Oleh : Hasbi Marwahid
Berita pecahnya perang dengan
penyerbuan Negeri Belanda oleh tentara Jerman pada tanggal 10 Mei 1940 disambut
di seluruh Indonesia dengan rasa simpati kepada bangsa Belanda disertai
pernyataan kesediaan untuk kerja sama agar usaha dapat ditingkatkan. Pada umumnya
Indonesia menyadari bahwa dengan jatuhnya Negeri Belanda ke tangan Jerman,
Indonesia mempunyai kedudukan dan peranan penting di dunia internasional.
Persepsi kaum nasionalis mengenai situasi tersebut adalah bahwa dengan sikap
moderat, dan kemauan bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda, usul untuk
mengadakan perubahan ketatanegaran dan penentuan nasib sendiri dapat
direalisasikan.
Bahwasanya ide tersebut
memang sesuai dengan situasi zaman, terbukti jelas dari isi pidato Ratu
Wilhelmina tahun 1941 dan isi Piagam Atlantik pada tahun yang sama. Sekutu
memproklamirkan Piagam Atlantik,
sehingga secara disengaja atau tidak, memberikan harapan kepada bangsa-bangsa
yang hidup dalam penjajahan untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri. Namun,
ternyata Pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa pada saat itu bukan waktu
yang tepat untuk membicarakan percobaan politik yang baru. Bahkan pelakuan pun
sangat keras terhadap kaum pergerakan di Indonesia. Pemerintah memproklamirkan
bahwa Hindia Belanda berada di bawah undang-undang keadaan darurat perang dan
segala rapat-rapat politik, baik yang bersifat umum dan tertutup juga dilarang.[1]
Pecahnya Perang Asia Timur
Raya dimulai dengan tindakan Jepang menyerang pangkalan laut Amerika Serikat,
Pearl Harbour pada tanggal 8 Desember 1941. Selain itu, serangan Jepang
terhadap daerah-daerah kekuasaan milik sekutu yang berada di selatan, yakni Asia
Tenggara, dipusatkan pada Singapura dan Jawa.[2] Pada saat itu Singapura
adalah pusat kekuasaan Inggris di Asia Tenggara, sedangkan Jawa adalah pusat
kekuasaan Belanda. Wilayah Asia Tenggara adalah daerah yang kaya dengan bahan-bahan
mentah, seperti karet, beras dan minyak bumi. Hal ini sangat berguna untuk
Jepang dalam upaya memanfaatkan bahan-bahan mentah tersebut untuk keperluan
memenangkan perang.
Jepang dengan mudah masuk ke
Indonesia, walaupun pada saat itu pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa.
Kondisi sosial politik pada saat itu memang sedang tidak berpihak pada
pemerintah Belanda. Pernyataan perang Pemerintah Hindia Belanda dengan pihak
Jepang tidak mendapat dukungan dari bangsa Indonesia. Hingga akhirnya terjadi
penandatangan di Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942, antara Gubernur Jenderal
Tjarda van Starkenborgh dan Letnan Jenderal Ter Poorten yang saat itu sebagai
Panglima Tertinggi Angkatan Darat Belanda di Jawa dengan Letnan Jenderal
Imamura, menyatakan bahwa Belanda menyerah tanpa syarat dengan Jepang.[3] Maka dengan demikian,
terjadi peralihan kekuasaan di tangan Jepang dan Indonesia mengalami babak baru
dalam penjahan selanjutnya.
Pada periode pendudukan
Jepang terjadi perubahan baik di bidang sosial, politik, maupun pemerintahan.
Jika pada masa pemerintahan koloial Hindia Belanda kaum priyayi dijadikan corner stone dalam mengelola
administrasi pemerintahan, pada masa Jepang sistem itu digantikan dengan lebih
banyak memberikan peran terhadap para ulama. Jepang menyadari bahwa mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam, maka dari itu peran ulama sangatlah penting
untuk membantu melaksakan program-program dan propaganda yang dilakukan oleh
Jepang. Ulama yang pada masa Hindia
Belanda sedikit disingkirkan, namun pada masa Jepang ini mereka memiliki
peranan dalam politik dan administrasi pemerintahan.[4]
Jepang menyadari bahwa untuk
merebut hati sebagian besar bangsa Indonesia harus mendekati ulama. Setiap
usaha memahami watak masyarakat Indonesia dan warisan kebudayaannya tidak dapat
meninggalkan penelaahan terhadap peranan Islam dalam masyarakat Indonesia, baik
dari segi agama maupun segi kekuatan sosio-politiknya. Maka dari itu para ulama
memegang peranan yang sangat efektif daripada kepemimpinan golongan priyayi.
Jepang telah memperhitungkan besarnya Muslim Indonesia dan mengetahui posisi
dan peranannya. Jepang berusaha menarik perhatian para ulama khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya, supaya berpihak pada Jepang. Sebab, Jepang
takut akan semangat jihad yang bisa digerakkan para ulama. Pihak Jepang
bermaksud memperalat semangat jihad tersebut untuk digerakkan melawan sekutu.
