“Mas, sepertinya
kita sudahan dulu ya. Aku lelah hubungan yang seperti ini”, ucap wanita itu
dengan cepatnya.
“Tapi kan,
rencana yang sudah kita buat? Lantas?”, lelaki itu menjawab sekenanya.
Pernyataan wanita itu bagai sebuah bom atom yang jatuh tepat di ulu hatinya.
Tangannya menggigil dan tubuhnya lemas.
“Aku lelah mas,
lelah! Kamu tidak tahu betapa tersiksanya aku dengan hubungan seperti ini”,
sesenggukan wanita itu terus menjawab. Tangisnya meledak-ledak dan kata
bercampur rauangan tangis. Suaranya menjadi bias dan tidak jelas.
“Aku bisa
jelaskan dulu…”, tidak kalah hebat, lelaki itu terbawa oleh suasana. Tangisnya
pun tidak dapat ditutupi meski dia terus mencoba tegar dan tidak terlihat
cengeng.
“Tuuuutttt..tuuuttttt..tuutttt.
bunyi telepon yang terputus. Tidak ada suara lagi. Hanya tangis masing-masing
yang terdengar. Mereka mencoba memahami dan berdamai dengan tangisnya
sendiri-sendiri. Telepon yang terputus itu seakan lonceng akhir dari
terputusnya jalinan asmara dua insan yang direkatkan dalam sebuah komitmen dan
cita-cita bersama. Hanya, telepon yang menjadi saksi, betapa nestapanya sebuah
hubungan sirna. Hanya komunikasi maya, hanya suara-suara yang serak diiringi
tangis yang mengalun menusuk ceruk-ceruk cakrawala.
Malam menjelma
menjadi dingin. Gelap dan dingin. Persis. Mengisyaratkan suasana hati yang tak
bisa digambarkan lagi dengan apa pun, kecuali memang remuk redam. Botam
menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Matanya tidak henti-hentinya surut dari
berderainya air mata. Ia tutupi kepalanya dengan bantal dan mulutnya
meraung-raung. Berteriak. Mungkin dengan berteriak satu masalah menjadi tenang
dan hilang. Tidak. Pikirannya tetap melayang-layang. Entah sadar atau tidak.
Kejadian lewat begitu saja, tanpa sebab musabab yang jelas. “Ini membingungkan,
apa salahku?” pikir Botam dalam hati. Sudah kulakukan semua yang aku bisa,
sepertinya tidak sedikitpun aku mengecewakan. Kita sudah berjanji, kita sudah
ikat janji itu dalam sebuah ikatan pikiran yang kuat. Sudah tali temali kedalam
pikiran kita masing-masing. Ah jarak. Kenapa jarak yang mengecilkan cita-cita
kita yang lebih Agung? Bukannya jarak menjadikan kita untuk lebih saling
percaya akan kekuatan cinta, lantas setelah bertemu akan meledakkan kerinduan
yang kering dengan pertemuan itu menjadi Maha dahsyat. Tapi?!”, Botam terus
berpikir dalam hati disertai tangis dan sesenggukan. Nafasnya menjadi sesak. Hidungnya
tersumbat air peluhnya.
“Syifaaaaaaaaa‼”,
Botam berteriak samar karena suaranya sudah menjadi serak karena tangisnya.
Dia berdiri dan
bangkit dari kasurnya. Membuka jendela karena kamar begitu pengap dengan isak
dan air mata. Udara malam menusuk dan binatang-binatang yang bernama nyamuk
menari-nari sesekali menghisap darahnya, bukan air matanya. Andai nyamuk bisa
diajak berbagi dan pengertian, hisaplah air mataku ini. Bantu aku mengurangi
getir ini.” batin Botam dalam hati sambil bersenderan di samping jendela. Malam
begitu hening, lalu-lalang orang dan kendaraan sudah begitu sepi. Orang-orang
sudah nyenyak merajut mimpi-mimpi setelah seharian lelah mengarungi kehidupan
Jakarta yang memang begitu melelahkan. Diambilnya secangkir kopi yang ada di meja.
