Oleh : Hasby Marwahid
Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap
orang apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya
maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih
kesenangan dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia
hijrahi. (HR. Bukhari)
Anak Adam
berkata: "Hartaku... hartaku..." Nabi Saw bersabda: "Adakah
hartamu, hai anak Adam kecuali yang telah kamu belanjakan untuk makan atau
membeli sandang lalu kumal, atau sedekahkan lalu kamu tinggalkan." (HR. Muslim)
Apa yang
sedikit tetapi mencukupi lebih baik daripada banyak tetapi melalaikan. (HR. Abu Dawud)
Media memang menyuguhkan beberapa hal informasi, seperti berita
politik, social, ekonomi dan lain
sebagainya. Seperti juga penawaran iklan tentang berbagai produk yang secara
sadar maupun tidak telah membius masyarakat. Kaum remaja yang masih diliputi
jiwa yang labil menjadi sasaran utama
para produsen produk-produk terkenal ini. Tidak mengherankan jika budaya
konsumtif yang sebelumnya sudah melekat dalam diri bangsa ini dikuatkan lagi
dengan budaya hedonisme. Globalisasi dalam segala aspek menjadi magnum opusnya
(cikal-bakal_red). Siklus kehidupan yang seperti ini seakan menjadi suatu pola
baru dan gaya hidup baru. Hedonism sendiri adalah pandangan yang menganggap
kesenangan da kenikmatan materi sebagai tujuan utama hidup. Sebuah kebiasaan
yang ternyata realitanya menghancurkan tatanan masyarakat yang ada. Coba lihat
kesenjangan social yang terjadi dimana-mana sudah menjadi fenomena yang wajar.
“Si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin”, begitulah ungkapannya.
Kemunculan budaya hedonism ini terjadi tanpa kita sadari seiring
dengan gerak zaman yang semakin modern. Gaya hidup yang glamor semakin
digandrungi oleh para remaja, seakan ada istilah “ga style itu ga zaman gan
!!”. Mereka-mereka yang sudah tergila-gila dengan budaya konsumtif akan rela
melakukan apa saja demi memenuhi hasratnya. Seperti perburuan akan fashion
terbaru, jam tangan merek ternama, sepatu, dan bahkan dari ujung rambut sampai
ujung kaki pun tak luput menjadi saksi bisu budaya ini. Keinginan hidup seperti
borjuis memang menjadi daya tarik tersendiri, seperti Raja atau bangsawan pada
masa lalu. Pada masa itu prestise sangat mempengaruhi terhadap penilaian
masyarakat, tentang statusnya, kemewahannya dan tentunya kekuasaan yang sedang
ia emban. Raja, bangsawan dan rakyat pun saling berlomba menunjukkan ciri khas
masing-masing, dalam hal budaya tentunya. Seorang raja tentunya identik dengan
kemewahan yang bergelimang, dia punya budaya sendiri yang kebanyakan sering
ditiru oleh kelas bawanya entah bagaimana pun caranya.
Keinginan menjadi yang terbaik, be the best, memang hal yang
bagus, akan tetapi jika selama masih
diterima oleh logika. Terkait dengan budaya hedonism ini tidak kita pungkiri,
mereka berlomba-lomba menjadi number one. Hal tersebut sebenarnya dapat
dikikis apabila remaja mau berpikir logis dan rasional terhadap gencarnya iklan
dan globalisasi zaman yang semakin modern. Sadar terhadap trik dan intrik
politik yang dimainkan oleh para kaum kapitalis pada umumnya dan para investor
secara khusus sebagai pemasang iklan yang mempengaruhi konsumsi public. Remaja
adalah masa dimana pemikiran logis, rasoinal dan juga realistis kadang belum
begitu bermain. Kesenganan dan kenikmatan hidup seperti yang dianut kaum
hedonis memang menggiurkan. Perlawanan terhadap pola pikir public menjadi kunci
utama, sebab budaya ini (hedonism) sudah memasyarakat.
Dapat sedikit ditelisik berbagai factor penyebab kemunculan budaya
hedonism. Pertama adalah sikap
Individualisme atau sikap egois yang tinggi. Adanya sikap ini wajar munculnya
karena manusia adalah makhluk invidu tapi bersosial. Maksudnya manusia itu
mempunyai pola pikir individualistis, namun mereka tidak dapat hidup sendiri.
