Globalisasi yang terjadi dewasa ini tidak lepas dari persinggungan
berbagai macam budaya antar negara. Globalisasi mengakibatkan lunturnya
batas-batas budaya, negara, dan lain sebagainya akibat interaksi yang terus
menerus dan frekuensi pergaulan antarnegara, antarbudaya, antarmanusia yang
lebih tinggi. Globalisasi bukanlah proses yang statis, melainkan proses yang
dinamis. Kadar pergaulan internasional meningkat dan batas antarnegara menjadi
pudar karena besarnya interdependensi ekonomi. Sebenarnya, globalisasi bukan
sekedar persoalan perekonomian saja. Menurut Benny Hood, globalisasi adalah
gejala budaya karena terbentuknya dan tersebarnya “kebudayaan dunia” di
berbagai negara. (Hoed: 2011). Hal ini tentu tidak lepas dari peran ekonomi dan
teknologi yang tentu sangat penting dalam pengembangan sistem budaya ini.
Kehadiran pasar intenasional seperti bank-bank, produk-produk, dan lain
sebagainya secara disadari atau tidak telah membentuk gaya hidup metropolitan
dan internasional terutama di kota-kota besar. Pendapat yang berkembang adalah
mau tidak mau kita harus menerimanya dan menyesuaikan diri kita. Teori tentang
gobalisasi menandaskan bahwa globalisasi dikhawatirkan melemahkan kedaulatan
negara dan bangsa (nation-state).
Dekonstruksi Globalisasi
Terjadi perdebatan antara Derrida dengan de Saussure perihal lisan
dan tulisan, tanda, dan makna. Menurut De Saussure bahasa tulis merupakan
turunan dari bahasa lisan. Jadi, bahasa yang utama adalah bahasa lisan. Bahasa
yang sebenarnya adalah bahasa lisan. Menurut Derida, konsep dari dekonstruksi
adalah bahwa struktur makna suatu tanda bukan sesuatu yang obyektif dan bukan
sesuatu yang subyektif. Begitu diucapkan atau ditulis, suatu tuturan akan hidup
dan lepas dari penuturnya sendiri. Menurut De Saussure, mengenai tanda yang
terdiri atas penanda dan petanda adalah suatu struktur yang statis. Derrida
menjelaskan bahwa tanda adalah struktur yang dinamis yang mempunyai makna
sendiri. Sedang, de Saussure mengatakan bahwa makna itu dihasilkan dari
perbedaan antara satu tanda dengan tanda yang lain dalam sistem yang sama
(difference), dan Derrida mengatakan bahwa makna itu dihasilkan dari suatu
proses yang menghasilkan makna berbeda-beda menurut tafsiran setiap individu.
Jadi, memahami globalisasi adalah pemahaman atas suatu struktur pikiran yaitu
kata “globalisasi” itu sendiri.
Inti dari
dekonstruksi sendiri adalah suatu proses penafsiran yang sistematis oleh setiap
individu atau kelompok masyarakat tertentu. Seluruh konsep isi dan makna yang
berkaitan dengan globalisasi ditunda dan melihat makna dari globalisasi
ditafsirkan berbeda dengan tafsiran mainstream dan dari para pencetusnya.
Konsep dari dekonstruksi membantu kita untuk mencari hal-hal baru sesuai dengan
perkembangan zaman dan lingkungannya. Pada jamaknya, kebudayaan dunia dipahami
berasal dari negara-negara maju, bahwasanya dalam sejarah peradaban yang
berperadaban maju dan tinggi pasti akan mempengaruhi wilayah disekitarnya dan
bahkan yang berjarak jauh sekalipun. Kemajuan dalam bidang teknologi dan
informasi, penguasaan media massa internasional maka negara-negara maju dapat
mengalirkan kebudayaan dari “utara ke selatan”. Negara utara termasuk
negara-negara Barat dan negara selatan termasuk negara timur, termasuk
Indonesia. Utara menjadi pemasok dan selatan menjadi penerima (recipient).
Ide dan konsep besar seperti demokrasi, modernisasi, dan liberalisasi menyebar
keseluruh belahan peradaban di bawah kolong langit ini.
Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dari proses penerimaan konsep
dari utara ke selatan ini masuk ke dalam beberapa aspek, termasuk dalam bidang
pendidikan, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Proses modernisasi yang
sekarang telah terjadi adalah 99 persen menerima dan 1 persen penciptaan.
