Bukankah
Yogyakarta memang begitu? Ia adalah rindu, ia adalah benci. Diam-diam, kita
jatuh cinta kepadanya.[1]
Pluit
sudah dibunyikan dan kereta sebentar lagi berangkat. Sebuah kuda besi tua yang
sangat berisik suaranya meraung-raung seperti terlihat lelah. Orang
berduyun-duyun dan ada beberapa berlarian mengejar kereta yang hampir
berangkat. Diantara orang-orang itu, aku pun ikut berlari tergopoh-gopoh
memasuki peron stasiun dan melesat menuju gebong. Kubuka tas dan segera
mengambil tiket untuk mencari dan memastikan tempat duduk yang tertera disana.
Yap, dapatlah kursiku bersebelahan dengan ibu-ibu muda. Aku sekali lagi
memastikan tempat duduk dan ternyata benar. Tak berapa lama, datang sepasang
suami istri mengisi tempat duduk depanku. Yah, kereta yang aku naiki adalah
kereta ekonomi AC, dimana setiap penumpang harus duduk berhadap-hadapan dan
berhimpitan. Setelah mengatakan permisi dan memastikan tempat duduknya,
sepasang suami istri ini meletakkan barang-barangnya dan kemudian duduk. Barang
yang dibawa cukup banyak, beberapa tas dan tentengan-tentengan tas plastik.
Selang
beberapa detik, kereta itu segera berjalan. Gerbong yang aku naiki cukup penuh
karena memang sedang bertepatan dengan libur panjang. Artinya, hari jumat
merupakan tanggal merah dan waktu yang sedikit ini dimanfaatkan untuk berlibur,
pulang dan sebagainya. Bagi orang-orang yang bekerja dan punya kesibukan, libur
beberapa hari akan sangat berarti sekali. Beberapa orang sudah terlihat
bercakap-cakap satu sama lain. Model kereta ekonomi yang mempunyai tempat duduk
yang saling berhadapan dan cukup sempit untuk meluruskan kaki memang seolah
membuat mereka sekedar menyapa, atau bahkan mengobrol. Ada pula yang cuek dan
memasang headset dan memejamkan mata.
Tapi, dari beberapa yang aku amati
sekilas, percakapan pecah dari kursi dan orang-orang di gerbong itu. Solidaritas
dan keramahan orang-orang Indonesia setidaknya bisa terlihat dari sini.
Sementara,
aku masih memejamkan mata, tapi otakku masih bergerilya kemana-mana. Badanku
masih letih sehabis bergelut mengejar kereta. Aku jadi berpikir, bahwa ternyata
hidup ini seperti orang naik kereta. Kereta tidak akan menunggu kita, tapi kita
yang harus menunggunya. Jika tidak? Sesuai dengan jadwalnya, kita ditinggalnya.
Ramai percakapan antar orang-orang digerbong mengantarkan tidurku. Semakin
ramai aku semakin menjadi, mata mengantuk tapi otak terus bekerja, entah
mendengarkan ataupun berpikir kemana-mana.
Ya,
kereta yang aku naiki terus melesat dari stasiun pasar senen sampai ke
Yogyakarta. Aku menumpang kereta gerbong ekonomi, dimana tiket murah harus
dipesan jauh-jauh hari. Paling murah kurang lebih sekitar Rp. 70.000,- sampai
mencapai harga Rp. 280.000,- an. Kebetulan, karena dadakan aku mendapat tiket
yang berada di tengah-tengah, sekitar Rp.150.000,- an. Kereta ekonomi AC
menurut saya sudah cukup nyaman, tanpa ada ketakutan copet dan bau karena asap
rokok. Kursi pun sudah sesuai dengan yang tertera di tiket. Berbeda dengan
kondisi kereta ekonomi pada beberapa tahun silam, dimana orang mendapat tempat
duduk masih dengan tagline siapa cepat dia dapat. Masalah keamanan pun tidak
menjadi jaminan, pasalnya orang lalu lalang keluar masuk. Ada pedagang, ada
pengamen, dan orang-orang asing lainnya. Meski tidak menolak hal itu, karena
mereka juga punya anak istri yang harus dinafkahi, terutama para pedagang
asongan. Nampaknya PT KAI merevolusi hal ini, sehingga kini gerbong kereta api
ekonomi AC menjadi tampak nyaman. Bahkan, beberapa waktu lalu, ada penumpang
yang kedapatan merokok di WC dan diketahui oleh Polsus (polisi khusus) kereta.
Orang tersebut langusng diturunkan di stasiun terdekat, tanpa tolerasi. Bagus
juga, meski saya juga merokok, akan tetapi hal ini juga menghormati orang-orang
yang tidak merokok. Ada ibu-ibu apalagi di gebong tersebut banyak bayi juga.
