Minggu, 10 April 2016

Tentang Rasa, Jogja dan Kehilangan


Bukankah Yogyakarta memang begitu? Ia adalah rindu, ia adalah benci. Diam-diam, kita jatuh cinta kepadanya.[1]


            Pluit sudah dibunyikan dan kereta sebentar lagi berangkat. Sebuah kuda besi tua yang sangat berisik suaranya meraung-raung seperti terlihat lelah. Orang berduyun-duyun dan ada beberapa berlarian mengejar kereta yang hampir berangkat. Diantara orang-orang itu, aku pun ikut berlari tergopoh-gopoh memasuki peron stasiun dan melesat menuju gebong. Kubuka tas dan segera mengambil tiket untuk mencari dan memastikan tempat duduk yang tertera disana. Yap, dapatlah kursiku bersebelahan dengan ibu-ibu muda. Aku sekali lagi memastikan tempat duduk dan ternyata benar. Tak berapa lama, datang sepasang suami istri mengisi tempat duduk depanku. Yah, kereta yang aku naiki adalah kereta ekonomi AC, dimana setiap penumpang harus duduk berhadap-hadapan dan berhimpitan. Setelah mengatakan permisi dan memastikan tempat duduknya, sepasang suami istri ini meletakkan barang-barangnya dan kemudian duduk. Barang yang dibawa cukup banyak, beberapa tas dan tentengan-tentengan tas plastik.
            Selang beberapa detik, kereta itu segera berjalan. Gerbong yang aku naiki cukup penuh karena memang sedang bertepatan dengan libur panjang. Artinya, hari jumat merupakan tanggal merah dan waktu yang sedikit ini dimanfaatkan untuk berlibur, pulang dan sebagainya. Bagi orang-orang yang bekerja dan punya kesibukan, libur beberapa hari akan sangat berarti sekali. Beberapa orang sudah terlihat bercakap-cakap satu sama lain. Model kereta ekonomi yang mempunyai tempat duduk yang saling berhadapan dan cukup sempit untuk meluruskan kaki memang seolah membuat mereka sekedar menyapa, atau bahkan mengobrol. Ada pula yang cuek dan memasang headset dan memejamkan mata.

Rabu, 02 Desember 2015

Dialog Sebuah Foto

“Mas, sepertinya kita sudahan dulu ya. Aku lelah hubungan yang seperti ini”, ucap wanita itu dengan cepatnya.
“Tapi kan, rencana yang sudah kita buat? Lantas?”, lelaki itu menjawab sekenanya. Pernyataan wanita itu bagai sebuah bom atom yang jatuh tepat di ulu hatinya. Tangannya menggigil dan tubuhnya lemas.
“Aku lelah mas, lelah! Kamu tidak tahu betapa tersiksanya aku dengan hubungan seperti ini”, sesenggukan wanita itu terus menjawab. Tangisnya meledak-ledak dan kata bercampur rauangan tangis. Suaranya menjadi bias dan tidak jelas.
“Aku bisa jelaskan dulu…”, tidak kalah hebat, lelaki itu terbawa oleh suasana. Tangisnya pun tidak dapat ditutupi meski dia terus mencoba tegar dan tidak terlihat cengeng.
“Tuuuutttt..tuuuttttt..tuutttt. bunyi telepon yang terputus. Tidak ada suara lagi. Hanya tangis masing-masing yang terdengar. Mereka mencoba memahami dan berdamai dengan tangisnya sendiri-sendiri. Telepon yang terputus itu seakan lonceng akhir dari terputusnya jalinan asmara dua insan yang direkatkan dalam sebuah komitmen dan cita-cita bersama. Hanya, telepon yang menjadi saksi, betapa nestapanya sebuah hubungan sirna. Hanya komunikasi maya, hanya suara-suara yang serak diiringi tangis yang mengalun menusuk ceruk-ceruk cakrawala.

Malam menjelma menjadi dingin. Gelap dan dingin. Persis. Mengisyaratkan suasana hati yang tak bisa digambarkan lagi dengan apa pun, kecuali memang remuk redam. Botam menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Matanya tidak henti-hentinya surut dari berderainya air mata. Ia tutupi kepalanya dengan bantal dan mulutnya meraung-raung. Berteriak. Mungkin dengan berteriak satu masalah menjadi tenang dan hilang. Tidak. Pikirannya tetap melayang-layang. Entah sadar atau tidak. Kejadian lewat begitu saja, tanpa sebab musabab yang jelas. “Ini membingungkan, apa salahku?” pikir Botam dalam hati. Sudah kulakukan semua yang aku bisa, sepertinya tidak sedikitpun aku mengecewakan. Kita sudah berjanji, kita sudah ikat janji itu dalam sebuah ikatan pikiran yang kuat. Sudah tali temali kedalam pikiran kita masing-masing. Ah jarak. Kenapa jarak yang mengecilkan cita-cita kita yang lebih Agung? Bukannya jarak menjadikan kita untuk lebih saling percaya akan kekuatan cinta, lantas setelah bertemu akan meledakkan kerinduan yang kering dengan pertemuan itu menjadi Maha dahsyat. Tapi?!”, Botam terus berpikir dalam hati disertai tangis dan sesenggukan. Nafasnya menjadi sesak. Hidungnya tersumbat air peluhnya.

