Senin, 01 September 2014

Merantau itu..


Sudah beberapa hari berada di Depok, Jawa Barat, ada beberapa hal baru yang saya alami. Di sini kata “saya” lebih banyak digunakan dari pada “aku”(biar terkesan formalistik shit). Satu hal yang masih sampa detik ini dirasakan adalah “blank”. Pelik memang, di daerah perantauan kita harus survive entah apapun bentuknya. Mulai mengeja dari satu tempat ke tempat yang lain. Asyik memang, kesan seperti backpacker an tapi bukan. Mungkin beberapa tahun ke depan akan mencoba menetap di sini, mencecap betapa ramainya Depok. Secara geografis, depok berada di dekat Jakarta dan Bogor. Dekat dengan kota besar dan metropolis berdampak pada daerah sekitar. Ramainya, padatnya, dan mahalnya biaya hidup di sini, saya baru merasakan bagaimana rasanya merantau.
Kita semua tahu, Yogyakarta adalah kota yang ‘ramah’, kota pendidikan katanya. Bakunya, Yogyakarta adalah magnum opus dan di sana saya merasakan nyaman. Mulai menginjak Depok, saya merasakan hampir tidak jauh dengan suasana Jakarta,  padat, crowded. Ini masih pandangan awal seorang perantau akan daerah domisili barunya. Rasa-rasa perbandingan dengan daerah asal masih kuat terasa. Hal ini tak lepas karena saya hampir seperempat abad ini belum pernah mengalami perantauan, jika pun itu jauh paling hanya vakansi.
Ramainya kota Depok mungkin didominasi oleh orang perantauan di Jakarta yang bertempat tinggal di sini selain penduduk asli. Ditambah lagi dengan adanya kampus UI menambah mesranya kota Depok. Beberapa kali masuk di daerah Kampus UI di Depok rasanya besar sekali. Pasalnya saya hanya jalan kaki mengitari seperempat kampus yang memang sangat besar dan asri. Jika di bandingkan dengan kampus yang ada dijogja, mungkin di UI masih banyak daerah hijau dengan pepohonan yang cukup besar-besar. Meski di Jogja juga banyak kampus yang memiliki lahan hijau, namun beberapa sudah dibabat dan ditanami dengan beton-beton yang menjulang ke langit. Entahlah, itu mungkin penilaian saya yang subyektif.
Jika kita berbicara kenyamanan antara Jogja dan Depok, itu relatif. Sudut pandang kenyamanan yang mana yang akan dituju. Saya mengamati, transportasi publik di Depok-Jakarta sudah lumayan bagus dibanding dengan transportasi publik yang ada di Jogja. Jika ditanya masalah fasilitas yang lain, saya juga belum faham, belum adanya transportasi pribadi membuat saya belum bisa ‘klayapan’ ke kota Depok dan sekitarnya. Jadi sudut pandang perbandingan ini masih berada dalam tataran yang sangat sempit sekali. Di sini saya harus pandai-pandai menemukan rasa nyaman itu sendiri,  entah bagaimana caranya. Tapi, senyaman-nyaman tempat adalah kampung halaman kita sendiri.
Menginjak daerah Jawa Barat, saya dan teman-teman sekalian yang dari daerah Jawa Tengah ke timur harus siap di panggil ‘Jawa’. Jika ada orang yang bertanya “asalnya dari mana mas?, dari Jogja?”. “Oh.. dari Jawa. Entah asal muasalnya dari mana kurang faham. Mungkin itu gegara penyerangan yang dilakukan oleh Mahapatih Gajah Mada terhadap rombongan Maharaja Linggabuana. Sebelumnya, Hayam Wuruk raja dari Majapahit ingin memperistri anak dari Raja Sunda, Dyah Pitaloka, untuk mempererat hubungan dan memperkuat politik. Namun apa daya, ambisi dan perbedaan pendapat antara Gajah Mada dan Hayam Wuruk berimbas pada diluluhlantahkannya rombongan raja, permaisuri beserta anak perempuannya.
Mungkin ini logis juga, pasca pertistiwa itu anak satu-satunya Raja yang masih tersisa (Prabu Siliwangi) menerapkan semacam politik isolasi. Memutuskan hubungan dengan Majapahit dan melarang warganya “larangan estri ti luaran” semacam tidak boleh menikah dengan orang Majapahit. Nah, pada masa kontemporer ini pun jika kita vakansi atau lewat di beberapa daerah Jawa Barat, kita tidak pernah akan menemukan nama jalan, atau nama tempat, universitas etc, yang berhubungan dengan Majapahit atau ‘Jawa’. Begitu juga sebaliknya. Meski sudah bhineka tunggal ika, tradisi ini terus dilestarikan, terutama penyebutan orang timur dengan Jawa. Beberapa kali saya bercakap dan berkenalan dengan banyak orang pasti menyebut daerah saya dengan “Jawa”. Meski secara geografis, pulau yang kita tinggal ini adalah pulau Jawa. Ah, ambisi dan perselisihan Gajah Mada menua dan menurun sampai detik ini. Sebenarnya bukan apa-apa, hanya lucu saja.
Sebagai orang yang masih merah tentang perantauan, maka saya harus membiasakan diri dengan lingkungan dan adat-istiadat sekitar. Kita harus hati-hati dengan ini, pasalnya beberapa hari yang lalu di Jogja terjadi sebuah tragedi. Ya, menurut saya itu tragedi. Kasus seorang perantauan yang mencaci maki kota Jogja dalam sebuah jejaring sosial dan menuai kritikan, bully, dan berujung penahanan mungkin. (sampai detik ini kasus masih dalam proses). Sebagai orang Jogja saya memang emosi membaca statment beliau, tapi bagian dari masyarakat Jogja saya memaafkan, meskipun dari sebagian itu tidak terima dan mempermasalahkan. Tuhan saja Maha Pemaaf. Kita ambil hikmah saja dari pelajaran tersebut, bahwasanya kita harus lebih berhati-hati dalam berperilaku. Itu saja. Pepatah mengakatan ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijinjing. Jikalau pun kita tidak suka dan emosi sekalipun, kita curahkan emosi ditulis dalam tulisan pribadi. Biar dikata tidak up to date, mencari selamat lebih utama daripada sekarat. Media sosial memang kejam dibandingkan dengan perasaan kita yang bertepuk sebelah tangan terhadap seseorang. Apalah, Absurd!
Maka dari itu, tips merantau saya belum ada karena masih baru. Tapi tips yang paling ampuh mungkin mulai memanajemen diri, waktu, dana, dan cinta. Oia lupa, saya pernah membaca sebuah buku dan ada potongan nasihat dari Imam Syafii tentang merantau yang sempat saya tulis ulang ke dalam catatan. Kurang lebih seperti ini ; “Orang berilmu dan beradab tak kan diam di kampung halaman. Tinggalkanlah negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi keruh karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak akan keruh menggenang. Singa jika tidak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Biji emas bagaikan tanah sebelum digali dari tambang. Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan”. Jika kita cermati ada benarnya juga, tapi tidak masalah. Rezeki, Jodoh, dan Mati itu ada ditangan Tuhan. Kita hanya mengusahakan yang terbaik. Jadi merantau atau tidak merantau menurut saya adalah pilihan. Tabik!
Entah ini substaninya apa saya juga bingung, yang jelas supaya blog saya ini kembali makmur dengan tulisan yang terkesan absrud-absurd ini. Hahahahah
Depok, 1 September 2014
01:27 Ante Meridiem (AM)
Dini Hari
Hasby Marwahid