Modernisasi tidak lain adalah penerimaan dan keterbukaan dari konsep utara ke
selatan, utara memberi dan selatan menerima. Konsep-konsep globalisasi juga
masuk ke dalam teori-teori ilmu pengetahuan. Hegemoni teori yang datang dari
utara terasa jelas dan mainstream yang menjadi langue, yaitu pola
berfikir, bertindak dan lain sebagainya dalam ranah kehidupan kita. Tekanan
dari utara yang terus menerus terhadap selatan menyebabkan kita berfikir ulang
tentang makna globalisasi. Menurut Benny Hoed, bahwa mendekonstruksi
globalisasi harus dimaknai sebagai proses dialog yang terus menerus,
bertahun-tahun dan dialog yang panjang tentang makna terbalik dari globalisasi.
Jika kita kembali ke masa lalu tentang bagamana globalisasi terjadi
di negara kita Indonesia, khususnya pada budaya Jawa, konsep globalisasi ini
menjadi menarik. Proses globaliasi terjadi di Jawa dengan adanya arus budaya
India dengan Hindunya disebarkan lewat perdagangan. Banyaknya bahasa sansekerta
yang terserap dalam bahasa Jawa dan dalam beberapa konsep budaya Jawa sendiri
termasuk filsafat dan kesenian, menunjukkan bahwa kebudayaan Hindu telah masuk
kedalam budaya Jawa tersebut. Pada akhirnya, hasil akhir menunjukkan bahwa
kebudayaan Jawa tidak identik dengan kebudayaan India. Kebudayaan Jawa menyerap
kebudayaan Hindu dan mengembangkan kebudayaannya sendiri disesuaikan dengan
alam pikiran Jawa sendiri. Kemampuan masyarakat Jawa dalam mengembangkan dan
memanfaatkan kebudayaan besar ke dalam dirinya melalui proses dekonstruksi
telah terbukti dari menjelmanya kebudayaan Jawa menjadi kebudayaan yang besar
pula. Mereka berhasil mengembangkan wacananya sendiri dan modernitas dengan
kreativitas yang tampak itu telah membawa masyarakat Jawa memiliki kebudayaan
yang canggih pula.
Globalisasi menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat
dunia ini, baik yang memberi maupun menerima, utara ke selatan. Globalisasi
harus kita tanggapi secara kritis dengan upaya membuka wacana baru yang datang
dari dalam kebudayaan kita sendiri dan memilah unsur luar yang memang sesuai
dengan alam pikiran kita, seperti seni, filsafat, budaya, politik, susastra,
dan lain sebagainya. Proses degradasi moral dalam berbagai bidang telah merasuk
kedalam alam pikiran masyarakat kita, baik dari anak-anak maupun kawak-kawak.
Perkembangan arus budaya dan informasi seolah tidak ada filter menjadikan
masyarakat semacam mengalami disorientasi. Masyarakat seolah kehilangan
identitas dirinya dan lebih bangga dengan modernisasi dan globalisasi. Mereka
seakan lupa bahwa nilai-nilai dan kearifan lokal yang lebih sesuai dengan alam
pikiran kita itu lebih baik dan nilai-nilai luar yang masuk tidak sepenuhnya
menimbulkan hal yang tepat. Harus ada filter yang kuat dalam menangkal arus
negatif yang datang dari luar dengan cara menguatkan karakter lokal yang lebih
arif, sehingga tidak kaget dengan arus luar yang begitu deras mengalir dan
bahkan seakan tidak terbendung.
Analisa Partikular
Proses dekonstruksi terhadap makna-makna yang mainstream memang
baik untuk mengetahui dan bahkan untuk menolak dan mengembangkan konsep yang
jamak diikuti oleh orang. Setelah kita membahas lebih jauh bagaimana cara
mendekonstruksi dari makna gobalisasi tersebut, bahwa mencoba melekatkan makna
dibalik makna itu sendiri memang lebih tepat. Pasalnya, jika kerangka pola
pikir anti mainstream tersebut dipakai, maka kita akan mudah mengembangkan
konsep-konsep “tidak lazim” seperti apa yang dipikirkan orang. Dekonstruksi
mengajarkan kita untuk mencoba membedah kembali makna dari balik makna umum itu
sendiri. Mengulang kembali teori dekonstruksi dari Derrida, bahwa penanda tidak
berkaitan langsung dengan petanda. Petanda dan penanda tidak berkaitan satu
sama lainnya. Tanda dilihat sebagai struktur perbedaan sebagaian selalu tidak
di sana, dan sebagian bukan yang itu. Penanda dan petanda selalu berpisah dan
menyatu kembali dengan kombinasi-kombinasi baru. Derrida mengatakan bahwa
ketika kita membaca suatu petanda, makna tidak semata-mata menjadi jelas.