Diseruputnya kopi yang sudah menjadi dingin. Diseruputnya lagi. Hingga tinggal
endapan kopi yang sudah nampak begitu pekat, pahit. Diletakkannya cangkir itu
dimeja lagi. Kemudian menatap suasana luar dari bilik-bilik jendela. Cahaya
lampu masuk menembus dari celah-celah jendela kamar. Melamun.
Diambilnya
rokok, dibakarnya satu batang rokok. “fhhhhhhhhhhhh...” Ia menghempaskan
asapnya yang kemudian membumbung tinggi. Dihisapnya lagi dan lagi. Dimatikan
rokoknya. Kemudian melamun lagi. Ia tutup jendela kamar dan menjatuhkan lagi
badan di atas kasur. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang serba
kacau. Ia merasakan, betapa menderitanya. Seolah ia adalah orang yang paling
menderita di dunia. Cinta. Pikirannya berkecamuk dan melayang-layang akan hari
depan. Matanya mendadak mengeluarkan air mata lagi dan lagi. Betapa hebatnya
kekuatan cinta yang membuat orang menjadi bahagia dan menderita dalam taraf
yang tidak bisa diukur. Menjadikan semangat dan bahkan menjadikan gila
sekalipun. Memang betul, orang tidak siap untuk menderita karena cinta, yang
dipikirannya hanya bahagia dan senang. Hanya tawa dan canda tanpa sadar
dibaliknya ada duka yang mengintip.
Ia seka air
matanya dengan tangan. Lalu mengambil handphone. Dibukanya galeri tentang
foto-foto saat mereka bersama-sama. Bermain dan berkunjung ke tempat-tempat
jauh. Dilihatnya masa-masa romantis yang tertinggal dalam foto-foto itu. Ia
tersenyum disertai tetesan air mata yang mengalir lagi. dipandangnya foto-foto
itu. Semua foto yang menunjukkan kesenangan. Foto-foto yang sangat bahagia.
Dimana berdua tertawa lepas dan ikhlas. Dimana belum ada penderitaan dan
penghianatan. Dimana, masih satu cita-cita dan satu pikiran bersama. Dimana
rencana-rencana ke depan sudah disusun dengan rapinya. Tapi, semua lenyap dalam
hitungan detik,menit dan jam. Lewat percakapan telepon yang tidak tuntas dan
tanpa sebab musabab yang masuk akal. Tapi, cinta memang tidak punya akal
barangkali. Hanya punya tawa dan tangis tanpa ada akal. Pikiran Botam terus
berkecamuk dan menjadi-jadi. Satu foto ia pandangi dengan lama. Matanya
membulat bagai burung hantu. Tajam. Urat-urat didahinya berkerut. Lalu, tangisnya meledak lagi.
Dilemparkannya handphone itu. Ditutupnya muka dengan bantal dan berteriak
menjadi-jadi.
Foto itu, foto
terakhir barangkali. Sejak keberangkatan pertama ke Jakarta untuk memenuhi
panggilan pekerjaan yang memaksa harus meninggalkan Yogyakarta. Ia memenuhi
panggilan untuk bekerja disebuah perusahaan di Jakarta. Saat itu diantar oleh
Syifa ke Stasiun Tugu sampai ke dekat peron. Mereka mengambil foto bersama
dengan meminta bantuan oleh orang yang lewat. “Mas, bisa minta tolong, fotoin
kita ya mas”, ucap Botam sembari menyerahkan handphone kepada orang tersebut.
“Terimakasih mas”, sambungnya sembari melisan salam.
“Mas, besok
kalau sudah di Jakarta jangan macam-macam. Jangan kepincut dengan cewek
sana. Kan di sana ceweknya cantik-cantik dan gaul-gaul. Banyak artis juga kan
disana. Gedungnya tinggi-tinggi, nanti mas temangsang dengan gadis jakarta,
gimana dong”, ucap Syifa dengan sayu dan polosnya. Memang polos, wanita ini
dilahirkan dari daerah pedesaan pedalaman di Jawa Tengah. Desanya diapit dua
Gunung yang raksasa yaitu Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Dua gunung diantara
beberapa gunung yang menjadi pakubhumi dengan begitu kokohnya.“Jangan lupa
terus memberi kabar ke aku ya, besok kalau pulang aku masakin deh, aku masakin
sayur asem, sambel terasi sama ayam goreng. Asin gakpapa, yang penting kamu kan
tetap setia”, lanjut Syifa dengan polosnya wanita desa.
