Selasa, 15 Mei 2012

Sepeda dan Arogansi Jalan Raya


Bersepeda adalah kegiatan yang menyenangkan buatku. Bersepeda selain berolah raga juga untuk refreshing. Tapi kadang ke kampus juga memakai sepeda, selain irit ongkos juga sehat. saya biasanya gowes dengan sepeda “ontel” butut peninggalan kakek saya. Yogyakarta, adalah tempat kelahiranku. Kota budaya, pariwisata dan pendidikan, begitu orang-orang sering menyebutnya. Pemerintah kota Jogja pernah mencanangkan program “segosegawe” yang artinya sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe. Program ini memang bagus untuk mengurangi kemacetan di jalan dan juga untuk mengurangi polusi. Tapi aplikasinya entah secara persis saya kurang faham.
Beberapa waktu lalu, saat saya gowes, ada hal diskriminatif terhadap sepeda. Waktu itu saya bersepeda menuju malioboro, toko buku shoping dan alun-alun kidul. Tidak ada masalah di tempat-tempat tersebut, hanya sedikit kecewa sama tukang parker dan tempat parkirnya. Sepertinya sepeda kurang diberi tempat yang layak buat parkir dan dihati tukang parkir. Permasalahan yang saya alami adalah ketika saya mau parkir saya sempat dilempar kesana-kemari oleh si tukang parkirnya. disini saya Nampak bodoh, dan juga bingung bercampur jadi satu. Artinya, biasanya saya ketempat-tempat ini dengan sepeda motor, tapi giliran memakai sepeda sepertinya agak lain. Setelah saya simpulkan, permasalahnya tidak lain adalah soal parkir. walaupun saya parkir sama seharga dengan parkir motor pun saya tidak masalah, tapi cara mereka memperlakukan pesepeda seperti saya membuat sedikit gondok. Setelah itu saya menuju malioboro, sekedar jalan-jalan lama tidak bersepeda lewat sana. Saat saya mau parkir disebuah blok parkiran, ternyata penuh dengan sepeda motor, dan parahnya si tukang parkir bilang, parkiran penuh dan saya pun mencari parkiran lain. Saat saya tengok kebelakang, ternyata ada motor yang datang dan tukang parkirnya pun mencarikan tempat buat motor tersebut. Dua kali saya didiskriminasikan di dua tempat yang berbeda.
Itu baru masalah parkir, belum masalah di jalan yang semakin pelik. Jalanan kota Yogyakarta baik di desa maupun kota sudah semakin padat saja. Jalanan penuh dengan motor, mobil yang semakin hari semakin banyak saja. Kebetulan jarak tempuh kota Jogja dengan rumah saya lumayan cukup jauh sekitar 40 km. disepanjang jalan, yang namanya jalur sepeda memang sudah disediakan oleh LLAJ dengan garis putih di pinggir jalan, atau jika jalan yang tidak bergaris, maka secara nalar pasti tempat sepeda adalah di pinggir jalan. Sepeda memang dikayuh dan jalan pelan-pelan, kecuali sepeda listrik. Nah, ketika saya lewat jalan yang memang cukup ramai, terlihat para pengendara motor maupun mobil menunjukkan arogansi bak pembalap liar. Bahkan saya pun di klakson beberapa kali, sehingga terpaksa minggir bahkan sampai di jalan yang tak beraspal, alias jalan tanah yang terjal. Malah beberapa kali terlihat seorang pengendara motor yang melihat ke arah saya dan semacam menggertu dan mengumpat, kalau ga salah bunyinya seperti ini “minggir mas”, itu yang sedikit yang bisa saya tangkap, soalnya saya pake headset jadi tidak begitu terdengar.  
Kejadian ini tidak sekali saja saya alami, jadi bukan streotipe belaka. Hal ini merupakan hipotesa saya terhadap pesepeda secara umum. Kejadian tersebut membuat saya sedikit malas untuk bersepeda lagi, kecuali pada hari-hari tertentu di mana mood saya sedang naik. Itu pun hanya saya lakukan dengan jarak yang tidak jauh atau hanya lewat jalan-jalan yang notabene sepi. Sangat disayangkan sekali, menurut saya, jalan raya adalah ibarat semacam sirkuit yang panjang dimana setiap orang semacam dikejar deadline atau kesibukan masing-masing, jadi mereka harus serba cepat dan mudah naik pitam. Tidak munafik, saya sendiri kadang juga seperti itu. Hanya saja, sepeda semacam tidak diberi kesempatan untuk menikmati jalanan. Bahkan untuk menyeberang jalan saja sangat susah sekali, walaupun sudah berada di zebra cross. Pemerintah memang sudah menyediakan space khusus buat sepeda, seperti parkiran, di lampu merah, namun aplikasinya kadang lain. Ini lah tindakan beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak sadar peraturan. Jika saya lihat dari browsing internet di beberapa Negara Eropa, seperti Belanda sangat mengormati pesepeda. Bahkan sepeda menjadi semacam kendaraan yang banyak dipakai oleh masyarakatnya. Pemerintah Belanda memberikan akses-akses utama bagi sepeda. Hal tersebut mirip juga terjadi di Jepang, Negara yang memasok Industrinya seperti motor, mobil salah satunya di Indonesia. Banyak sekali kita jumpai dijalan-jalan manapun di Indonesia kendaraan produk-produk dari Jepang ini. Miris baca atau lihatnya.
Permasalahan ini hanya sekelumit dari berbagai permasalahan pelik lainya yang adal dijalan raya. Belum lagi trotoar-trotoar yang digunakan sebagai parkiran. Padahal trotoar adalah tempat khusus buat para pejalan kaki.  Saya jadi membayangkan, dalam bayangan yang subyektif saya ini, jika kondisi Jogja aja seperti ini bagaimana dengan di Jakarta atau kota-kota besar lainya tentang masalah yang berhubungan dengan jalan raya, khususnya buat pesepeda?. Menurut saya alangkah baiknya rasa saling mengalah dan menghilangkan arogansi sesaat dijalan raya. Saling mengalah dan menghormati jika dicamkan dalam benak masing-masing para pengendara, pastilah jalan raya tersebut menjadi kondusif. Pertanyaanya adalah apakah hal tersebut mungkin?. Saya juga tidak akan mampu menjawabnya. Tapi saya akan mulai dari diri saya sendiri dulu dengan sadar peraturan lalu lintas, mengormati hak pengguna jalan, berhati-hati dan tidak lupa berdoa. Ini kesimpulan saya. Maaf ini hanya pengalaman pribadi saya saja, tidak ada tendensi apapun, tapi ada ada sedikit harapan saja, kenyamanan bersepeda dijalan. itu saja. Cukup!
Yogyakarta, 17 Mei 2012
Hasby Marwahid

0 komentar:

Posting Komentar