepentingan penduduk pribumi ditempatkan di bawah kepentingan dunia luar pada umumnya dan negeri induk yaitu pemerintah Belanda itu sendiri. Di dalam politik kolonial Belanda,

SAJAK ORANG TUA UNTUK ISTRINYA

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972


sajak ini menginspirasi saya akan sesuatu,
yah. sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
si burung merak telah pergi tapi tidak pergi.
karyanya masih utuh untuk kita nikmati