“Tenang, aku
tidak macam-macam kok, aku kerja kan buat masa depan kita nanti. Buat modal
menikah, buat modal melamar kamu”, Botam mengatakan sembari memegang kepala
Syifa. “ Aku tidak lama kok dek, besok aku akan coba mengurus untuk pindah
dikantor cabang yang di Yogya, supaya bisa dekat dengan kamu terus”, rayu Botam
sambil terkekeh.
“Ah, semoga,
semoga, semoga. Amin Ya Allah”.
“Iya, semoga
Tuhan melancarkan cita-cita kita dan mengabulkan harapan-harapan kita, kan?”
“Aamin.”
“Oiya, salam ya
buat kedua orang tuamu, aku berangkat berjuang di Jakarta dulu, yang sabar ya
dek, jangan nakal. Terus memberi kabar juga. Jaga dirimu baik-baik. Besok aku
sering-sering menelpon ya.”
“Iya mas,
hati-hati mas. Nanti aku salamin sama orang tua ku.”Syifa berkata lirih dan
pasrah. Botam mengecup dahinya dan memeluknya beberapa detik. Syifa menguatkan
rekatan pelukannya dan tangisnya mengucur deras dari matanya. Terisak-isak.
Akan rindu yang akan dirawatnya untuk beberapa bulan ke depan.
Kereta sudah
meraung-raung. Bunyi mesin sudah memanas. Suara dari operator stasiun
mengingatkan kepada para penumpang segera masuk ke dalam gerbong karena kereta
sebentar lagi akan berangkat. Botam melepaskan pelukannya dan mulai mengambil
tas dan barang bawaanya masuk kedalam gerbong dibantu oleh Syifa sampai ke
tempat duduknya. Mereka bersalaman dan berpelukan sekali lagi. “Yang sabar dan
kuat ya dik! Aku tidak lama, besok kalau dapat cuti pasti aku akan pulang.
Tunggu kepulanganku beberapa bulan ke depan. Jagalah rindu kita dengan doa-doa
khusuk. Tuhan tidak tidur, sayang.” Botam mencoba menenangkan dan menguatkan.
Isak tangis kecil keluar dari mata dan mulut Syifa sembari berjalan mundur
untuk keluar dari gerbong kereta api. Pintu kereta di tutup. Syifa mendekati
jendela tempat duduk Botam. Menatap sayu dan mata yang berkaca-kaca. Kereta
berjalan dengan pelan-pelannya. Lambaian tangan kedua pasangan itu menyiratkan
makna perpisahan dan rindu yang mendalam. Barangkali, perpisahan yang
sebenar-benarnya barangkali. Botam memasang muka tegar dan tersenyum sembari
terus melambaikan tangan. Dan Syifa lama-kelamaan menjadi kecil, kecil, seiring
bergeraknya kereta dan kemudian hilang diganti dengan bunyi berisik kereta yang
bergerak dengan cepat.
“Foto itu… ‼”
kembali Botam terbuyar dari lamunannya. Memandangi kembali foto itu
dalam-dalam. Foto terakhir bertemu. Dan ini menyiratkan apakah terakhir
benar-benar bertemu. Perpisahan yang sebenar-benarnya. Tidak. Tidak. Apakah ini yang disebut perpisahan seperti
dalam film drama-drama memuakkan itu? Atau, ini yang disebut sebagai drama
sandiwara dan penghianatan. Begitu meradangnya dia, pikirannya masih kacau dan
malam masih terlalu dini untuk tidur. Pikirannya yang seperti ini sepertinya
tidur bukan dan belum mampu untuk menyelesaikan masalah. Jam dinding sudah
menunjukkan pukul 01:00. Pagi kah? Kenapa ini disebut pagi? Apa ukuranya? Hari
masih gelap dan dimanapun pasti pagi ditandai dengan terbitnya matari. Berarti juga
menunjukkan terang bukan gelap. Kenapa pembagian waktu jadi membingungkan seperti
ini. Bingung seperti perasaanku yang diaduk-aduk. Lebih dari pukul 00:00 pasti
disebut dini hari. Banyak orang mengatakan sudah pagi. Jam 02:00 pagi misalnya.