Keretaku
sudah sampai di Yogyakarta, tepatnya di stasiun Lempunyangan. Kereta tiba
hampir tepat waktu, hanya selisih beberapa menit dari jadwal yang tertera di
tiket. Tiba juga aku di kota kelahiranku, kota yang sulit sekali untuk move
on dari sini. Udara dan hawanya seolah menyiratkan kerinduan. Setiap sudut
kotanya, suasananya, orang-orangnya yang ramah, dan kota ini banyak sekali
kenangan. Kenangan masa kecil, remaja dan dewasa, sampai pada saat aku harus
meninggalkan kota ini untuk belajar ditempat lain. Ada kenangan manis dan pahit
yang tertinggal di kota ini, meski pun itu hidup memang harus melewati
masa-masa itu. Hidup dimanapun seperti roda, kadang di atas kadang di bawah,
kadang manis dan pun kita harus juga mencecap pahit. Seolah, dunia ini
seimbang. Ada malam dan siang, ada baik, buruk, hitam, putih dan sebagainya. Tinggal
bagaimana kita menyikapinya, barangkali. Yogyakarta, kata Joko Pinurbo, terbuat
dari rindu, pulang dan angkringan. Atau mengutip dari Anis Baswedan, yang
sekarang menjabat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa semua orang
yang pernah tinggal di Yogyakarta, setiap sudut kotanya itu romantis.
Sembari
menunggu kawan yang akan datang menjemput di stasiun Lempuyangan, aku menunggu
di sebuah warung angkringan. Letaknya persis didepan pintu masuk stasiun, ada
warung-warung berderet juga.
“Nyuwun sewu, pak. Kulo mesen teh
anget setunggal”, kataku pelan kepada bapak penunggu angkringan.
“Njih
mas”, katanya. “Badhe tindak nopo wangsul niki mas?”, kata bapak itu
menimpali. Sebuah percakapan pun terjadi. Begitu ramah bapak ini, kangenku
dengan Yogyakarta seakan terobati. Aku hanya sedikit memberi jawaban-jawaban
atas pertanyaan ibu ini. Aku lebih banyak bertanya, tentang Yogya, tentang
suasana sekarang dan yang tidak ditebak, tentang hidup. Bapak ini bercerita
seolah aku ini orang yang sudah lama ia kenal. Gaya ceritanya begitu mengalir,
mulai dari bisnis angkringan yang merupakan satu-satunya mata pencahariannya dan
tentang keluarganya. Benar-benar sebuah percakapan yang menarik. Secara tidak
langung, aku mulai mengkait-kaitkan benang merah dari cerita bapak ini. Bahwa,
meskipun hidup ini berat, tapi kita harus terus berusaha dan juga berdoa.
Namaya juga wirausaha, hasilnya tidak pernah bisa ditebak. Jika sedang ramai,
bapak ini bisa menyisihkan untuk ditabung. Jika sedang sepi pun, meski hasil
jualan sehari hanya untuk memutar modal kembali, dalam artian untuk jualan hari
berikutnya. Kata bapak ini, punya anak dua laki-laki semua. Semua lulusan SMK,
satunya masih nganggur dan satunya kerja sebagai cleaning service di
sebuah Mall yang baru didirikan belum lama. Sedang istrinya, sudah meninggal
sejak kedua anaknya masih mengenyam sekolah dasar.
Kulihat
bapak ini menyeka dahinya, meski malam ini dingin, nampaknya dia berapi-api
menyampaikan ceritanya kepadaku. Diseduhnya sebuah kopi panas hitam pekat tanpa
gula. Ditaruhnya didepannya dan kembali duduk dikursi. Sejenak ia memangdangi
kopinya, bau kopi hitam pekat pun sampai ke hidungku. Wangi, sedap, dan tentu
saja pahit. Diseruputnya perlahan kopi itu, dan ia mengambil sesuatu di
kantongnya. Kulihat secara diam-diam, dia meracik rokok. Rokok yang istilahnya
“linting dewe” atau tengwe, sebuah rokok yang diracik sendiri, mulai dari
tembakau, kertas, cengkeh. Ia terus melanjutkan ceritanya, entah apa yang
dceritakan. Fokus aku lebih kepada cara dia meracik rokok itu. Cukup lihai,
dalam semenit rokok sudah jadi, kulihat dia menjilat pinggirnya, sebagai
pengganti lem. Dikeluarkannya korek dari kantong celana, dan bapak ini
membakarnya. Asap tebal membumbung di udara, seakan memenuhi sesisi warung
angkringan itu.