Selasa, 22 September 2015

Kamis, 27 Agustus 2015

Refleksi Kemerdekaan



            Peringatan hari kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 17 Agustus beberapa waktu lalu telah dirayakan oleh seluruh elemen masyarakat. Gegap gempita  rakyat Indonesia dalam rangka meneruskan, menghargai jasa pahlawan dan mengisi hari kemerdekaan dengan pelbagai macam kegiatan. Mulai dari kajian-kajian ilmiah sampai perayaan-perayaan lain seperti lomba-lomba. Momen hari kemerdekaan menjadi semacam pesta rakyat dari lintas usia, mulai dari kakek nenek sampai anak-anak kecil.
            Tepatnya 70 tahun sudah Indonesia merdeka dan lepas dari cengkeraman kuku kolonialisme yang sudah menancap terlalu dalam. Bahwa bangsa Indonesia telah dijajah sekian abad, silih berganti “tuan” yang terus menerus mengeruk, merampas kekayaan dan hak-hak rakyat Indonesia. Terdapat polemik seberalam sebenarnya kita dijajah oleh bangsa-bangsa barat, banyak masyarakat awam setuju dengan diktum bahwa Indonesia telah dijajah oleh bangsa Barat selama 350 tahun atau sekitar 3,5 abad lamanya. Terdapat generalisir dan pemahaman yang kurang tepat terhadap hal ini. Menurut G.J Resink, Indonesia dijajah bukan selama 3,5 abad dengan alasan bahwa Aceh baru berhasil dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-20 an.

Selasa, 07 April 2015

Penindasan yang Menguntungkan. Studi tentang Manfaat Tanam Paksa (Cultuurstelsel) ?