Bagaimana logikanya? Bukankah pukul segitu langit masih gelap? Jam 02:00 malam
lebih tepatnya karena langit masih gelap. Nah, pagi kan diukur dari terangnya
langit sampai tenggelamnya matari di ufuk Barat.” Pikiran Botam terus
berkecamuk dan melamunkan hal-hal lain, mencoba-coba mengalihkan masalah.
“Apa dia sudah
lupa pada janji? Atau ada lelaki lain selain aku? Atau ada yang kurang dari
aku?” Ia mencoba meraba-raba duduk soal yang abu-abu ini. Betapa mudahnya
manusia lupa pada janji yang sudah disepakati. Pada cita-cita yang diamini
bersama. Tanpa paksaan tanpa penindasan. Mengamini janji yang sudah diikrarkan
dengan senyum dan pengharapan-pengharan di depannya. Betapa mudahnya manusia
goyang pada godaan. Rubuh pada harapan lain yang hanya kelihatan indah, sesaat.
Ah, apa arti hakiki seorang manusia jika dibandingkan dengan hewan. Jika rumah,
hewan juga punya kandang atau sarang. Jika pakaian, hewan juga punya pakaian
yang indah, bulu-bulu. Mulut, hewan juga punya mulut untuk makan dan berkicau.
Lantas, hanya kata-kata yang tidak dipunyai hewan. Kicauan, auman, atau yang
lain sebagaianya itu bahasa yang hanya dimengerti hewan sejenisnya. Pun
demikian dengan manusia. Manusia itu kan yang dipegang adalah mulutnya,
kata-katanya, janjinya. Jika itu tidak bisa, lalu apa yang berharga dari
manusia. Perusakannya, pembunuhannya terhadap sesama. Ah, mungkin manusia itu
seperti hewan yang bercelana, diberi gincu-gincu supaya menarik.” Botam mencoba
mengurai-urai dengan langkah nostalgik akan kisah-kisah yang dibangunnya
beberapa bulan silam dengan Syifa. Ia berdialog dengan imajinasinya. Terus dan
terus.
Lantas, apa yang
menyebabkan ia berubah drastis seperti ini. Tidak ada tanda-tanda, tidak ada
angin, awan gelap kenapa tiba-tiba hujan. Tidak ada sebab musabab kenapa dia
berkata seperti itu tadi ditelepon?” mencoba menerka-nerka, Botam seakan
kehabisan akal untuk berfikir dengan jernih. “kalau aku salah, aku salah apa?
Kalau ada masalah, masalahnya apa?” dirinya dicecar pertanyaan sendiri yang
harus dijawabnya sendiri. Seorang diri.
Diambilnya
handphone yang terkulai lemas dikasur seperti badanya, tapi bukan pikirannya.
Pikirannya malah semakin menjadi-jadi. Disulutnya rokok.
“Pffffffffffffffhhhhh……” asap tebal keluar dari mulutnya. Seakan asap rokok
menjadi pelipur lara dan inspirasi akan jawaban dari pertanyaan yang dibuat
oleh kalut pikirannya sendiri. Dibukanya beberapa media sosial dan mencari-cari
tentang kabar terbaru Syifa di dunia maya. Facebook, twitter, instagram, dan
path. Tangan dan pikirannya terus bekerja dan terjaga supaya tetap terus waras.
“Ah…… ‼”
pekiknya tiba-tiba.
“Siapa dia?”
“Galih Strong
Heart…‼” tanyanya lirih.
“Ahhh .. ‼”
nafasnya naik turun dan sesak. Perasaannya campur aduk, antara penasaran,
marah, emosi, entah. Pikirannya tertuju pada satu nama itu dan tangan serta
akalnya terus menyelidik dengan seksama.