Tidak
lama berselang, temanku datang dan segera masuk ke angkringan. Bersalaman dan
sedikit berpelukan, sudah lama memang kita tidak berjumpa. Basa-basi menanyakan
kabar dan sebagainya, dia pun aku suruh memesan minuman. Sembari santai dulu
karena di luar sedang gerimis. Akhir-akhir ini, kata bapaknya, Yogyakarta
sedang dirundung hujan. Biasanya hujan turun pukul 15:00 sampai malam hari.
Kadang disertai angin dan dibeberapa lokasi juga terjadi banjir. Air meluap ke
jalan raya karena parit yang semakin sempit dan tumpukan sampah yang menyumbat.
Bahkan, beberapa hari lalu, turunnya hujan disetai dengan angin pun memakan korban.
Tepatnya di daerah kebun binatang gembira loka. Pohon yang tumbang menimpa
orang yang sedang berteduh dan pedagang yang biasanya berjualan disitu. Tidak
jelas, berapa jumlah korban dari kejadian itu. Aku dan kawanku khusuk
mendengarkan ceritanya. Tiba-tiba, batuk menghentikan ceritanya, bapak itu
terlihat kepayahan. Ia menyeruput kembali kopi hitam pekatnya.
Pandanganku
kualihkan keluar, mengamati depan stasiun. Orang lalu-lalang keluar masuk
stasiun. Ada yang datang dan ada yang akan pergi. Beberapa orang membawa
oleh-oleh terlihat kelelahan. Ada yang membawa bakpia dengan ditenteng, dan
beberapa lagi membawa barang-barang yang dibungkus dalam kardus. Ada pula,
seorang bapak-bapak muda yang membawa beras, dipikul di pundaknya. Sementara
istrinya menggendong anaknya sembari pula menenteng barang-barang. Beberapa
lagi masih terlihat lesehan, mungkin menunggu jadwal kereta berangkat dan ada
pula yang menunggu jemputan. Para taksi, becak, dan tukang ojek hilir mudik
menawarkan jasanya. Kulihat disamping, temanku sedang asik mengutak-atik
handphonenya. Sedang, bapak penjual angkringan terlihat melamun. Hujan masih
turun dengan derasnya. Ada beberapa orang yang masuk juga ke angkringan,
berteduh dan memesan minuman panas. Menyicipi nasi kucing, sate usus, dan
beberapa gorengan.
Sejenak
berbincang dengan kawanku, mengambil sikap, apakah terus berteduh atau nekat
menembus hujan untuk pulang. Rindu sekali aku terhadap rumah. Bapak, ibu, kedua
orangtua ku, dan rumah tentu saja. Sudut-sudut rumah, keheningan dan ketenangan
yang tidak aku dapati dimanapun. Belum lagi nasihat-nasihat ayah dan ibu yang
mengalir begitu deras, seolah menjadi penyemangat kembali, bahwa hidup harus
terus berjalan. Ketika putus asa melanda, atapun sepi dan sedih seolah terhapus
dengan menginjak rumah dan bertemu dengan mereka. Temanku sudah bersiap memakai
mantel hujan, motor sudah dihidupkan, dan aku segera membonceng. Perlahan
menyusuri jalanan Yogyakarta, motor bergerak ke arah timur. Melewati jembatan
lempunyangan, stadion mandala krida, jalan kusuma negara, melesat ke selatan,
jalan gedong kuning. Dan, akhirnya melintasi ring road timur memasuki jalan
wonosari. Aroma rumah sudah tercium dari jauh, bercampur dengan aroma hujan.
Syahdu. Aku terus menatapi setiap jengkal tanah dan jalan yang dilewati. Seolah
tidak ingin sedikitpun yang terlewatkan. Tiba-tiba, sudah sampai halaman rumah.
Dan, hujan masih turun dengar derasnya. Tengah malam.
***
Kepulanganku
kali ini untuk menghadiri undangan kawan yang menikah, meski belum lama kemarin
aku sudah pulang. Bulan Maret ini aku sudah pulang dua kali. Tapi, kali ini
seolah aku harus pulang, entah. Pernikahan kawanku ini sepertinya harus aku
hadiri. Sore hari kami berangkat bersama mempelai pria, yang juga kawanku.
Tidak pernah menyangka juga, dia menikah secepat ini. Ya, memang sudah waktunya
barangkali. Dengan mengendarai mobil, kami berangkat sedikit terlambat karena
mempersiapkan alat-alat. Kali ini dia meminta bantuan kawan aku yang memang
jago dalam membuat video wedding dan aku hanya membantu sebisanya.