Membicarakan tentang Cultuurstelsel merupakan pembahasan yang menarik. Sebab ada beberapa pendukung dan penentang terhadap sistem tersebut. Apakah sistem tanam paksa ini memberikan dampak positif, ataukah berdampak negatif dan menyengsarakan petani? Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Pasalnya, penelitian yang dilakukan oleh para orientalis dan juga para peneliti Indonesia sendiri terjadi tarik menarik akan hal tersebut. Para orientalis yang condong ke arah nederland-sentris dan peneliti yang melihat dari dalam, indonesia-sentris. Penelitian tentang tanam paksa tersebut meskipun saling mengkritisi satu sama lain, namun pada dasarnya saling melengkapi dengan intrepetasi arsip kolonial secara berbeda. Pada pokok ini, intrepretasi dan imajinasi dari para sejarawan terkait hal tersebut cukup diuji, akan kematangan berfikir, dasar teori, dan pendekatan yag dilakukan dalam studi tentang Cultuurstelsel di Indonesia, khususnya di daerah Jawa. Sudah banyak sekali penelitian terkait hal tersebut dilakukan, bahkan bukan saja saling mengkritisi, namun kajian yang dilakukan sudah mencakup pada tataran skup skup yang lebih sempit. Ada yang membahas tentang sistemnya, tenaga kerja, pedesaan, dan lain sebagainya.
Studi tentang tanam paksa yang dilakukan oleh R.E Elson mengenai kemiskinan dan kemakmuran kaum petani pada masa sistem tanam paksa di pulau Jawa bisa dikatakan berbeda dengan kajian sebelumnya. Perbedaan yang mendasar terletak pada aspek petani, yakni tesis yang dikemukakan Elson adalah bahwa sistem tanam paksa tidak serta merta menghisap petani dan menyengsarakan rakyat, namun mempunyai manfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, khususnya petani. Elson melihat, kajian tentang tanam paksa yang terdahulu selalu melihat bahwa pelaksaan sistem tanam paksa selalu diidentikan dengan penghisap dan tidak bermoral. Seakan-akan petani menjadi aktor pasif yang paling menderita dalam pelaksaan tanam paksa, khususnya di Jawa. Elson mengemukakan dua alasan penolakan tersebut, pertama bahwa pandangan mengenai penyebab kemiskinan tersebut terdapat kelemahan logika dan struktural yang parah. Kedua, bahwa banyaknya bukti-bukti perlawanan yang menjadikan kesan penolakan terhadap sistem tersebut.
Pada penguatan argumennya, Elson mengemukakan beberapa yang menjadi dasar cara berfikirnya, yakni kebanyakan bukti dan alasan yang melatarbelakangi tersebut masuk akal, dalam artian masuk akal dengan dikukuhkan fakta yang nyata. Pembuktian itu digunakan sebagai pengganti penelitian empirik mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Maksudnya seharusnya yang dikemukakan adalah apa yang sebenarnya terjadi bukan masuk dalam kategori “masuk akal”. Maksudnya masuk akal jika para petani menghabiskan waktunya bekerja di tanam paksa sehingga mereka melalaikan tanaman pangannya. Hal ini yang menjadi kritik tajam Elson, bahwa gaya argumentasi semacam ini menjadi indikator dari kelemahan pembuktian penelitian tentang pelaksanaan taman paksa. Kelemahan selanjutnya, studi tentang terjadinya kemiskinan akut di Jawa akibat tanam paksa tidak didukung dengan konteks kesejarahannya. Maksudnya, kajian ini kurang memberi ruang terhadap kondisi di Jawa sebelum tanam paksa. Timbulnya kemiskinan itu perlu didasarkan pada pemahaman sempurna tentang keadaan masyarakat yang ada sebelum berlangsungnya perubahan yang konon menyebabkan kemiskinan tersebut. Hal terakhir yang menjadi argumentasi Elson adalah petani sebagai agen yang pasif dan tertidas oleh struktur yang berjalan. Petani digambarkan sebagai obyek sasaran dari penindasan dan tidak berdaya. Daya kreatif dan daya kecerdasan petani untuk bertahan hidup seolah tidak ada. Perspektif ini merupakan distorsi dari alam kehidupan petani sendiri. Jika ditilik dari perspektif petani sebagai agen pelaku dan pengelola, maka menurut Elson, alasan kemiskinan dari petani tersebut kurang meyakinkan.
