Buku
mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah
selesai, tapi membuat kita tahu, kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana
kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah
“BACALAH”. (Gunawan Mohamad)
Buku yang baik adalah buku yang dibaca, bukan
hanya ditumpuk dan ditata rapi dalam sebuah rak. Ada beberapa banyak tipikal
orang yang suka buku dan membaca. Pertama, orang yang suka membeli buku dan
membacanya. Kedua, orang yang suka membeli dulu buku dan membacanya kapan dia
senggang. Ketiga, orang yang suka membeli buku, mengoleksi buku, biar dikira
dia kutu buku dan keren dimata kawan-kawannya. Keempat, orang yang suka membaca
tapi tidak suka membeli buku, dia suka meminjam kepada kawan-kawannya yang
punya banyak buku. Beberapa tipikal orang ini saya amati dan sering terjadi
dilingkungan sekitar saya.
Memang, membaca merupakan kebutuhan setiap
orang yang “melek huruf”. Pasalnya, sebuah perpektif keilmuan seseorang bisa
dilihat dari buku-buku yang dibacanya. Karakter seseorang bisa terbentuk karena
faktor sosialnya sepeti keluarga, pendidikan, lingkungan masyarakat, budaya dan
lain sebagainya. Pandangan hidup seseorang juga kadang dipengaruhi oleh buku
yang dibacanya. Memang sedikit streotipe mengatakan hal ini, namun terlalu naif
pula jika mengatakan seseorang terbentuk karena faktor alamiah lingkungannya
saja. Hal ini bisa sedikit saya contohkan bagaimana seorang kutu buku akan
banyak punya wawasan dan cara berfikir yang meyakinkan daripada seorang pendongeng
dengan wawasan kosong. Pun, demikian pada seorang yang punya kerangka pikir
yang bagus biasanya terdapat dari buku yang dibaca atau pengalaman yang
mengajarinya.
Sebuah persoalan yang sangat penting dewasa ini
adalah, ketika banyak orang yang lebih mendekatkan diri dengan gadget daripada
buku. Perkembangan tekonologi informasi, pun seiring dengan berkembanganya
budaya dan pemikiran-pemikiran pula. Memang globalisasi tidak bisa kita
pungkiri mempunyai dua sisi yang bergerak, yaitu membangun, merubah atau
merusaknya. Arus utara maksudnya Barat sebagai pencipta, dan selatan seperti
Indonesia sebagai penerima (recipient). Selatan lebih banyak menerima
dari pada menciptakan. Pengaruh budaya Barat tersebut masuk jauh ke dalam sisi
perubahan manusia Indonesia, hingga seolah budaya luhur kita mengalami
disorientasi. Tapi, pengaruh budaya baca yang kuat di Barat belum mempengaruhi
kebanyakan manusia Indonesia.
Jika kita lihat, orang Barat selalu tidak lepas
dari sebuah bacaan, entah koran, majalah atau buku. Pada setiap waktu, seperti dikereta,
bus umum, diruang tunggu, dan beberapa sarana publik pun tidak luput dari suasana
orang-orang membaca. Berbeda tentu dengan kondisi yang ada di Indonesia. Setiap
kita menemui suasana ruang publik seperti taman, halte, stasiun dan sebagainya,
kita akan mendapati orang-orang asyik berbincang, sibuk dengan gadgetnya, tanpa
aksara yang dibacanya. Kalau ditinjau dari tradisi tulisan, bangsa ini juga
punya tradisi yang kuat dalam tulisan. Sebagaimana contoh, serat, babad, pupuh
dan sebagainya masih tersimpan rapi dalam museum atau sudah ditafsirkan
sedemikian rupa oleh para penulis. Sayangnya, tradisi membaca yang kuat kurang
kita jumpai, bangsa ini lebih suka berbicara, mendongeng, dan
berbincang-bincang.
Disadari atau tidak, membaca adalah kebutuhan
setiap manusia yang tidak buta huruf. Pendidikan formal maupun informal di
Indonesia telah mengajarkan kepada generasi bangsa untuk bisa membaca dan
menulis. Bangku sekolah dasar sampai atas telah melancarkan seseorang mahir
membaca. Bahkan jika ditambah dengan mengenyam pendidikan di Universitas. Pendidikan
formal jaman sekarang “mudah” didapatkan dalam artian negara ini telah lepas
dari jeratan penjajahan yang bertujuan mengekspolitasi hasil alam, juga
membodohkan sumber daya manusia tanah jajahan. Pada dasarnya, tujuan pendidikan
pada umumnya adalah mencerdaskan dan memanusiakan manusia. Membuat manusia
memahami arti harfiah dan tujuan hidup manusia.
Bertolak dari itu, bahwa pendidikan yang ada
sekarang telah mengajarkan masyarakat bisa baca dan tulis. Pada kenyataannya,
budaya membaca baik saat senggang maupun saat lepas dari bangku pendidikan
formal pun menjadi luntur. Ini terjadi tidak lain karena kebanyakan masyarakat
lebih suka menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang daripada memegang dan
memahami sebuah isi buku. Disadari atau tidak, buku adalah asupan bagi otak. Buku
yang bagus adalah gizi bagi otak. Buku digolongkan bagus atau tidak semua
tergantung dari pembacanya, karena setiap orang punya pendapat berbeda-beda
setelah melahap sebuah buku. Yang menjadi pertanyaan grand question,
sebelum perdebatan terkait isi buku tersebut adalah tentu saja dengan
membacanya.
Membaca adalah sebuah “kewajiban” bagi setiap
insan. Membaca bisa diwujudkan dalam berbagai hal dan berbagai cara. Kenapa
orang masih enggan membaca? Sebuah pertanyaan bukan pernyataan, sebagai sebuah
refleksi bagi kita semua bahwa membaca itu sangat penting. Bukan perkara
koleksi buku yang berlimpah, bukan perkara sok-sok an, tapi perkara pemahaman
dan sudut pandang. Memaca adalah sebuah keharusan bagi insan yang melek huruf. Masyarakat
masih dilanda “buta huruf” di zaman yang sudah serba kemerdekaan dan modern
seperti sekarang. Sejarah telah membuka mata kita, bahwa bangsa yang
berperadaban maju tidak lepas dari kuatnya tradisi membaca dan menulis.
Proses ini kemudian dilanjutkan dengan mencipta
dan memajukan. Buku adalah media dimana arus pengetahuan masuk secara visual
dan meresap ke dalam otak. Kecerdasan emosional dan intelektual bisa dibangun
dengan cara apapun, tentu salah satunya dengan membaca. Membaca dan buku adalah
dua sejoli yang tidak terpisahkan dan saling kait mengait. Mari menggalakkan
kembali budaya membaca sebagai identitas insan yang utama. Manusia yang
berfikir, berpengetahuan luas, dengan membaca. Membaca. Apapun itu. Apapun!
Depok,
27 Maret 2015.
Hasby
Marwahid.
0 komentar:
Posting Komentar