Jarak
Sragen dan Yogyakarta memang cukup, tidak jauh tidak pula dekat. Ada pilu ada
senang ada hambar yang tercipta di perjalanan. Yah, kawanku, diam seribu
bahasa. Tidak seperti biasanya. Sosok yang periang, kelihatan tegang. Namanya
Mano, bukan Manohara, itu potongan dari nama panjanganya saja. Orangnya tinggi,
besar, dan rusuh. Entah kenapa, dia seolah biang kerusuhan. Ya, tapi kalau
tidak ada dia seperti seolah sepi. Seperti sepi yang kurasakan dalam perjalanan
ini, bukan sepi karena kawan, tidak. Hanya kekosongan saja, bukan yang lainnya.
Kulihat kursi sampingku, temanku, namanya waasyi, mulutnya menganga dan matanya
terpejam. Kuamati didepan, Mano menatap jalan, menyusuri setiap sekat-sekatnya.
Disampingnya, pak sopir, entah siapa namanya, terus melajukan mobilnya, tanpa
kata, tanpa suara. Diluar hujan rintik menuju deras. Dibeberapa tempat, banyak
jalan berlubang dan tidak rata. Tapi, mobil terus melaju. Kerlap-kerlip lampu
kendaraan, lampu-lampu jalan membuat mataku berkunang-kunang. Dan gelap.
Akhirnya
tiba di Sragen. Aku dibangunkan dari lelap mimpi, membuyarkan angan-angan dari
fana ke dunia nyata. Aku terbangun, sehabis tenggelam kedalam lamunan sebuah
perjalanan.[2]
Mobil berhenti di sebuah hotel atau hostel, aku kurang paham. Sempat dibuat
bingung, karena Mano memesan hotel yang kelihatannya klasik, sedangkan
rombongan ayah dan ibunya tidak mau menempati. Katanya, angker, kesannya. Jadi,
kamar yang dipesan sisa banyak dan dibiarkan kosong. Aku turun dari mobil,
mengeluarkan tas dan peralatan-peralatan kamera. Menuju kamar dan menatap
sejenak diluar. Ada yang unik dengan hotel ini. Sekilas memang, terlihat
seperti hotel remang-remang. Benar, setelah aku masuk kamar, menaruh semua
barang, aku tidak langsung merebahkan diri di kasur. Kamar tersebut berukuran
sedang, ada 2 kasur, 1 almari, tivi 14 inchi. Cukup dingin karena kamar itu
dipasangi AC dan masih juga ada kipas angin. Aku penasaran, sambil melepas baju
dan menggantinya dengan kaos, aku membuka almari. Aku kaget bercampur ketawa
bersama kawanku waasyi. Ada beberapa botol bir, minuman-minuman suplemen dan
juga kondom. Benar memang, dugaan ibunya Mano sangat tajam. Aku dan waasyi
hanya memegang pedoman, bodoh amat!
Selepas
mencuci muka, lelahku seperti tidak terasa lagi. Kubuka tas satu persatu dan
lekas menyiapkan apa yang dibutuhkan untuk esok. Meski tidak begitu paham
dengan video dokumenter dan lain-lainnya terkait wedding, aku diajari
pelan-pelan oleh waasyi. Tidak terasa lama kami mempersiapkan, perut pun sudah
terasa lapar. Mano masih sibuk hilir mudik mempersiapkan untuk hari esok.
Sampai pada akhirnya, kami pergi sejenak untuk menutup kekosongan perut. Sisa
malam itu, digunakan untuk istirahat bagi yang mengantuk. Aku masih terjaga,
kebetulan membawa laptop dan beberapa buku. Aku melanjutkan membaca novelnya
Haruki Murakami- Norwegian Wood. Epic, meski sedikit begitu setidaknya malamku
sampai hampir pagi tidak sepi. Diisi oleh ceritera yang mengalir tentang dua
sosok makhluk yang saling mencintai tapi tidak pernah bisa bersatu. Karena
mental, atau punyakit. Akhir yang miris. Bukuku terjatuh tak terasa, dan aku
terlelap lagi, sepertinya.
Sayup-sayup
adzan disertai kokok ayam membangunkanku. Perlahan aku buka mata, menatap
langit-langit kamar, menengok kesamping. Ah, mempelai pria masih sibuk dengan
mimpinya. Tidurku tidak nyenyak sama sekali. Kasurku berhadap-hadapan langsung
dengan AC, pas di bawahnya. Sedang, selimut pun tidak ada. Bergerak ke kamar
mandi, mencuci muka dan mengambil air wudhu. Sungguh berat sekali sholat subuh
itu. Apalagi dengan kebiasaan sebagai manusia nocturnal, yang rutinitas
malamnya seperti itu. Selesai, lekas aku rebah lagi dikasur. Jam menunjukkan
pukul 05.00. ah, sebentar lagi matari terbit. Rencana bergegas ke acara
nikahannya jam 05.30, karena mempelai putri harus rias. Biar tidak ketiduran,
aku mengutak-atik hp, dan sambil sedikit berisik biar Mano bangun. Akhirnya
terbangun juga dia dan sudah agak tenang, karena tidak lucu kalau mempelai
prianya bangunnya kesiangan. Terlihat dia sholat dan dzikir dengan khusuknya.