Terdapat beberapa telaah yang memperkuat hipotesa Elson mengenai kemiskinan dan kemakmuran di Jawa, terutama yang terkait dengan manfaat tanam paksa. Periode kurun waktu tahun 1858-1868 terjadi peningkatan kemakmuran penduduk di Jawa. Hal ini mengacu kepada laporan residen tentang semakin bertambahnya luas tanah yang digarap, ramainya kegiatan niaga, meningkatnya penduduk dan taraf konsumsi, perbaikan sarana perumahan, meningkatnya bahan pangan dan sandang, dan juga produksi pangan. Sampai Gubernur Jenderal menyatakan bahwa pulau Jawa pada masa tersebut dalam hal kebendaan teah mengalami kemajuan dan perkembangan pada taraf mengesankan. Pada tahap data statistik dari laporan pemerintah jajahan, menunjukkan angka yang bergerak naik. Pajak, beban kerja, dan upah yang diberikan petani ternyata tidak serta merta menyengsarakan, akan tetapi mendapat kemajuan dan kenaikan grafik statistiknya. Petani dapat membelanjakan jumlah perkapita yang makin meningkat untuk membeli harta benda dan barang konsumsi. Selai itu ekonomi pedesaan yang mulai meningkat, industri pedesaan mulai bermunculan seperti kerajinan tangan dan pertukangan, perdagangan eceran dan pengangkutan. Peningkatan itu itu dilihat dari peningkatan ekonomi yang merata dan kemampuan menghasilkan pendapatan lain.
Sementara itu di sisi lain, pelakanaan sistem tanam paksa yang diterapkan di Jawa merupakan model ekonomi politik monopolistik. Tujuannya adalah mencari keuntungan maksimal untuk negara induk yakni Belanda dari potensi ekonomi yang ada di Jawa. Tujuan utam yakni merangsang produksi dan ekspor komoditas pertanian yang laku pada pasaran Eropa. Sistem tanam paksa dapat dikatakan unik, dalam artian sistem ini tidak diterapkan pada daerah jajahan di Asia Tenggara lainnya mengingat kondisi alamnya, ekonomi dan struktur sosial yang bisa dikatakan ada kemiripin. Namun, sistem tanam paksa di Jawa perlu ditelaah jauh, yaitu pada masa VOC mempraktikkan sistem tersebut.
Prototipe sistem tanam paksa di Jawa adalah penanaman kopi di Jawa masa VOC pada awal abad ke-18, khususnya di daerah Priangan. VOC yang sebenarnya sebagai perusahaan dagang telah melebarkan sayapnya ke arah sistem produksi untuk meneragamankan komoditas-komoditas ekspor yang laku keras di pasaran Eropa, yakni kopi. Daerah Priangan sendiri, pasca VOC bubar dan diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda, tanam paksa di daerah tersebut tetap dipelihara dan dilanjutkan. Situasi internal dan eksternal yang terjadi di Hindia Belanda dan Negeri Belanda sendiri mau tidak mau harus melestarikan sistem tanam paksa yang dianggap menguntungkan dari segi ekonomi untuk mengembalikan kembali pondasi ekonomi negeri pusat yang sedang goyah.
Inti dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah tentang pembentukan modal, tenaga kerja murah, dan ekonomi pedesaan. Ketiga hal tersebut punya kait mengait dalam pelaksanaan sistem tanam paksa. Mengenai penanaman modal, sistem tanam paksa memperlihatkan bahwa Jawa pada saat sistem itu berlangsung dapat menghasilkan komoditas tertentu seperti kopi, tebu, indigo, beras dan sebagainya, didapatkan dengan cara cukup sederhana untuk bisa bersaing dipasaran Eropa. Hal ini menjadikan medan magnet terutama pasca sistem tanam paksa mengalami keruntuhan dan mulai berkembang pasca tahun 1880 an, dimana saat itu Jawa dijadikan ladang investasi besar-besaran.
Soal tenaga kerja yang murah, masyarakat golongan lapisan menengah dan atas saat itu sudah mafhum bagaimana cara mengeksploitasi  tenaga kerja dan menangani pasar untuk memperoleh keuntungan maksimal atas produk yang ada. Sistem tradisional masih dipelihara dengan kuat, sistem patron-klien. Kaum tani jawa tidak terbiasa dengan sistem upah terbuka dan umumnya tidak memandang kerja upahan sebagai satu-satunya cara untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Menurut Van Niel, para petani memandang pekerjaan dalam konteks pelayanan wajib kepada penguasa yang lebih tinggi harus dipenuhi.  Pada pelaksaannya, sebagian besar petani di Jawa tidak memahami nilai kerja sebagai alat untuk mencapai tujuan, melainkan memandang  kerja sebagai beban yang ditanggung. Penambahan jumlah kerja paksa yang memberatkan seluruh lapisan penduduk mengajarkan tentang bagaimana bekerja dalam budidaya tanaman baru. Hal ini tetap tidak merangsang para petani untuk bergiat menanam dagangan ekspor, karena pandangan kaum petani Jawa dalam konteks kerja tidak berubah.
