Bersepeda
adalah kegiatan yang menyenangkan buatku. Bersepeda selain berolah raga juga
untuk refreshing. Tapi kadang ke kampus juga memakai sepeda, selain irit ongkos
juga sehat. saya biasanya gowes dengan sepeda “ontel” butut peninggalan kakek
saya. Yogyakarta, adalah tempat kelahiranku. Kota budaya, pariwisata dan
pendidikan, begitu orang-orang sering menyebutnya. Pemerintah kota Jogja pernah
mencanangkan program “segosegawe” yang artinya sepeda kanggo sekolah lan
nyambut gawe. Program ini memang bagus untuk mengurangi kemacetan di jalan dan
juga untuk mengurangi polusi. Tapi aplikasinya entah secara persis saya kurang
faham.
Beberapa
waktu lalu, saat saya gowes, ada hal diskriminatif terhadap sepeda. Waktu itu
saya bersepeda menuju malioboro, toko buku shoping dan alun-alun kidul. Tidak ada
masalah di tempat-tempat tersebut, hanya sedikit kecewa sama tukang parker dan
tempat parkirnya. Sepertinya sepeda kurang diberi tempat yang layak buat parkir
dan dihati tukang parkir. Permasalahan yang saya alami adalah ketika saya mau
parkir saya sempat dilempar kesana-kemari oleh si tukang parkirnya. disini saya
Nampak bodoh, dan juga bingung bercampur jadi satu. Artinya, biasanya saya
ketempat-tempat ini dengan sepeda motor, tapi giliran memakai sepeda sepertinya
agak lain. Setelah saya simpulkan, permasalahnya tidak lain adalah soal parkir.
walaupun saya parkir sama seharga dengan parkir motor pun saya tidak masalah,
tapi cara mereka memperlakukan pesepeda seperti saya membuat sedikit gondok. Setelah
itu saya menuju malioboro, sekedar jalan-jalan lama tidak bersepeda lewat sana.
Saat saya mau parkir disebuah blok parkiran, ternyata penuh dengan sepeda
motor, dan parahnya si tukang parkir bilang, parkiran penuh dan saya pun
mencari parkiran lain. Saat saya tengok kebelakang, ternyata ada motor yang datang
dan tukang parkirnya pun mencarikan tempat buat motor tersebut. Dua kali saya
didiskriminasikan di dua tempat yang berbeda.
Itu
baru masalah parkir, belum masalah di jalan yang semakin pelik. Jalanan kota
Yogyakarta baik di desa maupun kota sudah semakin padat saja. Jalanan penuh
dengan motor, mobil yang semakin hari semakin banyak saja. Kebetulan jarak
tempuh kota Jogja dengan rumah saya lumayan cukup jauh sekitar 40 km.
disepanjang jalan, yang namanya jalur sepeda memang sudah disediakan oleh LLAJ
dengan garis putih di pinggir jalan, atau jika jalan yang tidak bergaris, maka secara
nalar pasti tempat sepeda adalah di pinggir jalan. Sepeda memang dikayuh dan
jalan pelan-pelan, kecuali sepeda listrik. Nah, ketika saya lewat jalan yang
memang cukup ramai, terlihat para pengendara motor maupun mobil menunjukkan
arogansi bak pembalap liar. Bahkan saya pun di klakson beberapa kali, sehingga
terpaksa minggir bahkan sampai di jalan yang tak beraspal, alias jalan tanah
yang terjal. Malah beberapa kali terlihat seorang pengendara motor yang melihat
ke arah saya dan semacam menggertu dan mengumpat, kalau ga salah bunyinya
seperti ini “minggir mas”, itu yang sedikit yang bisa saya tangkap, soalnya
saya pake headset jadi tidak begitu terdengar.
Kejadian
ini tidak sekali saja saya alami, jadi bukan streotipe belaka. Hal ini
merupakan hipotesa saya terhadap pesepeda secara umum. Kejadian tersebut
membuat saya sedikit malas untuk bersepeda lagi, kecuali pada hari-hari
tertentu di mana mood saya sedang naik. Itu pun hanya saya lakukan dengan jarak
yang tidak jauh atau hanya lewat jalan-jalan yang notabene sepi. Sangat disayangkan
sekali, menurut saya, jalan raya adalah ibarat semacam sirkuit yang panjang
dimana setiap orang semacam dikejar deadline atau kesibukan masing-masing, jadi
mereka harus serba cepat dan mudah naik pitam. Tidak munafik, saya sendiri
kadang juga seperti itu. Hanya saja, sepeda semacam tidak diberi kesempatan
untuk menikmati jalanan. Bahkan untuk menyeberang jalan saja sangat susah
sekali, walaupun sudah berada di zebra cross. Pemerintah memang sudah
menyediakan space khusus buat sepeda, seperti parkiran, di lampu merah, namun
aplikasinya kadang lain. Ini lah tindakan beberapa oknum yang tidak bertanggung
jawab dan tidak sadar peraturan. Jika saya lihat dari browsing internet di
beberapa Negara Eropa, seperti Belanda sangat mengormati pesepeda. Bahkan sepeda
menjadi semacam kendaraan yang banyak dipakai oleh masyarakatnya. Pemerintah Belanda
memberikan akses-akses utama bagi sepeda. Hal tersebut mirip juga terjadi di
Jepang, Negara yang memasok Industrinya seperti motor, mobil salah satunya di
Indonesia. Banyak sekali kita jumpai dijalan-jalan manapun di Indonesia
kendaraan produk-produk dari Jepang ini. Miris baca atau lihatnya.
Permasalahan
ini hanya sekelumit dari berbagai permasalahan pelik lainya yang adal dijalan
raya. Belum lagi trotoar-trotoar yang digunakan sebagai parkiran. Padahal trotoar
adalah tempat khusus buat para pejalan kaki. Saya jadi membayangkan, dalam bayangan yang
subyektif saya ini, jika kondisi Jogja aja seperti ini bagaimana dengan di
Jakarta atau kota-kota besar lainya tentang masalah yang berhubungan dengan
jalan raya, khususnya buat pesepeda?. Menurut saya alangkah baiknya rasa saling
mengalah dan menghilangkan arogansi sesaat dijalan raya. Saling mengalah dan
menghormati jika dicamkan dalam benak masing-masing para pengendara, pastilah
jalan raya tersebut menjadi kondusif. Pertanyaanya adalah apakah hal tersebut
mungkin?. Saya juga tidak akan mampu menjawabnya. Tapi saya akan mulai dari
diri saya sendiri dulu dengan sadar peraturan lalu lintas, mengormati hak
pengguna jalan, berhati-hati dan tidak lupa berdoa. Ini kesimpulan saya. Maaf
ini hanya pengalaman pribadi saya saja, tidak ada tendensi apapun, tapi ada ada
sedikit harapan saja, kenyamanan bersepeda dijalan. itu saja. Cukup!
Yogyakarta,
17 Mei 2012
Hasby
Marwahid
0 komentar:
Posting Komentar