Sementara itu, aku menutup mataku pelan-pelan. Sampai pada, percikan air yang
membabi-buta, tidak lain ulah mempelai pria, Mano.
Mobil
pengantar kami sampai juga di bakal lokasi pernikahan atau acara. Cukup megah
dan luas. Tenda-tenda beberapa petak, kursi-kursi yang berjejar rapi, panggung
bertabur bunga-bunga dan ada pula serangakaian alat musik gamelan lengkap.
Sekilas mata memandang, seperti sebuah acara priyayi pada jaman kolonial.
Sebuah acara para pembesar-pembesar Jawa beberapa abad silam. Aku terus
berjalan dengan kawan ku waasyi, mencari tempat rias mempelai putri. Ya,
ternyata disebuah ruangan atau rumah belakang panggung. Sekilas mata memandang,
merasa heran. Pasalnya, ini rumah neneknya yang Sragen, beberapa tahun silam
masih berbentuk rumah adat model limasan yang sangat sederhana dan klasik.
Sekarang, didepan mata, terdapat sebuah rumah megah dengan arsitektur minimalis
kekinian yang gilang gemilang. Jadi teringat legenda roro jonggrang, ah tapi
ini dibangun secara cepat dan membutuhkan modal yang siap.
Aku
dan waasyi mulai mengeluarkan peralatan rekam dari tas, menyiapkan satu persatu
alat-alatnya. Lalu berjalan pelan menuju ke tempat rias. Pengantin putri sudah
dirias, melihat prosesnya sepertinya riasnya sudah berjalan kurang lebih
setengah jam lalu. Aku menunggu sampai kepalanya menggunakan hijab. Ada
beberapa hidangan tersaji di meja, seperti tape, gorengan, dan beberapa makanan
ringan lainnya. Teh panas pun tidak lupa. Lumayan buat mengganjal perut dan
tenaga seharian. Sampai, kita dipanggil masuk ke ruang rias. Aku mengamati cara
kerja Waasyi perlahan, dari cara dia mengambil video, tekniknya, dan variasi
lainnya. Mencoba paham dan mau tidak mau harus paham. Aku pun tak lupa
mengamati cara perias itu bekerja. Perlahan, tenang, dan hati-hati. Hasilnya,
luar biasa. Aku pun sampai tidak mengenali mempelai putri. Oiya, mempelai
wanita ini juga temanku, satu SMA beberapa tahun silam.
Prosesi
yang paling sakral pun segera dimulai, yakni ijab qobul. Sebuah prosesi yang
sangat penting dalam sebuah perkawinan, penyatuan dua insan menjadi sah secara
agama dan negara. Meja sudah disiapkan, beberapa orang-orang berkepentingan
duduk memutar. Ada saksi, wali, kedua calon mempelai, dan petugas KUA. Aku
melihat dengan tegang. Pun, kawanku, Mano terlihat santai. Entah apa yang ada
dipikirannya, semua seperti serius. Dan, manusia satu ini, Mano masih saja bisa
bercanda-canda. Ya, mungkin itu tipikalnya. Manusia tidak bisa serius, santai,
dan kocak. Latihan mengucapkan akad terjadi sekali, sebuah persiapan untuk ucap
akad yang utama. Aku lihat, petugas KUA
menyiapkan berkas-berkas, dan menanyakan satu persatu syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Lalu, secara bersalaman dengan dibimbing KUA, kawanku dengan lancar
sekali mengucap akadnya. Hanya sekali dan sukses. Aku bersorak, tidak
menyangka, manusia satu ini cerdas juga. Lalu, KUA menuntun doa yang kemudian
di amini oleh para hadirin. Disela-sela itu aku terus mengabadikan momen yang
memang menjadi tugasku. Pandangan kulemparkan disekitarku, tenyata ada beberapa
kawan-kawanku juga yang datang menyaksikan prosesi penting ini. Sambil melisan
salam, aku menyalami satu persatu mereka. Ah, lama tidak bersua juga dengan
kalian.
Buku
akad ditandatangi, satu persatu. Lalu pada mengambil gambar dengan kedua
mempelai. Dan, setelah itu acara menjadi cair. Proses penyerahan “seserahan”
dari pihak pria, dibantu oleh kawan-kawan. Seperti pasukan pengawal priyayi.