Dia membuka dan
menjelajahi satu nama, Galih Strong Heart yang menjadi nama di media sosial
itu. Instagram. Tidak di gembok akunnya. Dia telanjangi satu-satu foto dalam
akun itu sampai habis. Rasa penasarannya belum juga reda. Dia ketik di mesih
pencarian google ihwal satu nama itu. “Ketemu! ternyata” ujarnya sembari
tertawa puas. Sementara hatinya seperti hampir mendidih akan hal ini dan
sekaligus badannya menjadi lemas seketika.
Ada sebuah
komentar balas komentar dan berujung makan bersama. Dia mengamati dengan
seksama foto terutama komentar yang ada di instagram Syifa. Foto sebuah makanan
dengan disertai sebuah tempat kuliner yang terkenal di Yogyakarta, taman
kuliner. Bukan foto dan tempatnya yang menjadikan dada Botam menjadi sesak dan
lemas, akan tetapi terdapat pada komentar-komentarnya.
“Very delicious.
Yummy ‼” penjelasan gambar yang berada di Foto tersebut.
“Assyik, enak
sif? Boleh dong nyobain.” Komentar Galih di foto tersebut.
“Cobain aja
sendiri, di taman kuliner Condong Catur, lih!”
“Aku kan rangerti
tempatnya. Hehehe.”
“Cari di mbah
google lah.”
“Yook, sama kamu
dong, malem minggu ya?! Gas!”
“Eciyeeee…”
komentar Sutra, teman Syifa kuliah.
“Opo sut,
biasa wae lah.”tulis Syifa dikomentarnya.
Dibacanya
berkali-kali komentar di akun instagram Syifa itu. Pikirannya terus menyelidik.
Nalurinya berubah menjadi seolah seorang detektif yang mencoba membongkar
teka-teki janggal ini. “Ah, kalau seperti ini, apanya yang aneh?” Batinnya
mencoba menolak itu tapi akal sehatnya terus curiga. Dibuka lagi akun instagram
dari Galih Strong Heart itu. Dilihatnya semua foto-foto dia di “love” oleh
Syifa. “Hmmmm.. ini tidak ada yang aneh. Kembali lagi ke foto-foto di Instagram
Syifa, dan pun demikian, banyak foto Syifa yang di “love” oleh Galih. “Lalu,
apa yang aneh?” Botam terus menyelidik penasaran.
Matanya terus
begidik, dadanya tiba-tiba menjadi sesak lagi. Lebih sesak dari foto tadi.
Badannya terkulai lemas. Tapi masih menduga-duga. Ia luput pada satu foto di
Instagram Galih. Sebuah foto makanan dengan tanggal 09 November.
“Sedaaap!
Makasih kamu.” Judul dari foto di akun Instagram Galih Strong Heart. Komentar
keduanya menyesakkan, dengan memberi mention kepada Syifa. “Terimakasih
@Syifa_Beautiful, sudah mau menemani makan malam.
“Pie Painya enak
@galihstrongheart?”komentar Syifa.
“Cie… clbk niii
yeee.” Sebuah komentar dari Arif teman Galih Strong Heart.
“Apaan sih”
Syifa menimpali komentarnya.
“Doain ya Rif..
heheheheh.” Komentar penutup dari Galih Strong Heart yang membuat nafas Botam
naik turun dan emosi menyala-nyala, berkilat-kilat.
Dibukanya media
sosial lain, Path. Botam menemukan kejanggalan. Update-an Syifa di taman
kuliner meskipun tanpa “with” terjadi pada jam yang sama dan tempat yang sama
dengan instagram tadi. “ Ada apa ini?” Jurus otak atik gathuk disertai
akal sehat mulai digunakan oleh Botam. Kalau ini memang benar mereka malam
minggu makan malam bersama, lantas? Oh mereka jalan bareng? Lalu? Apa
salahnya?” bertanya-tanya ada keanehan. Kejadian itu terjadi pukul 20:00,
setelah kejadian memilukan lewat telepon tadi. Tidak puas dengan itu, dia
mencoba membuka Facebook dari Syifa. Dia buka foto-foto, album demi album yang
dia upload. “Benar! Ternyata benar! Tidak salah lagi.” Lirih Botam mengucapkan
kata-kata dengan lemas.