Pada tataran ekonomi pedesaan, Van den Bosch memaksimalkan fungsi kepada desa untuk mengarahkan mereka dengan legitimasi kekuasannya melancarkan pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Hal tersebut bisa berupa pembukaan lahan baru, tentunya beserta dengan penduduk yang sekaligus menjadi tenaga kerja. Kekuasaan lapisan atas warga desa diperkuat dengan penugasan fungsi dan kewengan baru yang memungkinkan kepala desa beserta sekutunya mengusai tanah sekaligus tenaga kerja, hasil bumi pada derajat lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Pada praktik ini, sering terjadi penyelewengan yang memberatkan para petani. Kepala desa beserta sekutunya sering bertindak mengatasnamakan pemerintah Kolonial, dan dibalik itu terdapat kepentingan memakmurkan individu.
Masih ingat dengan buku yang ditulis oleh Multantuli, yakni menceritakan betapa menderitanya petani di Lebak Banten akibat dari pelaksanaan sistem tanam paksa. Tulisan tersebut mengguncang negeri Belanda, karena pada saat itu sedang ramai-ramainya dikaji tentang pelaksaan sistem tersebut di Jawa khususnya. Pertentangan dan perdebatan di parlemen Belanda sendiri juga sedang panas terjadi. Kembali lagi kepada studi Elson mengenai dampak positif dari sistem tanam paksa, hal ini dibantah oleh studi yang dilakukan Furnifall, bahwasanya ada pertanyaan besar yang dilontarkan, yakni berapakah jumlah orang atau daerah yang mendapat keuntungan dari sistem tanam paksa, dan siapakah sebenarnya mereka itu?
Jika dilihat dari sudut pandang petani, memang terdapat kemiskinan yang mendalam dan penderitaan akibat kerja keras dari sistem tanam paksa tersebut. Beban yang didapat para petani yang merupakan lapisan paling bawah (grassroot) seakan bertumpuk, dengan berbagai macam beban yang harus ditanggung. Pajak yang cukup besar, setoran wajib, dan upah yang sedikit atau relatif murah mengharuskan petani memutar otak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Konsep ekonomi subsisten atau prinsip ekonomi untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup dan berdasarkan konsep nilai kerja yang dipahami oleh petani Jawa, menjadikan hidup mereka sangat sederhana. Di sisi lain, upah yang didapatkan petani yang sedikit dan naiknya kebutuhan konsumsi yang diperantarai oleh orang-orang cina yang berjualan berbagai macam kebutuhan rumah tangga. Apalagi pada masa itu peredaran candu sedang marak, dan merupakan hal yang digandrungi oleh para petani atau pekerja perkebunan.
Ihwal pengaruh manfaat dan kerugian akibat tanam paksa ini juga menjadi diskusi yang menarik. Namun, pada akhirnya Elson sendiri menyimpulkan sistem tanam paksa itu secara langsung maupun tidak langsung, paling tidak dalam jangka pendek memberi peluang-peluang  untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta membuka kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan ekonomi pangan dan membuka kemungkinan pertumbuhan ekonomi masyarakat petani, yang sebelumnya sangat terbatas pilihannya. Sementara Van Niel berpendapat bahwa hipotesa sementara bahwa ada pengaruh dari pelaksanaan sistem tanam paksa pada pertumbuhan sosial-ekonomi berikutnya. Pada perkembangannya sistem tanam paksa justru memperkenalkan beberapa perubahan taktis yang membuat eksploitasi kolonial dapat berjalan jauh lebih efektif, tetapi ini adalah bagian pokok yang tidak dapat dipisahkan dari arus sejarah panjang yang melibatkan integrasi Jawa ke dalam sistem ekonomi pasar.
Lebih jauh lagi, ada indikator untuk menyimpulkan mengenai sistem tanam paksa di Jawa khususnya. Pertama, sistem tanam paksa merupakan alat yang digunakan pemerintah kolonial untuk mengeksplorasi potensi ekonomi Jawa dan orang Jawa untuk mencapai keuntungan maksimum dengan cara paling ekonomis dan sangat efektif. Kedua, sistem tanam paksa ini mempunyai dampak positif dan negatif bagi petani. Dampak positif di sini dalam arti menawarkan penghasilan tambahan bagi petani dengan ekspansi luas lahan padi dan diversifikasi kesempatan kerja. Dampak negatifnya yaitu pembebanan masukan kerja wajib yang tidak sepadan dengan upah yang diterima petani. Sementara ambisi dari residen dengan kerja tambahan mengakibatkan penderitaan yang mendalam, seperti kelaparan. Akhirnya tanam paksa mengakibatkan kekurangan tanah-tanah yang baik untuk ditanami kembali dan terjadinya penggundulan hutan akibat pembukaan lahan. Ketiga, sistem tanam paksa telah membantu perkembangan pola pembangunan ekonomi yang memaksakan perubahan sosial pada masyarakat petani abad ke-19. Perubahan ini melibatkan kesenjangan yang melebar antara elit desa dan kelas-kelas yang lebih rendah dari petani akibat perbedaan penghasilan dan kekuasaan politik yang lebih kuat, terutama pada posisi kepala desa.