Kulihat, Mano sudah berganti baju. Dengan pakaian hitam berhias makara klasik,
dia terlihat seperti pembesar-pembesar jawa tempo dulu. Ya, memang hari ini
menjadi panggung dia. Berjalan menghampiri mempelai wanita dengan iring-iringin
keluarga dan kerabat menuju ke panggung. Seperti sebuah pertunjukkan drama,
dengan tokoh utama mereka berdua, kita sebagai peran-peran piguran. Ada prosesi
tradisi yang tidak dilewatkan. Ada siraman, pecah telur, dan beberapa yang saya
tidak paham. Zeitgeist atau jiwa zaman daerah ini memang masih kuat
dalam melestarikan tradisi. Sragen, secara geografis terletak di dekat dua
poros kekuasaan budaya dan kuasa, yaitu kerajaan Mataram. Saya melihat, di
Yogyakarta yang merupakan wilayah vorstenlanden dari Kraton Yogyakarta
pun didaerah pinggiran sudah banyak yang tergerus dan bahkan hilang.
Acara
itu pun dihibur dengan penampilan ludruk. Cukup menarik, karena iringan lagunya
tidak hanya menggunakan orgen tunggal, tetapi seperangkat alat musik
tradisional lengkap. Tidak main-main, kata kawanku, malamnya setelah acara ini
akan ada pertunjukkan wayang semalam suntuk. Sebuah hal yang hanya bisa
dilakukan oleh kaum bangsawan kalo konteksnya kelampauan. Zaman dahulu, di
Jawa, jika ada anak raja yang menikah, maka akan ada wayang dan pertunjukkan-pertunjukkan
lainnya selama hampir satu bulan berturut-turut. Tradisi ini diikuti oleh para
priyayi, yang secara tidak langsung melakukan copy paste budaya istana
ini dan kemudian dibedakan beberapa hal. kelas bawahnya lagi tidak mau
ketinggalan, kaum kawula juga membuat budaya yang seperti itu pula, akan tetapi
lebih sederhana. Keunikan ini tidak lain karena masing-masing kelas ingin
membuat sebuah identitas dan budaya tandingan yang membedakan satu dengan yang
lainnya.[3]
Dus,
selamat untuk kedua kawanku. Semoga menjadi keluarga yang sehat, sakinah
mawadah warohmah. Teriring salam dan doa.
***
Hanya
menginap sehari setelah acara itu. Padahal sebenarnya aku cukup tertarik untuk
melihat wayang yang dihelat pada malam harinya. Tapi, raga harus kembali ke
Yogyakarta. Pulang kerumah, bertemu dengan orang tua, membantu mereka, mengisi
ruang-ruang kosong rumah. Kata kawan, nikmatnya merantau itu bahwa kalau pulang
adalah sensasi. Bah! Betul juga, pulang menjadi penyemangat kembali, dari lelah
dan ghalibnya ibukota. Jadi, Jogja menurutku, terbuat dari pulang, Rumah, dan
orang tua. Ya, kawan-kawanku satu persatu sudah sibuk. Banyak pula yang sudah
menikah, meski beberapa juga ada yang belum. Jadi, kepulangan ku kedepan
mungkin akan langsung mendarat di rumah. Kawan-kawanku sudah melewati fase yang
lebih tinggi satu langkah dari aku. Mereka sudah memiliki kesibukan dan
kegiatan yang lebih, mengurusi keluarga. Istri dan anak, ya. Aku masih sibuk
dan menyibukan diri dengan kesibukan-kesibukan kesendirian dan sepi. Melewati
jalan sunyi yang tidak banyak orang lain peduli. History!