Mereka bersosial akan tetapi hanya dengan keluarganya, komunitasnya,
golongannya dan sebagainya. Adanya sikap ini membuat para penikmat budaya
hedonisme membelanjakan uangnya untuk kepentingan sendiri, tidak untuk
bersosial. Hal ini adalah penyebab semakin membengkaknya jurang antara si kaya
dan miskin. “duit-duit gue, terserah dong mau gue apain”, ucap seorang
hedonis seraya menyingkiri pengemis di depan sebuah pusat perbelanjaan.
Penyebab kedua adalah sifat psikologi dari remaja. Maksudnya mereka
yang memiliki kekurangan dalam berbagai hal, maka dari itu muncul keinginan
untuk menutupi kekurangannya supaya terlihat lebih dengan hal tersebut.
Misalnya saja bersaing dalam hal berpakaian. Akan tetapi sebab kedua ini tidak
mutlak begini, style yang sedang berkembang pada saat itu juga mendorong
untuk segera mengikutinya. Selain itu perasaan cinta terhadap lawan jenis,
membuat para remaja tampil extraordinary, dan dapat tampil lebih
matching. Hal yang terakhir adalah sikap materialisme yang tinggi. Perasaan
cinta pada uang dan materi yang berlebih membuat para remaja membelanjakan
uangnya sesuka hati. Motifnya hanya supaya demi tercapainya status sosial yang
tinggi dan membuat mereka sedikit dihargai oleh masyarakat disekitarnya.
Kebuadayaan hedonisme yang sudah menggejala dan mengakar begitu
kuat membuat pemerintah dan masyarakat semakin prihatin. Ketakuatan tumbuhnya
budaya hedonisme ini juga dirasakan oleh para pendidik. Himbuan-himbuan dari
berbagai media, baik elektronik maupun cetak telah sering dipaparkan untuk
meminimalisir budaya hedonisme ini. Adanya ketakutan dari berbagai pihak,
seperti pemerintah dan sekelompok kalangan ini memang cukup berdasar. Pasalnya,
budaya tersebuat sampai saat ini entah sadat atau tidak, hal ini sudah
membudaya. Akan tetapi jumlah prosentase remaja yang tidak sadar adalah
sebagian besar, dengan pertimbangan salah satunya banyaknya produk-produk yang
laku keras, konsumen utamanya tidak lain adalah remaja.
Keinginan untuk merubah tatanan masyarakat yang sudah terlanjur
skeptic dengan keadaan ini membuat mereka sulit untuk menerima perubahan lain.
Hedonism sudah menjadi semacam kultur masyarakat Indonesia, termasuk para
remajanya. Jiwa-jiwa remaja yang ingin selalu cederung tampil lebih baik dalam
segala hal termasuk gaya yang tampak, style. Apakah mungkin jika para
remaja tersebut tiba-tiba tersadar, kemudian berpaling dari budaya hedonisme
yang sudah melekat ?. Entah sampai kapan
jiwa dan perilaku ini akan menguasai mereka? Jawabannya kembali kepada diri
kita masing-masing, apakah kita mau setidaknya mengikis hal ini, dan tidak menutup
mata akan lingkungan sekitar yang ternyata masih membutuhkan bantuan kita.
Faktanya banyak sekali celah-celah kehidupan ini supaya kita dapat berfikir
rasional intelektual, bertindak positif sebagai pribadi yang religious dan
kreatif. Berpegang teguh pada tali agama dan mencoba diaplikasikan secara nyata. Namun, memang
harus kita pahami dan tidak bisa kita pungkiri, keberadaan kaum hedonis ini
memang ada dan nyata. Mau tidak mau kita pun juga memiliki kesempatan untuk
melakukan apa yang kita kehendaki, tapi tentu dengan segala konsekuensinya.
Siapa yang menanam, dia menuai ! !
“Hidup ini bukan tentang mereka yang selalu ada untuk membantumu,
namun tentang kamu yang belajar mandiri dan membantu orang lain” (M.Syaifuddin)
Munggur, 15 September 2011.
0 komentar:
Posting Komentar