Depok.
Hasby Marwahid



Daftar Pustaka
Anne Booth, Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
J.S Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute, 2009.
J. Thomas Lindblad dkk, Fondasi Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: LP3ES, 2003.









Dekonstruksi Globalisasi


Globalisasi yang terjadi dewasa ini tidak lepas dari persinggungan berbagai macam budaya antar negara. Globalisasi mengakibatkan lunturnya batas-batas budaya, negara, dan lain sebagainya akibat interaksi yang terus menerus dan frekuensi pergaulan antarnegara, antarbudaya, antarmanusia yang lebih tinggi. Globalisasi bukanlah proses yang statis, melainkan proses yang dinamis. Kadar pergaulan internasional meningkat dan batas antarnegara menjadi pudar karena besarnya interdependensi ekonomi. Sebenarnya, globalisasi bukan sekedar persoalan perekonomian saja. Menurut Benny Hood, globalisasi adalah gejala budaya karena terbentuknya dan tersebarnya “kebudayaan dunia” di berbagai negara. (Hoed: 2011). Hal ini tentu tidak lepas dari peran ekonomi dan teknologi yang tentu sangat penting dalam pengembangan sistem budaya ini. Kehadiran pasar intenasional seperti bank-bank, produk-produk, dan lain sebagainya secara disadari atau tidak telah membentuk gaya hidup metropolitan dan internasional terutama di kota-kota besar. Pendapat yang berkembang adalah mau tidak mau kita harus menerimanya dan menyesuaikan diri kita. Teori tentang gobalisasi menandaskan bahwa globalisasi dikhawatirkan melemahkan kedaulatan negara dan bangsa (nation-state).
Dekonstruksi Globalisasi
Terjadi perdebatan antara Derrida dengan de Saussure perihal lisan dan tulisan, tanda, dan makna. Menurut De Saussure bahasa tulis merupakan turunan dari bahasa lisan. Jadi, bahasa yang utama adalah bahasa lisan. Bahasa yang sebenarnya adalah bahasa lisan. Menurut Derida, konsep dari dekonstruksi adalah bahwa struktur makna suatu tanda bukan sesuatu yang obyektif dan bukan sesuatu yang subyektif. Begitu diucapkan atau ditulis, suatu tuturan akan hidup dan lepas dari penuturnya sendiri. Menurut De Saussure, mengenai tanda yang terdiri atas penanda dan petanda adalah suatu struktur yang statis. Derrida menjelaskan bahwa tanda adalah struktur yang dinamis yang mempunyai makna sendiri. Sedang, de Saussure mengatakan bahwa makna itu dihasilkan dari perbedaan antara satu tanda dengan tanda yang lain dalam sistem yang sama (difference), dan Derrida mengatakan bahwa makna itu dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan makna berbeda-beda menurut tafsiran setiap individu. Jadi, memahami globalisasi adalah pemahaman atas suatu struktur pikiran yaitu kata “globalisasi” itu sendiri.
            Inti dari dekonstruksi sendiri adalah suatu proses penafsiran yang sistematis oleh setiap individu atau kelompok masyarakat tertentu. Seluruh konsep isi dan makna yang berkaitan dengan globalisasi ditunda dan melihat makna dari globalisasi ditafsirkan berbeda dengan tafsiran mainstream dan dari para pencetusnya. Konsep dari dekonstruksi membantu kita untuk mencari hal-hal baru sesuai dengan perkembangan zaman dan lingkungannya. Pada jamaknya, kebudayaan dunia dipahami berasal dari negara-negara maju, bahwasanya dalam sejarah peradaban yang berperadaban maju dan tinggi pasti akan mempengaruhi wilayah disekitarnya dan bahkan yang berjarak jauh sekalipun. Kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi, penguasaan media massa internasional maka negara-negara maju dapat mengalirkan kebudayaan dari “utara ke selatan”. Negara utara termasuk negara-negara Barat dan negara selatan termasuk negara timur, termasuk Indonesia. Utara menjadi pemasok dan selatan menjadi penerima (recipient). Ide dan konsep besar seperti demokrasi, modernisasi, dan liberalisasi menyebar keseluruh belahan peradaban di bawah kolong langit ini.
Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dari proses penerimaan konsep dari utara ke selatan ini masuk ke dalam beberapa aspek, termasuk dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Proses modernisasi yang sekarang telah terjadi adalah 99 persen menerima dan 1 persen penciptaan. Modernisasi tidak lain adalah penerimaan dan keterbukaan dari konsep utara ke selatan, utara memberi dan selatan menerima. Konsep-konsep globalisasi juga masuk ke dalam teori-teori ilmu pengetahuan. Hegemoni teori yang datang dari utara terasa jelas dan mainstream yang menjadi langue, yaitu pola berfikir, bertindak dan lain sebagainya dalam ranah kehidupan kita. Tekanan dari utara yang terus menerus terhadap selatan menyebabkan kita berfikir ulang tentang makna globalisasi. Menurut Benny Hoed, bahwa mendekonstruksi globalisasi harus dimaknai sebagai proses dialog yang terus menerus, bertahun-tahun dan dialog yang panjang tentang makna terbalik dari globalisasi.
Jika kita kembali ke masa lalu tentang bagamana globalisasi terjadi di negara kita Indonesia, khususnya pada budaya Jawa, konsep globalisasi ini menjadi menarik. Proses globaliasi terjadi di Jawa dengan adanya arus budaya India dengan Hindunya disebarkan lewat perdagangan. Banyaknya bahasa sansekerta yang terserap dalam bahasa Jawa dan dalam beberapa konsep budaya Jawa sendiri termasuk filsafat dan kesenian, menunjukkan bahwa kebudayaan Hindu telah masuk kedalam budaya Jawa tersebut. Pada akhirnya, hasil akhir menunjukkan bahwa kebudayaan Jawa tidak identik dengan kebudayaan India. Kebudayaan Jawa menyerap kebudayaan Hindu dan mengembangkan kebudayaannya sendiri disesuaikan dengan alam pikiran Jawa sendiri. Kemampuan masyarakat Jawa dalam mengembangkan dan memanfaatkan kebudayaan besar ke dalam dirinya melalui proses dekonstruksi telah terbukti dari menjelmanya kebudayaan Jawa menjadi kebudayaan yang besar pula. Mereka berhasil mengembangkan wacananya sendiri dan modernitas dengan kreativitas yang tampak itu telah membawa masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang canggih pula.