Beberapa
dasawarsa belakangan ini, aku merasakan perbedaan yang ‘aneh’ tentang
Yogyakarta. Kenapa saya katakan aneh, sebab ada beberapa hal yang kini tidak
aku temui lagi. Yogya yang damai kini seolah menjadi bising. Pasalnya, tidak
lain tidak bukan disebabkan pembangunan. Pembangunan pusat perbelanjaan dan
beberapa -yang mungkin sudah tidak bisa dihitung lagi dengan jari- hotel-hotel
berbintang makin lama makin marak dari tahun ke tahun. Fenomena ini cukup
mengejutkan, mengingat Yogya sebagai daerah yang dikenal kota budaya,
pariwisata, dan pelajar. So, tidak bisa dipungkiri memang, pembangunan
itu mendorong pertumbuhan investari daerah, akan tetapi menggerus hal-hal lain
yang cukup hakiki. Ketenangan dan kenyamanan. Yogya sekarang seperti lahan
basah para investor dan kemacetan terjadi dimana-mana. Gedung-gedung pencakar
langit mulai tumbuh pelan-pelan, meninggi seolah lebih tinggi dan menutup
Gunung Merapi. Pembangunan yang tidak jelas arah dan tujuannya. [4]
Ketidakjelasan
dari arah pembangunan ini dikhawatirkan mengikis keistimewaan dari Yogyakarta
sendiri. Acuan dari pembangunan ini tidak mengacu dan berlandaskan sejarah dan
budaya, tapi economy heavy. Mengutip tulisan David Efendi di situs
selasar, ia berpendapat bahwa dengan kondisi seperti ini maka kelak akan
terjadi dehumanisasi pembangunan.[5]
Terlalu menuhankan teknokrasi dan modernitas yang dibalut dengan pengetahuan
akan meminggirkan rasa manusiawi. Pada akhirnya, pembangunan tak manusiawi akan
mengantarkan kepada kerusakan peradaban. Pada akhirnya, jika tak ada upaya
emansipasi dan antisipasi gejala dehumanisasi maka sangatlah betul bahwa
metropolis berubah menjadi miseropolis, kota akan menjadi kebun binatang yang
isinya manusia. Miris memang membayangkan Yogyakarta menjadi metropolis megah
yang mencerabut sejarah dan budayanya yang begitu kental, mengikis arti
keistimewaan dari Yogyakarta sendiri.
Perubahan-perubahan
gaya hidup terutama didesa-desa sudah bisa kita lihat. Generasi-generasi muda
menyambut perubahan dengan bertempik sorak, sedang kaum tua hanya bisa gigit
jari antara meratapi, sedih, atau ikut mengalir bersama modernisasi tanpa
filter. Aku sendiri berada di tebing curam, di bawah curug, bermandikan air
limbah dan kenangan. Melemparkan ingatan beberapa tahun silam, hidup di desa
yang terletak di pinggiran Yogya, aku masih merasakan bagaimana pelan-pelan
kota ini berubah mengikuti zamannya. Memang bodoh untuk menolak perubahan,
karena manusia yang dinamis pasti selalu melakukan inovasi dan kreasi. Terlepas
dari itu, Yogyakarta adalah tempat berdamai dengan segala keluh kesah,
mengobati resah gelisah menjadi bahagia. Ada banyak tempat yang bisa kita
kunjungi seperti pantai, gunung, kuliner, dan wisata-wisata budaya lainnya. Aku
pernah membaca sebuah surat kabar yang berisi tentang rencana kebijakan dinas
Pariwisata DIY, bahwa pada tahun 2015 akan membawa Yogyakarta mendunia dengan
konsep “bringing Yogyakarta to the world, bringing the world to Yogyakarta”.
Hal ini berdampak pada munculnya obyek-obyek wisata baru yang dikembangkan,
diperbarui dan dimunculkan.
Entah
apa istilah yang tepat untuk menggambarkan Yogya itu, apakah dia sebuah tempat
atau kota, sebuah kenangan, atau sebuah saksi hidup, atas pelbagai pelik dan
lika-liku hidup. Bagi sebagian orang yang pernah tinggal di Yogya atau memang
asli sana, setiap sudut-sudut jalannya memiliki kenangan yang mereproduksi
kerinduan yang terus menerus. Tidak peduli seberapa perubahan yang terjadi,
tetapi Yogya selalu mempunyai sisi yang susah ditafsirkan. Bagi orang yang
merantau meninggalkan Yogya untuk pergi jauh beberapa kilometer, atau bermil
jauhnya, suasana Yogya terus memanggil untuk pulang. Disini aku menemukan arti
bagaimana persahabatan, kedamaian, dan kenyamanan. Jangan bandingkan Yogya
dengan Jakarta, tentu saja. Di Yogya, uang bukanlah ukuran segala sesuatu meski
ia bisa memberimu apa yang kamu mau. Mengutip kata Arman Dhani, di kota ini
pula kamu belajar bahwa uang bukan segalanya, mungkin ia bisa memberimu banyak
hal. Tapi di kota ini, kebersamaan dan keberadaan teman yang selo, kurang
pegawean dan punya energi iseng yang melimpah-ruah adalah alasan untuk tetap
hidup. Di kota ini kalian akan menemukan keriangan-keriangan dungu, tolol,
namun dirindukan. Tentang obrolan di angkingan, wedangan, warung kopi hingga
perihal cerita lucu dan lelucon yang diulang-ulang namun tak pernah kehilangan
kelucuannya.[6]
Sekarang
aku sedang berjuang di Jakarta untuk sebuah asa. Meski baru beberapa tahun
tinggal di ibukota, saya merasakan beberapa hal tidak bisa saya dapatkan di
sini. Kenyamanan, kedamaian dan ketenangan dari Yogyakarta. Lebih mudah
mengubur segala sesuatu di Jakarta karena segala sesuatu disini seolah terlewat
begitu saja. Barangkali hanya perasaanku saja. Bahwa Yogya bukan sekedar
tempat. Disana aku mengerti apa arti pedih, miris, manis, pedih, susah, dan
senang. Rasanya kita cecap pelan-pelan, aromanya menusuk sampai kerongkongan
yang paling dalam. Bagaimana kisah-kisahku muncul dan tenggelam begitu saja,
terhadap orang yang kita sukai, atau sekedar ingin mencintai. Aku tidak
mengerti apa itu, yang jelas kabar terakhir dari kawan dekatnya, bahwa dia
sudah hampir membuat ikatan dengan seseorang membuat hatiku sedikit pilu. Salah
memang, membicarakan dan membayangkan orang yang kita sukai tanpa berbuat
apa-apa. Hanya kekonyolan, ketololan, dan perasaan yang susah untuk
diungkapkan. Katanya, Juli ! bulan ini menjadi sebuah penetuan untuknya. Ah,
lantas aku harus menunggu dan terus mendinginkan perasaan yang lama-lama
mendidih ini?