Ada beberapa
foto yang luput dihapus di Facebook Syifa. Foto berdua dengan lelaki yang tidak
lain adalah yang disebut Galih Strong Heart itu. Ternyata namanya aslinya
adalah Galih Pambudi. Foto itu masih menggunakan seragam putih abu-abu dengan
berlatar sebuah kelas. Duduk berdua dengan muka yang seolah-olah memang polos.
Duduk berdempetan dan tangan Galih merangkul pundak Syifa dan menyandar di dada
lelaki itu. Betapa nafas Botam naik turun menjadi-jadi. Peluh dan tangis pun
meledak perlahan. “Ah benar, cinta lama bersemi kembali.”Botam membatin kata-katanya.
Tidak ada lawan bicara atau teman saat ini yang bisa mendengarkan tumpahan rasa
emosi dan duka laranya. Syifa kembali lagi ke hatinya yang dulu. “Syifa kembali
dengan kekasihnya saat SMA. apa yang kurang dari aku? Padahal mukaku tidak
jelek. Apa masih ada, dizaman sekarang cinta hanya menandaskan pada muka.
Memandang cinta pada tampilan fisik, bukan dibalik fisik ada ketulusan,
pengorbanan, dan perjuangan. Lalu bisa disebut apa cinta yang seperti ini?
Mencintai lahiriah, tapi menafikkan hati. Seperti mencintai patung, indah di
fisik, tidak bernyawa dan dan tidak punya perasaan.
Jika alasannya
fisik, sepertinya itu terlalu naif. Ada musabab lain pasti. Tapi apa?” Botam
terus berfikir dan matanya menyelidik. Matanya mendadak tajam menatap
langit-langit kamar yang tidak bersuara. Dinding-dinding kamar pun juga tidak
memberikan jawaban. Sedang malam semakin larut. Masih belum juga mendapat
jawaban yang bernas. Hati masih kalut mencari musabab yag masuk akal. Cara
merajut-rajut fakta-fakta yang ada dalam foto-foto itu dianalisanya perlahan.
Berdasarkan tanggal kejadian, komentar yang ada, sedikit bumbu imajinasi dan
akal sehat. Sebenarnya jawaban sementaranya sudah masuk akal dengan bukti kuat
foto di Facebook Syifa. Bahwa Galih adalah kekasihnya sejak masa SMA. Botam
berulang-ulang lagi mencari kekurangannya. Dan, manusia adalah gudangnya
kekurangan, jauh dari kesempurnaan, dan mencoba seolah-olah terlihat sempurna.
Memaksa menjadi sempurna itu menyakitkan, apa lacur manusia hanya makhluk lemah
yang mencoba kuat. Bahwa mereka sebenarnya memang tidak pernah sempurna. “Lantas,
materi atau bendawi? Ah, meski aku belum punya apa-apa, aku punya tekad untuk
itu. Dengan bekerja lalu menabung.”Ia terus bertanya-tanya dan terus. Begitu.
Bertanya dan bertanya pada diri sendiri.
“Jarak? Apa
benar ini karena jarak.” Pikirannya mulai menyelidik lagi. Berapa jauhnya
Jakarta dengan Yogyakarta. Hanya beberatus kilometer dan itu bisa direkatkan
dengan adanya teknologi yang semakin mutakhir. Bahwa jarak jauh atau dekat itu
adalah bagaimana setiap manusia meihat sisinya. Bukan pada angka nominal
beratus atau bermil. Jarak itulah yang menciptakan manusia, dan manusia harus
membuat jarak untuk hati-hati, lebih waspada dan didalam jarak ada kerinduan.
Begitu? Jika kurang komunikasi nampaknya bukan ini masalahnya. Apa dia terlalu
kanak untuk mengerti pikiranku? Bahwa jarak ternyata mengikis pelan-pelan rasa
sayang dan komitmen yang dibuat, disepakati bersama. Tanpa rasa tertekan dan
pura-pura.” Matanya berkaca-kaca lagi dan isak tangisnya sesenggukan perlahan
terdengar. Mengalun perlahan memantul pada dinding dan atap kamar. Senyap.