Globalisasi menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat dunia ini, baik yang memberi maupun menerima, utara ke selatan. Globalisasi harus kita tanggapi secara kritis dengan upaya membuka wacana baru yang datang dari dalam kebudayaan kita sendiri dan memilah unsur luar yang memang sesuai dengan alam pikiran kita, seperti seni, filsafat, budaya, politik, susastra, dan lain sebagainya. Proses degradasi moral dalam berbagai bidang telah merasuk kedalam alam pikiran masyarakat kita, baik dari anak-anak maupun kawak-kawak. Perkembangan arus budaya dan informasi seolah tidak ada filter menjadikan masyarakat semacam mengalami disorientasi. Masyarakat seolah kehilangan identitas dirinya dan lebih bangga dengan modernisasi dan globalisasi. Mereka seakan lupa bahwa nilai-nilai dan kearifan lokal yang lebih sesuai dengan alam pikiran kita itu lebih baik dan nilai-nilai luar yang masuk tidak sepenuhnya menimbulkan hal yang tepat. Harus ada filter yang kuat dalam menangkal arus negatif yang datang dari luar dengan cara menguatkan karakter lokal yang lebih arif, sehingga tidak kaget dengan arus luar yang begitu deras mengalir dan bahkan seakan tidak terbendung.
Analisa Partikular
Proses dekonstruksi terhadap makna-makna yang mainstream memang baik untuk mengetahui dan bahkan untuk menolak dan mengembangkan konsep yang jamak diikuti oleh orang. Setelah kita membahas lebih jauh bagaimana cara mendekonstruksi dari makna gobalisasi tersebut, bahwa mencoba melekatkan makna dibalik makna itu sendiri memang lebih tepat. Pasalnya, jika kerangka pola pikir anti mainstream tersebut dipakai, maka kita akan mudah mengembangkan konsep-konsep “tidak lazim” seperti apa yang dipikirkan orang. Dekonstruksi mengajarkan kita untuk mencoba membedah kembali makna dari balik makna umum itu sendiri. Mengulang kembali teori dekonstruksi dari Derrida, bahwa penanda tidak berkaitan langsung dengan petanda. Petanda dan penanda tidak berkaitan satu sama lainnya. Tanda dilihat sebagai struktur perbedaan sebagaian selalu tidak di sana, dan sebagian bukan yang itu. Penanda dan petanda selalu berpisah dan menyatu kembali dengan kombinasi-kombinasi baru. Derrida mengatakan bahwa ketika kita membaca suatu petanda, makna tidak semata-mata menjadi jelas. Penanda menunjuk pada apa yang tidak ada, maka dalam arti tertentu, makna tersebut menjadi tidak ada. Makna tersebut terus bergerak dalam mata rantai penanda dan kita tidak dapat memastikan posisi persisnya karena makna tidak pernah terikat pada satu tanda tertentu.
Tanda tidak dapat dipahami sebagai sebuah unit yang homogen yang menjembatani asal-usul (rujukan) dan tujuan (makna) karena tanda dibaca dalam pengertian lain dan selalu dimuati jejak tanda lain yang muncul secara tidak utuh dan pada dasarnya bahasa adalah proses yang temporal. Pada contohnya, ketika kita membaca kalimat, makna sering baru muncul setelah kalimat itu selesai dibaca dan bahkan makna tersebut dapat dimodifikasi oleh penanda yang muncul kemudian. Bahasa bukan alat yang kita ciptakan sendiri, melainkan alat yang paling mungkin kita gunakan sebagai akibat seluruh gagasan tersebut bahwa kita adalah entitas yang utuh dan stabil itu juga akan berubah menjadi sebuah bias dan tidak bermakna. Memang sedikit rumit pengertian disini, akan tetapi hal ini menegaskan kepada kita bahwa tidak ada yang tetap, dan semua bisa berubah menurut tafsiran masing-masing.
Jika konteks dekonstruksi diterapkan dalam bidang ilmu sejarah, maka hal ini menjadi sesuatu yang akan menarik sekali. Bahwa pengaruh posmodern dalam bidang sejarah adalah mencoba mempertanyakan segala hal yang telah tetap dan tentang obyektifitas. Ihwal tetap dan obyektifitas dalam sejarah ini menjadi perdebatan yang menarik karena hal utama dalam sejarah adalah terkait dengan obyektifitas fakta. Sejarah terkait dengan data-data pokok berupa arsip, catatan-catatan resmi, surat kabar sezaman, foto, dan sumber-sumber pendukung lainnya. Sejarawan punya otoritas penuh dalam menguak peristiwa sejarah berdasarkan data dan fakta yang dia peroleh. Interpretasi terhadap sumber-sumber ini tentu menjadi perdebatan jika kita kaitkan dengan metode dekonstruksi Derrida. Penelitian sejarah saling melengkapi atau bahkan membantah terkait dengan temuan para sejarawan dalam penelitian. Bahkan saat ini terjadi perdebatan dari para sejarawan sendiri terkait dengan gempuran posmodern yang mulai mempertanyakan teori-teori yang sudah tetap dan cara menginterpretasikan fakta-fakta yang ada. Terlepas dari itu, metode dekonstruksi dari Derrida bisa menjadi masukan baru dalam metodologi sejarah, bahwa tidak ada yang tetap dalam penafsiran teks. Masalah tentang subyektifitas dan obyektifitas yang selama ini menjadi perdebatan yang seakan tidak kunjung usai malah menjadikan khasanah dalam ilmu sejarah menjadi semakin menarik. Wacana dalam perkembangan ilmu sejarah terutama di Indonesia dewasa ini cenderung menerima sesuatu yang tetap dalam metodologi sejarahnya. Padahal perkembangan keilmuan yang semakin masif seharusnya membuka wacana-wacana baru yang akan menjadikan kajian sejarah sebagai kajian yang mengikuti arus baru perkembangan keilmuan.  Supaya ilmu sejarah tidak menutup mata dari perkembangan dan ketetapan dari metodoginya yang seakan sudahtaka tetap. Dekonstruksi mengantarkan pada penafsiran fakta-fakta menjadi dinamis dan tidak statis. Kekuatan kata-kata pada tafsiran dokumen-dokumen dan fakta-fakta dalam sejarah dibawa ke arah lepas dan tidak terikat, meski Derrida menyatakan bahwa sejarah itu adalah permainan kata-kata.


