Jumat, 27 Maret 2015

Membaca atau Mati


Buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu, kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah “BACALAH”. (Gunawan Mohamad)

Buku yang baik adalah buku yang dibaca, bukan hanya ditumpuk dan ditata rapi dalam sebuah rak. Ada beberapa banyak tipikal orang yang suka buku dan membaca. Pertama, orang yang suka membeli buku dan membacanya. Kedua, orang yang suka membeli dulu buku dan membacanya kapan dia senggang. Ketiga, orang yang suka membeli buku, mengoleksi buku, biar dikira dia kutu buku dan keren dimata kawan-kawannya. Keempat, orang yang suka membaca tapi tidak suka membeli buku, dia suka meminjam kepada kawan-kawannya yang punya banyak buku. Beberapa tipikal orang ini saya amati dan sering terjadi dilingkungan sekitar saya.
Memang, membaca merupakan kebutuhan setiap orang yang “melek huruf”. Pasalnya, sebuah perpektif keilmuan seseorang bisa dilihat dari buku-buku yang dibacanya. Karakter seseorang bisa terbentuk karena faktor sosialnya sepeti keluarga, pendidikan, lingkungan masyarakat, budaya dan lain sebagainya. Pandangan hidup seseorang juga kadang dipengaruhi oleh buku yang dibacanya. Memang sedikit streotipe mengatakan hal ini, namun terlalu naif pula jika mengatakan seseorang terbentuk karena faktor alamiah lingkungannya saja. Hal ini bisa sedikit saya contohkan bagaimana seorang kutu buku akan banyak punya wawasan dan cara berfikir yang meyakinkan daripada seorang pendongeng dengan wawasan kosong. Pun, demikian pada seorang yang punya kerangka pikir yang bagus biasanya terdapat dari buku yang dibaca atau pengalaman yang mengajarinya.
Sebuah persoalan yang sangat penting dewasa ini adalah, ketika banyak orang yang lebih mendekatkan diri dengan gadget daripada buku. Perkembangan tekonologi informasi, pun seiring dengan berkembanganya budaya dan pemikiran-pemikiran pula. Memang globalisasi tidak bisa kita pungkiri mempunyai dua sisi yang bergerak, yaitu membangun, merubah atau merusaknya. Arus utara maksudnya Barat sebagai pencipta, dan selatan seperti Indonesia sebagai penerima (recipient). Selatan lebih banyak menerima dari pada menciptakan. Pengaruh budaya Barat tersebut masuk jauh ke dalam sisi perubahan manusia Indonesia, hingga seolah budaya luhur kita mengalami disorientasi. Tapi, pengaruh budaya baca yang kuat di Barat belum mempengaruhi kebanyakan manusia Indonesia.
Jika kita lihat, orang Barat selalu tidak lepas dari sebuah bacaan, entah koran, majalah atau buku. Pada setiap waktu, seperti dikereta, bus umum, diruang tunggu, dan beberapa sarana publik pun tidak luput dari suasana orang-orang membaca. Berbeda tentu dengan kondisi yang ada di Indonesia. Setiap kita menemui suasana ruang publik seperti taman, halte, stasiun dan sebagainya, kita akan mendapati orang-orang asyik berbincang, sibuk dengan gadgetnya, tanpa aksara yang dibacanya. Kalau ditinjau dari tradisi tulisan, bangsa ini juga punya tradisi yang kuat dalam tulisan. Sebagaimana contoh, serat, babad, pupuh dan sebagainya masih tersimpan rapi dalam museum atau sudah ditafsirkan sedemikian rupa oleh para penulis. Sayangnya, tradisi membaca yang kuat kurang kita jumpai, bangsa ini lebih suka berbicara, mendongeng, dan berbincang-bincang.
Disadari atau tidak, membaca adalah kebutuhan setiap manusia yang tidak buta huruf. Pendidikan formal maupun informal di Indonesia telah mengajarkan kepada generasi bangsa untuk bisa membaca dan menulis. Bangku sekolah dasar sampai atas telah melancarkan seseorang mahir membaca. Bahkan jika ditambah dengan mengenyam pendidikan di Universitas. Pendidikan formal jaman sekarang “mudah” didapatkan dalam artian negara ini telah lepas dari jeratan penjajahan yang bertujuan mengekspolitasi hasil alam, juga membodohkan sumber daya manusia tanah jajahan. Pada dasarnya, tujuan pendidikan pada umumnya adalah mencerdaskan dan memanusiakan manusia. Membuat manusia memahami arti harfiah dan tujuan hidup manusia.
Bertolak dari itu, bahwa pendidikan yang ada sekarang telah mengajarkan masyarakat bisa baca dan tulis. Pada kenyataannya, budaya membaca baik saat senggang maupun saat lepas dari bangku pendidikan formal pun menjadi luntur. Ini terjadi tidak lain karena kebanyakan masyarakat lebih suka menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang daripada memegang dan memahami sebuah isi buku. Disadari atau tidak, buku adalah asupan bagi otak. Buku yang bagus adalah gizi bagi otak. Buku digolongkan bagus atau tidak semua tergantung dari pembacanya, karena setiap orang punya pendapat berbeda-beda setelah melahap sebuah buku. Yang menjadi pertanyaan grand question, sebelum perdebatan terkait isi buku tersebut adalah tentu saja dengan membacanya.
Membaca adalah sebuah “kewajiban” bagi setiap insan. Membaca bisa diwujudkan dalam berbagai hal dan berbagai cara. Kenapa orang masih enggan membaca? Sebuah pertanyaan bukan pernyataan, sebagai sebuah refleksi bagi kita semua bahwa membaca itu sangat penting. Bukan perkara koleksi buku yang berlimpah, bukan perkara sok-sok an, tapi perkara pemahaman dan sudut pandang. Memaca adalah sebuah keharusan bagi insan yang melek huruf. Masyarakat masih dilanda “buta huruf” di zaman yang sudah serba kemerdekaan dan modern seperti sekarang. Sejarah telah membuka mata kita, bahwa bangsa yang berperadaban maju tidak lepas dari kuatnya tradisi membaca dan menulis.
Proses ini kemudian dilanjutkan dengan mencipta dan memajukan. Buku adalah media dimana arus pengetahuan masuk secara visual dan meresap ke dalam otak. Kecerdasan emosional dan intelektual bisa dibangun dengan cara apapun, tentu salah satunya dengan membaca. Membaca dan buku adalah dua sejoli yang tidak terpisahkan dan saling kait mengait. Mari menggalakkan kembali budaya membaca sebagai identitas insan yang utama. Manusia yang berfikir, berpengetahuan luas, dengan membaca. Membaca. Apapun itu. Apapun!

Depok, 27 Maret 2015.
Hasby Marwahid.