Meski
begitu, aku hanya bisa mengucap doa dan melisan salam. Jika pun engkau jadi
bahagia kenapa aku juga tidak ikut senang. Siapa aku? Biarkan Yogya menguburkan
perasaanku dalam-dalam. Melihat dari sudut ibukota yang berjarak bermil-mil
jauhnya sambil melambaikan tangan. Setidaknya, aku sudah mencoba mengatakan,
meski tidak langsung. Ya, setidaknya aku sudah menjadi setengah laki-laki yang
berani. Mengatakan kebenaran perasaan meski berujung pahit. Namun apa daya, ya
memang ini kebenarannya. Bagai embun yang mencair dan menetes deras dari sudut
mataku, bukan matamu. You’re just too good for me. You’re just to good to be
true. Ini mungkin ungkapan pendek yang bisa aku pegang, meski tidak kuat
tidak menjadi soal. Bukan laki-laki kalau mengganggu hubungan orang yang sedang
dilanda kasmaran. Aku tidak pernah menyesal pernah menghadirkan sebuah rasa
baru dalam hidupku. Aku tidak pernah menyesal mengenal pernah memiliki cinta
yang begitu nikmat, menghidupkan harapan-harapan meski kemudian pupus. Mungkin
ini caraku yang begitu pelan dan seolah tak terlihat. Bagiku, cinta bukanlah
sebuah bentuk kehidupan yang harus selalu dipuja.
Biarkan,
anggapanku bahwa cinta adalah milik mereka yang akhirnya menemukan satu sama
lain dalam sebuah kesederhanaan . Berada dalam ruang kebebasan dengan atau
tanpa ada segala sesuatu yang harus dipaksakan, siapa dengan siapa, siapa
menjadi bagaimana. Biarkan rasa ini aku endapkan pelan-pelan, disimpan rapi
dalam rak-rak hati. Bahwa aku pernah suka dengan seseorang, begitu saja, sederhana
tanpa banyak liku. Alunan piano dari mas Gardika Gigih semakin membuatku ngilu
saja.[7]
Begitu tenang, pelan, dan aku terhanyut dalam tiap-tiap sentuhan lentik
jemarinya. Aku tenggelam dalam lamunan sebuah perjalana, ya perjalanan hidup
ini yang berwarna-warni. Aku menyesap kopi hitamku yang tanpa gula. Lebih baik
begini memang hidupku. Sederhana, tanpa ada tambahan apa-apa barangkali.
Sesederhana hujan yang jatuh ke bumi. Jujur dan tanpa bersandiwara. Percayalan,
bahwa sepi itu indah dan membisu itu anugerah”, kata Banda Neira. Tabik !
Yogyakarta- Sragen-Piyungan-Depok
Hasby Marwahid
[1] http://mojok.co/2014/10/sinisme-untuk-yogyakarta/
[2] Lirik
lagu Frau, Gigih, Puput- Tenggelam (ost-Home)
[3]
Lihat, buku Kuntowijoyo. Raja, Priyayi, dan Kawula.
[4]
Baca lirik lagu Hip Hop Foundation-Jogja ora didol
[5]
https://www.selasar.com/politik/politik-urbanisme-dan-kota-manusia
[6] Lihat
Arman Dhani, Jogja Berhati Mantan, http://mojok.co/2014/10/jogja/
[7] https://soundcloud.com/gardika-gigih-pradipta/sudah-dua-hari-ini-mendung
0 komentar:
Posting Komentar