Penanda menunjuk pada apa yang tidak ada, maka dalam arti tertentu, makna tersebut
menjadi tidak ada. Makna tersebut terus bergerak dalam mata rantai penanda dan
kita tidak dapat memastikan posisi persisnya karena makna tidak pernah terikat
pada satu tanda tertentu.
Tanda tidak dapat dipahami sebagai sebuah unit yang homogen yang
menjembatani asal-usul (rujukan) dan tujuan (makna) karena tanda dibaca dalam
pengertian lain dan selalu dimuati jejak tanda lain yang muncul secara tidak
utuh dan pada dasarnya bahasa adalah proses yang temporal. Pada contohnya,
ketika kita membaca kalimat, makna sering baru muncul setelah kalimat itu
selesai dibaca dan bahkan makna tersebut dapat dimodifikasi oleh penanda yang
muncul kemudian. Bahasa bukan alat yang kita ciptakan sendiri, melainkan alat
yang paling mungkin kita gunakan sebagai akibat seluruh gagasan tersebut bahwa
kita adalah entitas yang utuh dan stabil itu juga akan berubah menjadi sebuah
bias dan tidak bermakna. Memang sedikit rumit pengertian disini, akan tetapi
hal ini menegaskan kepada kita bahwa tidak ada yang tetap, dan semua bisa
berubah menurut tafsiran masing-masing.
Jika konteks dekonstruksi diterapkan dalam bidang ilmu sejarah,
maka hal ini menjadi sesuatu yang akan menarik sekali. Bahwa pengaruh posmodern
dalam bidang sejarah adalah mencoba mempertanyakan segala hal yang telah tetap
dan tentang obyektifitas. Ihwal tetap dan obyektifitas dalam sejarah ini
menjadi perdebatan yang menarik karena hal utama dalam sejarah adalah terkait
dengan obyektifitas fakta. Sejarah terkait dengan data-data pokok berupa arsip,
catatan-catatan resmi, surat kabar sezaman, foto, dan sumber-sumber pendukung
lainnya. Sejarawan punya otoritas penuh dalam menguak peristiwa sejarah
berdasarkan data dan fakta yang dia peroleh. Interpretasi terhadap
sumber-sumber ini tentu menjadi perdebatan jika kita kaitkan dengan metode
dekonstruksi Derrida. Penelitian sejarah saling melengkapi atau bahkan
membantah terkait dengan temuan para sejarawan dalam penelitian. Bahkan saat
ini terjadi perdebatan dari para sejarawan sendiri terkait dengan gempuran
posmodern yang mulai mempertanyakan teori-teori yang sudah tetap dan cara
menginterpretasikan fakta-fakta yang ada. Terlepas dari itu, metode
dekonstruksi dari Derrida bisa menjadi masukan baru dalam metodologi sejarah,
bahwa tidak ada yang tetap dalam penafsiran teks. Masalah tentang subyektifitas
dan obyektifitas yang selama ini menjadi perdebatan yang seakan tidak kunjung
usai malah menjadikan khasanah dalam ilmu sejarah menjadi semakin menarik.
Wacana dalam perkembangan ilmu sejarah terutama di Indonesia dewasa ini
cenderung menerima sesuatu yang tetap dalam metodologi sejarahnya. Padahal
perkembangan keilmuan yang semakin masif seharusnya membuka wacana-wacana baru
yang akan menjadikan kajian sejarah sebagai kajian yang mengikuti arus baru
perkembangan keilmuan. Supaya ilmu
sejarah tidak menutup mata dari perkembangan dan ketetapan dari metodoginya
yang seakan sudahtaka tetap. Dekonstruksi mengantarkan pada penafsiran
fakta-fakta menjadi dinamis dan tidak statis. Kekuatan kata-kata pada tafsiran
dokumen-dokumen dan fakta-fakta dalam sejarah dibawa ke arah lepas dan tidak
terikat, meski Derrida menyatakan bahwa sejarah itu adalah permainan kata-kata.
Depok.
Hasby Marwahid
Daftar Pustaka
Benny H. Hoed. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya.
Depok: Komunitas Bambu.
Giddens, Anthony. 2003. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan
Demokrasi Sosial. Yogyakarta: IRCiSod.
Madam Sarup (terj: Medhy Aginta). 2007. Postrukturalisme dan
Posmodernisme; Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela.
0 komentar:
Posting Komentar