Minggu, 11 September 2011

Nasionalisme Instan?


"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.
(Pramoedya Ananta Toer: Jejak Langkah)
Memang  menjadi sangat wajar apabila politik kolonial Belanda adalah hasil dari permainan politik dan pengaruh-pengaruh politik dalam negeri yang saling bertentangan. Pelaksanaan politik kemakmuran menimbulkan persaingan antara kaum industrialis dan pemilik perkebunan. Selama masa krisis ekonomi, timbulah pertentangan antara golongan pengusaha, pangreh praja, dan kaum intelek progresif yang termasuk golongan kanan, sedangkan golongan kiri terdapat para misionaris, kaum sosialis yang terdiri dari para kaum intelektual dari Leiden. Dapat dikatakan bahwa menurut pernyataan politik kolonial dan tindakan pemerintah Belanda berjalan di atas garis yang telah dibuat oleh komisi soal mandat. Sesuia dengan prinsip mandat rangkap maka Belanda secara berturut-turut mencoba mengubah pemerintahn dalam negeri, memajukan pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Belanda ingin menganggap dirinya sebagai mandataris di Hindia timur dan ingin melaksanakan tanggung jawab yang dualistis.
Dalam realitasnya ternyata tidak sesuai, pembentukan dewan rakyat (volksraad) seakan-akan memberi kesan bahwa prinsip pembentukan nasib sendiri  dan apa yang dilakukan pemerintah tidak memberi celah pada dewan rakyat  untuk bertindak karena fungsi dan komposisinya telah diatur sedemikian rupa. Sementara itu, di sisi lain Belanda mengadakan perlawanan terhadap kaum nasionalis yang dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat. Kepentingan penduduk pribumi ditempatkan di bawah kepentingan dunia luar pada umumnya dan negeri induk yaitu pemerintah Belanda itu sendiri. Di dalam politik kolonial Belanda, tidak memberi pertanggungjawaban terhadap protektoratnyakarena kepentingan pribumi dianggap bukan faktor yang penting. Akan tetapi sebaliknya, kepentingan kaum kapitalis yang menuntut jaminan usaha-usaha pengusaha Eropa di Nusantara menjadi faktor utama.
Di sisi lain, perkembangan pendidikan pribumi dengan sistem sekolahnya dibagi menjadi empat kategori, a) Sekolah Eropa yang sepenuhnya memakai model Eropa, b) Sekolah pribumi dengan bahasa Belanda sebagai pengantar, c) Sekolah pribumi dengan bahasa Pribumi sebagai pengantar, d) sekolah dengan sisterm pribumi. Sebagai dampak dari perkembangan pengajaran di Indonesia pada waktu itu maka munculah  golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru sesuai dengan diferensiasi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan pemerintahan. Berdasarkan sistem rezim kolonial, struktur kekuasaan bersifat hierarkis-feodal dengan bertulang punggung pegawai Binnendlands Bestuur (BB) atau Pangreh Praja. Dalam perkembangannya, kekuasaan kolonial tidak memperlemah golongan itu, bahkan dalam banyak hal memperkuatnya sehingga timbul semacam enfeudalisasi, dalam hal ini terbentuk semacam kedinasan dan kepangkatan seperti mantri, asisten wedana, wedana, dan bupati.
Suatu kenyataan bahwa baik menurut pendidikan yang diperoleh maupun posisi sosial yang ditempatinya, para profesional banyak sedikitnya mampu melakukan liberalisasi terhadap keterkaitan tradisi dan feodal sehingga mempunyai ruang gerak sosial yang lebih luas. Selama bekerja mereka mendapat kesempatan bergaul dengan teman-teman dari daerah dan kebudayaan lain sehingga selain dapat meluaskan pandangan hidup, juga mempunyai relasi yang lebih luas. Kemudian kita dapat menjumpai hubungan-hubungan baik yang melampaui ikatan primodial, seperti hubungan keluarga, suku, suatu proses yang melembaga, berkembang menjadi jaringan sosial sehingga tercipta ruang sosial, dimana tercipta integrasi nasional yang lambat laun terbangun menjadi organisasi-organisasi pergerakan nasional. Golongan ini dengan posisinya sedemikian rupa timbul sebagai perintis nasionalisme.
Golongan ini selain mendapat pengajaran barat secara textbook dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga mengalami pendidikan formal yang membentuk pola baru (memolakan) yaitu sikap disiplin, pemikiran rasional, gaya hidup dan lain sebagainya. Disisi lain, dampak dari terjadinya urbanisasi dan pendidikan memunculkan konsentrasi penduduk tidak hanya berasal dari penduduk sekitar saja, akan tetapi meluas dari segala penjuru nusantara sehingga tercipta jaringan hubungan yang dulunya komunal menjadi bersatu seiring dengan proses modernisasi dalam segala hal. Komunitas-komunitas di kota menjadi lazim terdiri atas unsur profesional yang mengelompok menurut bidang masing-masing, serta menurut status sebagai pejabat pada umumnya. Di sini elit administrasi termasuk golongan yang berprestise berada. Inti dari golongan ini adalah para pejabat pangreh praja dengan bupati menempati puncaknya, disusul oleh patih, wedana, asisten wedana, mantri, dan juru tulis. Sejajar dengan tingkatan kepangkatannyaada pembedaan lagi, yaitu  priyayi gede dan priyayi cilik. Dimana posisi rakyat biasa? Rakyat berada dalam golongan wong cilik. Selain itu masih ada lagi golongan bangsawan lainnya, seperti ndara-ndara yang masih keturunan raja. Begitulah gambaran status-status sosial masyarakat pribumi pada waktu itu, melingkar lingkar ke dalam dengan sistem yang cukup rumit. Kaum intelektual selajutnya, kelas menengah baru muncul ketika perguruan tinggi mengeluarkan tamatan yang derajat keakademisnya tidak masuk dalam birokrasi, mereka menjalankan profesinya secara swasta. Dari kalangan itulah muncul pemimpin-pemimpin gerakan nasional yang merupakan creative minority group”.
Piyungan, Senin, 12 September 2011
Hasbi Marwahid

0 komentar:

Posting Komentar