Jepang menarik simpati muslim
Indonesia dengan cara memperlihatkan diri tidak setuju dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Sebuah rapat yang berlangsung di
Jakarta pada bulan Desember 1942, Gunseikan berkata “Pemerintah Militer Jepang
tidak pernah ragu-ragu untuk menghormati dan menjunjung tinggi Islam, karena
Islam telah berakar di hati orang Indonesia dan telah mempengaruhi kehidupan
spiritual mereka cukup luas”.[5] Namun, hal ini bertolak
belakang dengan politik Jepang pada awal tahun-tahun pertama masa pendudukan
Jepang.
Pada tanggal 20 Mei 1942
dikeluarkan Undang-undang Nomor 3 dan 4 tentang pelarangan organisasi
pergerakan nasional untuk aktif kembali. Dekrit yang dikeluarkan Jenderal
Imamura, seorang panglima pertama di Jawa, melarang setiap diskusi, atau
organisasi yang berhubungan dengan administrasi politik. [6] Larangan tersebut tidak
hanya menghentikan partai-partai politik yang ada, namun mereka dihukum untuk
menemui nasib “memudar hilang”, sampai satu tahun kemudian, partai-partai tersebut
digantikan oleh suatu gerakan baru yang disponsori oleh Jepang. Partai Serikat
Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII), dua partai yang
melakukan aktifitas politik menghentikan kegiatannya. Bahkan, MIAI yang
merupakan federasi organisasi muslim pro Jepang yang pernah mengirimkan
utusannya dalam Kongres Islam tahun 1938 di Tokyo, juga terkena larangan ini.[7]
Melihat hal tersebut, maka
tujuan kedatangan Jepang pada awalnya adalah untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda dan menghormati orang muslim rupanya hanya
sekedar iklan belaka. Jepang memanfaatkan sentimen bangsa dan muslim Indonesia
supaya simpati kepada Jepang untuk membantu dan memenangkan perang. Tujuan di
balik itu adalah berusaha me-Nippon-kan
Indonesia. Usaha yang dilakukan Jepang untuk mempercepat Nipponisasi antara
lain memusahkan pengaruh Barat dengan cara melarang pemakaian bahasa Belanda,
Inggris dan memajukan pemakaian bahasa Jepang.[8] Bahasa Jepang dijadikan
sebagai lingua franca bagi Asia,
sebab melalui bahasa, maka kebudayaan Jepang lebih mudah dimasukkan.
Proses Nipponisasi tersebut
dilakukan Jepang melalui berbagai saluran, salah satunya pendidikan. Maka
Jepang menyusun kurikulum baru yang berlaku, baik di sekolah umum maupun bagi
madrasah.[9] Selain itu, Jepang juga
memanfaatkan peran ulama sebagai instrument Jepang dalam proses Nipponisasi di
pedesaan. Hal ini karena ulama adalah alat yang paling efektif untuk
berkomunikasi dengan masyarakat pedesaan, sehingga dengan demikian, proses
Nipponisasi di pedesaan berjalan lancar dengan bantuan ulama tersebut. Maka
diselenggarakanlah penataran-penataran yang diberinama Latihan Kyai.[10] Latihan Kyai yang
berlangsung selama 30 hari tersebut, Jepang berusaha melakukan doktrin terhadap
ulama dengan memasukkan ide-ide dan propaganda Jepang. Harapannya adalah supaya
para ulama tersebut mendapatkan jiwa baru dengan semangat Jepang. Syarat
menjadi peserta penataran tersebut ialah:
1. Mempunyai pengaruh yang luas
2. Berpengetahuan luas
3. Menempati posisi sosial yang
baik.
Ada satu usaha lagi yang
dilakukan Jepang untuk me-Nippon-kan Muslim Indonesia, yakni menghapuskan ide
Pan-Islam dan digantikan dengan Pan-Asia. Jepang menyatakan diri sebagai
saudara tua dan menjadi pemimpinnya. Usaha ini terkenal dengan nama Gerakan 3 A,
yaitu Pemimpin Asia, pelindung Asia, dan cahaya Asia.[12] Gerakan massa yang baru
tersebut dimaksudkan untuk merangkul semua orang Asia dan menggantikan semua
organisasi politik, cultural dan agama yang berada di Jawa.[13] Gerakan Pan-Asia ini
didasarkan pada sentimen bahwa rumpun bangsa Asia mempunyai nasib yang sama dan
musuh yang sama yaitu orang kulit putih. Gerakan ini juga merupakan bentuk
protes terhadap eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang Barat.
Usaha pencapaian tujuan
tersebut, Jepang rupanya membutuhkan suatu organisasi Muslim yang mnyeluruh dan
mencakup seluruh Muslim Indonesia. Organisasi tersebut harus bentukan Jepang
dan sepenuhnya berada di bawah kontrol mereka. Jepang melihat MIAI yang
diizinkan kembali bergerak pada 4 September 1942, ternyata tidak memenuhi
harapan mereka dikarenakan beberapa faktor, antara lain[14]:
1. Kelahiran kembali MIAI
tersebut, Muhammadiyah dan NU ternyata tidak ikut bergabung lagi. Jepang yakin,
satu organisasi yang tidak didukung oleh Muhammadiyah dan NU tidak cukup kuat
utuk mencapai dan mempengaruhi massa. Pasalnya, Muhammadiyah dan NU merupakan
dua orgaisasi Islam yang mewakili dua golongan, golongan maju dan bertahan.