“Hmmmmmmffffhhhh….”
Dihempaskan nafasnya kasar.
“Ah, hubungan
yang berjarak. Apakah ini yang dinamakan oleh orang-orang dengan cinta layu
karena jarak?” mencoba berdialog mengurai tanda tanya. Barangkali, pertemuan
yang berlanjut di meja makan itu sebab musababnya. Ketemu. Sekarang ketemu
masalahnya. Bukankah, dialog di meja makan dua insan yang berbeda kelamin itu
sarat bahaya. Jika salah satunya sudah menjalin tali kasih kepada yang lain.
“Hmmmmmmmm..” gumamnya bebarengan nafas-nafas emosional. Yang ditakutkan bukan
pertemuannya, tapi obrolan dan setelah pertemuan itu. Setelah pertemuan pasti
ada rasa. Yang dulu masih mengendap. Pertemuan mencairkan rindu atau rasa yang
mengendap. Mungkin kisah mereka belum selesai. Hanya berjeda. Tapi, kenapa aku
yang masuk ke dalam jeda kisah Syifa. Kenapa! Dan, kisahku berakhir di sini,
dijeda yang menyesakkan ini? Oh, Tuhan! Pertemuan yang kebetulan, dan
perpisahan yang disengajakan. Kenapa harus ada pertemuan kalau setelah itu ada
perpisahan? Apalagi seperti ini. Kenapa Tuhan menciptakan hati. Hati dan
jiwa-jiwa. Karena dua itu manusia merasakan sedih senang, setia dan berkhianat.
“Brakkkkk…braakk…braaakkkk‼”
dibenturkannya kepala di dinding samping kasur. Pening, pusing. Frustasi.
Diambilnya
sebatang rokok dan disulutnya kembali. Asap membumbung tinggi memantul pada
atap ruangan. Ditaruhnya rokok menyala itu di sebuah asbak ukiran kayu
oleh-oleh dari Kalimantan. Dipandanginya rokok yang menyala, asapnya
meliuk-liuk ke udara.
“Aku terlalu
kekanak-kanakan kah bersikap seperti ini?” tanyanya dalam tatapan kosong
memandangi nyala rokok yang belum juga padam. Dewasa bukan berarti tidak
menangis. Senjata manusia saat terdesak adalah menangis. Seolah menangis adalah
jawaban dari masalah-masalah yang mendera. Menangis seorang diri di kamar
sampai air mata kering pun juga tidak ada yang peduli. Seolah aku merasa
sendiri di dunia yang begitu ghalib ini. Kesepian, kebosanan akan menghinggapi
hari-hari depanku kah? Bahwa yang pelik didunia ini adalah kesepian. Bukan
kebosanan. Kesepian adalah kerabat dekat penderitaan. Kering, hampa, kedap akan
cinta. Cinta. Mencintai. Dicintai. Nista sekali pikiran menjerumus seperti ini.
Kehilangan kekasih seperti kehilangan masa depan. Bukan?! Betapa bodohnya
manusia yang bunuh diri ihwal perkara lawan jenis. Sampai mengakhiri hidup yang
sedemikian indah untuk dinikmati. Dinikmati, nikmat dan mati. Jika dipenggal
maka nikmati itu menjadi kematian. Kematian atau kenikmatan. Itu pilihan. Aku
ingin menikmati hidup. Aku tidak mau mengakhiri nikmat itu dengan mati
pikiran-pikiranku. Hidup terlalu singkat untuk sedih perkara-perkara seperti
ini.” Matanya berkaca-kaca. Ada semangat yang timbul pelan-pelan dalam jiwanya.
Tubuhnya menjadi ringan dan nafasnya tidak lagi sesak. Senyum mengembang
perlahan-lahan.
