Berpikir benar belum
tentu bertindak benar.
Berpikir tepat belum
tentu bertindak tepat.
Benar sudah pasti
benar.
Tapi benar belum
tentu tepat.
Tepat disini adalah
kontekstual.
Kontekstual juga
belum tentu benar.
Itu hanya
kebijaksanaan (wisdom).
Jadi benar belum
tentu kontekstual.
Sapere
Aude
artinya berani berpikir sendiri atau beranilah mengambil keputusan sendiri.
Dalam berpikir benar belum tentu bertindak benar. Argument-argumen sering
dikeluarkan akan tetapi belum tentu apa yang kita ucapkan bisa terlaksana
dengan baik. Kadang kata dihianati oleh laku, maksudnya apa yang kita katakan
tidak sesuai, bahkan bertentang dengan kelakuan. Banyak kasus yang terjadi
dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya pelarangan judi, miras, prostitusi,
tapi yang melarang malah melakukan dibelakangan. Selain itu pejabat yang getol
dengan jargon Anti Korupsi, tapi dianya sendiri tersandung kasus maling
(korupsi). Selain itu ada undangan rapat atau acara yang diselenggarakan,
misalnya kita menjadi penyelenggara, pelaksana, teman kita atau kita sendiri
sering bilang “Insya Allah”, tapi pas hari H, batang hidungnya tidak
kelihatan. Sehingga Insya Allah sering dimaknai “tidak pasti” dan menjadi multi
tafsir. Astagfrullohaladzim.
Berpikir benar belum tentu
tepat. Tepat disini diartikan sebagai kontekstual sedangkan hal yang
kontekstual itu belum tentu benar. Contohnya Rosulullah pernah ditanya oleh
seorang pezina dan pemabuk, apakah Islam itu? Rosulullah menjawab “Islam Itu
jujur!”. Akhirnya orang tersebut harus jujur ketika ditanyai Rosulullah hingga
ia menjadi malu dengan perbuatannya. Akhirnya orang ersebut menjadi shaleh
berkat kejujurannya. Maka apakah Islam itu Jujur? Jujur hanya sebagain aspek
kecil diantara aspek-aspek besar lainnya. Rosulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan
mengantarkan ke surga... dan sungguh kebohongan akan mengantarkan kepada dosa,
dan dosa akan mengantarkan kepada neraka.” (HR Bukhari-Muslim).
Esensi dari kebenaran kalau
dilihat dari kacamata agama adalah kebenaran. Benar itu pasti dan tidak
relative. Contohnya air murni yang warnanya bening, jika dicampur dengan air
kopi yang warnanya hitam pekat, pasti akan berubah warna. Walaupun hanya
dicampuri sedikit saja. Hukum dari kebenaran adalah mutlak. Tapi di dunia ini
kebenaran itu relative, seperti dalam ilmu pengetahuan dan pemikiran ciptaan
manusia. Bunyinya jadi seperti ini “yang benar, belum tentu baik. Sesuatu
yang bagus, belum tentu berharga. Sesuatu yang berharga/berguna, belum tentu
bagus”. Kalau dalam Ilmu Sejarah kebenaran itu bersifat relative, tergantung
siapa penulisnya atau apa data-data (Arsip) yang dia gunakan, otentik atau
aspal atau rekayasa. Jika suatu saat ditemukan arsip yang lebih kuat, maka hal
tersebut dapat menjadi pembanding taua malah menolak fakta sebelumnya. Jika
dalam Ilmu hukum, kebenaran itu mutlak, berdasar undang-undang dan peraturan
yang berlaku. Maka dari itu kebenaran itu yang baik, hanya oknum yang
mendefinisikan kebenaran sesuai keyakinan mereka.
Maka untuk bersapere aude
harus membutuhkan komitmen dan konsisten yang kuat secara terus menerus. Jika
ditafsirkan lain sapare aude tidak lain adalah ijtihad. Ijtihad adalah adalah
sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa
saja yang sudah berusaha mencari kebenaran dengan menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang. Maka dari itu sapere aude tidak lain adalah ijtihad. Jalan
ini harus ditempuh untuk menuju apa yang dinamakan pencerahan.
Referensi
:
Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
Kuntowijoyo,
Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999.
Ridho
Alhamdi, Melawan Arus, Yogyakarta: Resist Book, 2006.
Nb: Kontekstual : cara berpikir yang meletakkan situasi
dan kondisi tertentu sebagai pertimbangan pokok di dalam melakukan keputusan
etis. Cara berpikir ini menuntut orang-orang yang bersangkutan harus
mengambil keputusan sendiri, dan harus bertanggung jawab pada keputusannya.
Keuntungan
dari berpikir konstektual :
-
keputusannya dapat dipertanggungjawabkan
-
lebih fleksibel
Kelemahan
dari berpikir kontekstual :
-
orang mudah terjebak dalam situasi dan kondisi yang dihadapinya
-
Etika tidak lagi memberikan pegangan kepada manusia mengenai apa yang
seharusnya.
-
Semuanya menjadi relatif, tergantung pada situasi dan kondisi.
Munggur, 11 Mei 2012
Hasbi Marwahid
0 komentar:
Posting Komentar