Selasa, 07 April 2015

Kekuasaan, Pengetahuan dan Kebenaran


Episteme itu bisa diartikan sebagai aparatus diskursif yang mengkonstruksi wacana, baik itu wacana ilmiah maupun non-ilmiah. Kita memperoleh pengetahuan sama dengan kita memperoleh bahasa, dan kesempatan kita untuk menolak pengetahuan tersebut sama kecilnya dengan kesempatan kita untuk tidak mau belajar bahasa tertentu dari semenjak lahir hingga dewasa. Ini tidaklah sama dengan kekuasaan represif (penggunaan kekuasaan untuk menghentikan kita untuk melakukan sesuatu). Ini terkait dengan penggunaan kekuasaan untuk membangun kemampuan kita sebagai manusia (tidak semata-mata hewan saja), dan memiliki pengetahuan tertentu untuk melekatkan makna pada pengalaman kita. Sebagai contoh seperti anak kecil yang baru mulai menjadi manusia seutuhnya malalui belajar bahasa tertentu, maka kita hanya akan mengetahui yang benar dan yang salah, sebagai hasil dari pengaruh wacana tertentu terhadap pikiran kita. Tapi tidak berarti dengan demikian kita dapat mengklaim sudah mengetahui sesuatu dengan pasti. Kita hanya akan dapat mengetahui kebenaran sesuai dengan yang diketahui dan fahami dalam wacana kita.
Seperti anak kecil yang tidak mengetahui bahasa mana yang harus dipelajarinya seiring bertambahnya usianya, kita pun juga tidak punya pilihan terhadap pengetahuan tertentu tentang dunia yang kita peroleh. Menurut Foucault melalui wacana lah yang mendominasi suatu waktu dalam sejarah dan suatu tempat di dunia sehingga manusia memiliki kerangka pikir atau pandangan tertentu. Cara pandang model seperti itu adalah seperti yang disebut oleh Foucault sebagai Episteme. (Pip Jones: 2010). Bagi Foucault, jika anda ingin memahami perilaku manusia pada waktu dan tempat tertentu, maka temukan wacana yang mendominasi pada tempat tersebut. Jika ingin mengapa wacana tertentu berkuasa, maka jadilah arkeolog sosial : mengetahui asal-usul cara mengetahui dengan melakukan dekonstruksi dan meneliti landasan yang pada kekuasaan tersebut itu berada dan dominan.
Pemikiran yang penting pada Foucault adalah arkeologi (archealogy), meski pada perkembangan selanjutnya dia lebih memilih menggunakan istilah geanologi. Istilah ini mengacu pada pencarian asal muasal dari kebenaran. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan kebenaran mutlak atau kebenaran  akhir seperti asal usul segala sesuatu terjadi, seperti Tuhan, Idea, dan sebagainya. Namun, Foucault menolak tentang kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan yang universal dan mutlak sumbernya berasal dari metafisika. Bahwasannya manusia dan budayanya, rahasia alam, yang berada dalam ruang dan waktu tertentu merupakan sumber dari ilmu pengetahuan dan filsafat, merupakan bagian dari bagaimana cara manusia mengungkapkannya. Foucault menolak bahwasanya wacana ilmu pengetahuan dan filsafat  yang menyatakan dirinya universal dan obyektif melalui penelusuran terhadap teori dan konsep yang digunakan oleh ilmuwan. Pada perkembangannya budaya umat manusia berubah dari waktu ke waktu atau bersifat discontinue (Ahyar Lubis: 2014). Menurut Foucault ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang cukup ampuh untuk pendisiplinan dan pelatihan, dapat digunakan juga sebagai alat untuk menaklukan dan membuat orang patuh sebagaimana dikemukakan oleh para ilmuwan ahlinya.