“Hahahahahaha…”
Botam tertawa dengan ritme perlahan. Dia terus tertawa. Tertawa menjadi obat
sementara dari tangis-tangis berderai sejak tadi. Tertawa disertai tangis,
antara semangat dan hati yang tertusuk sembilu. Bukan tangisan yang murung
dengan mata mengatup menutup harapan. Tapi, tangisan yang membawa pengharapan-pengharapan
akan hari esok. Setelah tangis ada tawa, setelah gelap ada terang, setelah
hidup ada kematian, dunia berkelindan pada dua kutub itu. Dan terus menerus
sampai dunia tidak ada lagi.
Ada seberkas
cahaya, ada sebuah jalan, ada masalah pasti ada jalan keluarnya. Tergantung mau
mencari jalan keluarnya atawa tidak. “Aku tidak ingin seperti ini terus, besok
biarlah besok. Aku mau masalah ini mencair saja bukan mengedap. Seperti ampas
kopi yang mengendap. Pahit. Biarlah kalau kelak ini menjadi kenangan, menjadi
kenangan yang mencair, bukan kenangan yang mengendap. Aku tidak mau masalalu
yang mengendap, pahit. Tapi masalalu yang mencair. Biar manis hidup ini.” Batin
Botam dengan senyum pengharapan.
Malam semakin
melarut dan kalut mendekati pagi. Suara-suara ayam ibu kos sudah
berkokok-kokok. “Aku akan menghubungimu besok, atau besoknya lagi. Aku tunggu
waktu seminggu, biar gelombang perasaan ini menjadi tenang. Biar akal dan rasa
bekerja. Bukan amarah. Apa gunanya
menyelesaikan perkara dengan orang yang masih emosi dan hati yang kalut.
Seperti mengadu dua gelas kaca, pasti akan pecah. Biar seminggu besok aku
menghubungimu, Syifa. Meski besok kamu tetap menjadi gelas, aku bukan gelas
lagi, aku menjadi busa atau apalah yang lunak saja. Meski besok kita berdebat,
aku sudah melunak, atau mungkin kamu sudah bukan gelas lagi yang berpikir
cerdas dan jernih. Terkait Galih, aku tidak peduli. Aku ingin permasalahan ini
selesai dengan jelas dan cerdas. Meski entah, selesai dan kemudian mengikat
tali dalam janji lagi, atau selesai sebenarnya. Selesai yang benar selesai dan
masing-masing dari kita melangkah masing-masing di jalan yang sudah dipilih.
Aku tidak tahu.” Pikir Botam sembari memainkan telepon genggamnya dan
memandangi nomor telepon dari Syifa. Sekilas ia lihat foto mereka berdua. Lagi.
Sekali lagi.
Dan, sayup-sayup
adzan subuh bertalu-talu. Samar-samar dan kemudian menjadi jelas dan keras.
Kantung matanya sudah kering karena tangis tadi dan memang benar-benar
mengantuk. Badan masih terasa lelah dan lemah. Jam dinding menunjukkan pukul
04:15. Besok pagi harus menuju kantor untuk terus mengumpulkan pundi-pundi uang
untuk terus berderap di perantaun ini. Masalah jawaban dari permasalahan,
terserah sang waktu yang menjawab, tentu dengan usaha. Kalau usaha sudah
maksimal dan tidak bisa disatukan lagi, biarlah. Untuk apa menangisi orang yang
tidak bisa diajak menjaga janji dan komitmen. Untuk membangun masa depan
bersama-sama. Buat apa. Masih ada banyak jawaban-jawaban di luar sana. Dunia
menawarkan pelbagai opsi. Cerdas-cerdas memilih saja. Tuhan, tenangkanlah
jiwaku, pikiranku, dan pejamkanlah mataku” Dalam kantuk setengah mati Botam
berdialog samar-samar. Matanya tertutup sayu. Biarlah esok yang menjawab.
Tuhan…….
Depok-Kalibata-Tanah
Abang. 29-30 November 2015
Hasby Marwahid.
Sekedar mencoba bercerita. Hanya fiktif
belaka. Jika terdapat kesamaan nama dan alur cerita, percayalah. Ini hanya
kebetulan semata.
0 komentar:
Posting Komentar