Depok.
Hasby Marwahid



Daftar Pustaka
Benny H. Hoed. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Giddens, Anthony. 2003. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Yogyakarta: IRCiSod.
Madam Sarup (terj: Medhy Aginta). 2007. Postrukturalisme dan Posmodernisme; Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela.



Kekuasaan, Pengetahuan dan Kebenaran


Episteme itu bisa diartikan sebagai aparatus diskursif yang mengkonstruksi wacana, baik itu wacana ilmiah maupun non-ilmiah. Kita memperoleh pengetahuan sama dengan kita memperoleh bahasa, dan kesempatan kita untuk menolak pengetahuan tersebut sama kecilnya dengan kesempatan kita untuk tidak mau belajar bahasa tertentu dari semenjak lahir hingga dewasa. Ini tidaklah sama dengan kekuasaan represif (penggunaan kekuasaan untuk menghentikan kita untuk melakukan sesuatu). Ini terkait dengan penggunaan kekuasaan untuk membangun kemampuan kita sebagai manusia (tidak semata-mata hewan saja), dan memiliki pengetahuan tertentu untuk melekatkan makna pada pengalaman kita. Sebagai contoh seperti anak kecil yang baru mulai menjadi manusia seutuhnya malalui belajar bahasa tertentu, maka kita hanya akan mengetahui yang benar dan yang salah, sebagai hasil dari pengaruh wacana tertentu terhadap pikiran kita. Tapi tidak berarti dengan demikian kita dapat mengklaim sudah mengetahui sesuatu dengan pasti. Kita hanya akan dapat mengetahui kebenaran sesuai dengan yang diketahui dan fahami dalam wacana kita.
Seperti anak kecil yang tidak mengetahui bahasa mana yang harus dipelajarinya seiring bertambahnya usianya, kita pun juga tidak punya pilihan terhadap pengetahuan tertentu tentang dunia yang kita peroleh. Menurut Foucault melalui wacana lah yang mendominasi suatu waktu dalam sejarah dan suatu tempat di dunia sehingga manusia memiliki kerangka pikir atau pandangan tertentu. Cara pandang model seperti itu adalah seperti yang disebut oleh Foucault sebagai Episteme. (Pip Jones: 2010). Bagi Foucault, jika anda ingin memahami perilaku manusia pada waktu dan tempat tertentu, maka temukan wacana yang mendominasi pada tempat tersebut. Jika ingin mengapa wacana tertentu berkuasa, maka jadilah arkeolog sosial : mengetahui asal-usul cara mengetahui dengan melakukan dekonstruksi dan meneliti landasan yang pada kekuasaan tersebut itu berada dan dominan.
Pemikiran yang penting pada Foucault adalah arkeologi (archealogy), meski pada perkembangan selanjutnya dia lebih memilih menggunakan istilah geanologi. Istilah ini mengacu pada pencarian asal muasal dari kebenaran. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan kebenaran mutlak atau kebenaran  akhir seperti asal usul segala sesuatu terjadi, seperti Tuhan, Idea, dan sebagainya. Namun, Foucault menolak tentang kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan yang universal dan mutlak sumbernya berasal dari metafisika. Bahwasannya manusia dan budayanya, rahasia alam, yang berada dalam ruang dan waktu tertentu merupakan sumber dari ilmu pengetahuan dan filsafat, merupakan bagian dari bagaimana cara manusia mengungkapkannya. Foucault menolak bahwasanya wacana ilmu pengetahuan dan filsafat  yang menyatakan dirinya universal dan obyektif melalui penelusuran terhadap teori dan konsep yang digunakan oleh ilmuwan. Pada perkembangannya budaya umat manusia berubah dari waktu ke waktu atau bersifat discontinue (Ahyar Lubis: 2014). Menurut Foucault ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang cukup ampuh untuk pendisiplinan dan pelatihan, dapat digunakan juga sebagai alat untuk menaklukan dan membuat orang patuh sebagaimana dikemukakan oleh para ilmuwan ahlinya.
Kritik yang dilontarkan oleh Foucault terhadap pandangan ilmiah modern adalah bahwa klaim dari ilmu pengetahuan sebagai kebenaran obyektif dan universal karena darinya kita mengerti benar dan salah (oposisi binair) sebagai wacana tertentu dalam pikiran kita. Maka dari itu pengetahuan tidak berarti kita telah mengetahui secara obyektif dan pasti. Bahwa pada suatu era ada episteme, pandangan dunia dan wacana dominan yang mempengaruhi cara berfikir ilmuwan. Foucault mengemukakan pentingnya memahami episteme yang tersembunyi dalam wacana ilmiah tersebut dengan suatu metode. Jika kita ingin mengetahui satu episteme yang dominan pada masa tertentu, langkah selanjutnya adalah menelusuri asal-usul dan dasar pemikiran episteme itu. Selanjutnya, dengan kita mengetahui episteme terebut kita bisa mengkritisi secara ketat kelemahan-kelemahan asumsi-asumsi epsitemologi dominan yang terjadi. Metode ini sebenarnya identik dengan model dekonstruksinya Derrida.
Foucault menyatakan ada empat hal dominan dimana diskursus dianggap membahayakan, yakni politik (kekuasaan), hasrat (seksualitas), kegilaan, dan apa yang dianggap benar atau salah. Point benar atau salah ini menurut Neitzche dimaksud kehendak untuk berkuasa. Bagi Foucault sendiri ini diidentikan dengan keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk mempertahankan status quo ilmu pengetahuan menjadi hegemoni. Geanologi disini diartikan sebagai hubungan historis antara kekuasaan dengan diskursus. Ilmu pengetahuan berperan membentuk manusia dan kekuasaan (aturan, politik) yang digunakan untuk mengatur subyek. Semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroprasinya kekuasaan karena ingin mengetahui adalah proses dominasi terhadap obyek-obyek dan manusia. Pengetahuan ternyata merupakan cara bagaimana kekuasaan memaksakan sesuatu kepada orang lain tanpa memberi kesan berasal dari pihak tertentu. Pengakuan akan obyektifitas dan keilmiahan seakan impersonal atau bebas nilai tanpa disusupi kepentingan subyek tertentu.
Maka dari itu setiap wacana selalu mencari status ilmiah supaya dikaitkan dengan subyek tertentu sehingga tidak dicurigai membawa kepentingan atau nilai tertentu. Berfikir secara kritis sangat penting untuk menjawab tantangan atau menganalisa antara hubungan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran. Melalui cara membongkar hubungan kekuasaan yang disembunyikan maka akan mendorong munculnya perlawanan dan memperluas kebebasan akan berbagai hal. Pada lingkup ini memungkinkan kebenaran yang terpinggirkan akan terungkap. Kebebasan kita memungkinkan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam bertindak. Orang tidak lagi terkungkung dalam nilai, norma, tradisi,  dan aturan yang cenderung melawan perubahan. Hanya dalam suasana perubahan ini dalam arti kebebasan yang membongkar dominasi-dominasi kuasa tersebut, maka dapat dimungkinkan menghasilkan pengetahuan untuk dapat melawan cara memerintah yang dominan. Bahkan bila pengetahuan itu memakai nilai luhur dan kebaikan didalamnya. (Haryatmono: 2010).
Hubungan antara Kekuasaan, Ilmu pengetahuan dan kebenaran menurut Foucault ini menarik jika dilihat dari perspektif sejarah. Arkeologi atau geanologi dari Foucault ini menggeser manusia dari posisinya sebagai subyek modernitas sebagai pelaku utama. Dari sudut pandang peradaban Eropa yang terkenal rasional dan serba logis ternyata dalam konteks sejarahnya banyak melenceng dari idealisme Eropa sendiri. Sejarah tidak selalu diciptakan oleh seorang aktor yang rasional logis yang dapat menjalankan roda sejarah secara linear dan bergerak maju. Malah justru sebaliknya, sejarah diciptakan oleh hasrat, keinginan, dominasi, kekuasaan yang tidak terkontrol, perselisihan pendapat dan diskontiunitas. Sejarah yang rasional dan dipadu subjek adalah sejarah yang dikonstruksi oleh epistemologi dan metodologi romantisme tentang dari kita sendiri sebagai pelaku yang rasional.


Depok.
Hasby Marwahid