Kritik yang dilontarkan oleh Foucault terhadap pandangan ilmiah modern adalah bahwa klaim dari ilmu pengetahuan sebagai kebenaran obyektif dan universal karena darinya kita mengerti benar dan salah (oposisi binair) sebagai wacana tertentu dalam pikiran kita. Maka dari itu pengetahuan tidak berarti kita telah mengetahui secara obyektif dan pasti. Bahwa pada suatu era ada episteme, pandangan dunia dan wacana dominan yang mempengaruhi cara berfikir ilmuwan. Foucault mengemukakan pentingnya memahami episteme yang tersembunyi dalam wacana ilmiah tersebut dengan suatu metode. Jika kita ingin mengetahui satu episteme yang dominan pada masa tertentu, langkah selanjutnya adalah menelusuri asal-usul dan dasar pemikiran episteme itu. Selanjutnya, dengan kita mengetahui episteme terebut kita bisa mengkritisi secara ketat kelemahan-kelemahan asumsi-asumsi epsitemologi dominan yang terjadi. Metode ini sebenarnya identik dengan model dekonstruksinya Derrida.
Foucault menyatakan ada empat hal dominan dimana diskursus dianggap membahayakan, yakni politik (kekuasaan), hasrat (seksualitas), kegilaan, dan apa yang dianggap benar atau salah. Point benar atau salah ini menurut Neitzche dimaksud kehendak untuk berkuasa. Bagi Foucault sendiri ini diidentikan dengan keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk mempertahankan status quo ilmu pengetahuan menjadi hegemoni. Geanologi disini diartikan sebagai hubungan historis antara kekuasaan dengan diskursus. Ilmu pengetahuan berperan membentuk manusia dan kekuasaan (aturan, politik) yang digunakan untuk mengatur subyek. Semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroprasinya kekuasaan karena ingin mengetahui adalah proses dominasi terhadap obyek-obyek dan manusia. Pengetahuan ternyata merupakan cara bagaimana kekuasaan memaksakan sesuatu kepada orang lain tanpa memberi kesan berasal dari pihak tertentu. Pengakuan akan obyektifitas dan keilmiahan seakan impersonal atau bebas nilai tanpa disusupi kepentingan subyek tertentu.
Maka dari itu setiap wacana selalu mencari status ilmiah supaya dikaitkan dengan subyek tertentu sehingga tidak dicurigai membawa kepentingan atau nilai tertentu. Berfikir secara kritis sangat penting untuk menjawab tantangan atau menganalisa antara hubungan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran. Melalui cara membongkar hubungan kekuasaan yang disembunyikan maka akan mendorong munculnya perlawanan dan memperluas kebebasan akan berbagai hal. Pada lingkup ini memungkinkan kebenaran yang terpinggirkan akan terungkap. Kebebasan kita memungkinkan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam bertindak. Orang tidak lagi terkungkung dalam nilai, norma, tradisi,  dan aturan yang cenderung melawan perubahan. Hanya dalam suasana perubahan ini dalam arti kebebasan yang membongkar dominasi-dominasi kuasa tersebut, maka dapat dimungkinkan menghasilkan pengetahuan untuk dapat melawan cara memerintah yang dominan. Bahkan bila pengetahuan itu memakai nilai luhur dan kebaikan didalamnya. (Haryatmono: 2010).
Hubungan antara Kekuasaan, Ilmu pengetahuan dan kebenaran menurut Foucault ini menarik jika dilihat dari perspektif sejarah. Arkeologi atau geanologi dari Foucault ini menggeser manusia dari posisinya sebagai subyek modernitas sebagai pelaku utama. Dari sudut pandang peradaban Eropa yang terkenal rasional dan serba logis ternyata dalam konteks sejarahnya banyak melenceng dari idealisme Eropa sendiri. Sejarah tidak selalu diciptakan oleh seorang aktor yang rasional logis yang dapat menjalankan roda sejarah secara linear dan bergerak maju. Malah justru sebaliknya, sejarah diciptakan oleh hasrat, keinginan, dominasi, kekuasaan yang tidak terkontrol, perselisihan pendapat dan diskontiunitas. Sejarah yang rasional dan dipadu subjek adalah sejarah yang dikonstruksi oleh epistemologi dan metodologi romantisme tentang dari kita sendiri sebagai pelaku yang rasional.


Depok.
Hasby Marwahid

0 komentar:

Posting Komentar