Maka, dengan demikian Jepang tidak dapat melakukan pengawasan langsung terhadap
mereka.
2. MIAI bukan pula sebuah
organisasi massa dan hanya sekedar sebuah federasi biasa dari beberapa
organisasi yang memiliki karakter dan kebijksanaan masing-masing. Organisasi
seperti ini bukanlah lat yang cocok untuk mencapai massa.
3. MIAI terbentuk atas inisiatif
muslim sendiri dan banyak memusatkan perhatiannya terhadap masalah-masalah
politik. Jepang khawatir semangat anti kolonial ini muncul kembali dan
dihadapkan terhadap Jepang sendiri.
4. Program MIAI di masa sebelum
perang antara lain; mempersatukan organisasi-organisasi Muslim di Indonesia
untuk bekerja sama, mendamaikan perselisihan antar sesame Muslim, memperkuat
hubungan Muslim di Indonesia dengan Muslim di luar negeri. Beberapa dari
program tersebut tampaknya menghalangi Jepang untuk melakukan Pan-Asia karena
ide Pan-Islam masih ada.
Sementara itu, pada masa
Jepang, ketika MIAI diizinkan kembali bergerak, Jepang merubah tujuan MIAI
menjadi dua, yaitu[15] :
1. Menyelamatkan tempat-tempat
yang layak bagi Islam dalam masyarakat Indonesia.
2. Mengharmoniskan Islam dengan
kebutuhan perubahan massa.
Aktifitas MIAI tersebut ternyata tidak sejalan
dengan keinginan Jepang, hingga akhirnya MIAI dinyatakan bubar pada 24 Oktober
1943 dan digantikan dengan Majelis Syura Muslim Indonesia atau Masyumi.[16] Sebelumnya, pada awal tahun
1943 pihak Jepang mulai mengerahkan usaha-usaha hanya pada mobilisasi.[17] Jepang juga membentuk
organisasi tunggal sebagai wadah penampungan semua kegiatan rakyat, yaitu Pusat
Tenaga Rakyat (Putera), pada tanggal 9
Maret 1943. Putera dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Soekarno, Hatta, Ki
Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur. Tugas dari para pemimpin Putera ialah
mengerahkan segala tenaga dari kekuatan rakyat untuk memberikan bantuan kepada
usaha-usaha untuk mencapai kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya.[18]
DAFTAR
PUSTAKA
Benda, Harry
J. “The Crescent and The Risingsun, Indonesian Islam Under
the Japanese Occupation 1942-1945”, a.b.
Daniel Dhakidae, Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.
H.M Farid Ma’ruf, Melawat ke Jepang, Yogyakarta: H.B Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1940.
Muin
Umar, dkk, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam sorotan Seminar IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985.
Ricklefs,
M.c. “a History of Modern
Indonesia”, a.b.
Dharmono Hardjowidjono, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2007.
Suhatno,
Ki Bagus Hadikusuma Hadikusumo, Hasil Karya dan pengabdiannya, Jakarta: Proyek IDSN Ditjarahnitra-Depdikbud,
1982.
Semoga Bermanfaat ….
Yogyakarta, 21 Maret 2013
Hasby Marwahid
10:25 P.M
10:25 P.M
….karena
hidup harus berkarya, apapun itu.. selagi bisa.. tulislah !
[1]
Lihat Deliar Noer, op.cit., hlm 227.
Lihat Juga MC Rickleft, hlm. 291-293.
[2]
Suhatno, op.cit., hlm. 48-49.
[4] H.J. Benda, op.cit.,
hlm. 139.
[5] Drs. H.A Muin Umar, dkk, Penulisan
Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan Seminar IAIN Sunan Kalijaga,
(Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm. 42.
[7] Ibid., hlm. 34. Tentang delegasi yang ikut dalam
Kongres ini, dan Perkembangan kongres tersebut,
lihat H.M Farid Ma’ruf, Melawat ke
Jepang, (Yogyakarta: H.B Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1940)
[9] Bagi sekolah berbasis Islam seperti madrasah, pesantren,
yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar juga dilarang oleh
Jepang. Bahkan aksara Arab yang sudah diubah menjadi huruf melayu juga dilarang
diajarkan. Bagi Muslim, larangan belajar bahasa Arab tersebut sama saja dengan
melarang belajar Al-Qur’an. Larangan-larangan ini dikemudian hari terpaksa
dicabut karena mendapat protes dari pihak Muslim. Lihat Muin Umar dkk, op.cit.,
hlm. 47.
[10] Ibid., hlm. 48.
Jepang mengharapan semua kyai mendapatkan latihan ini. Antara tahun 1943-1945,
tujuh belas kali penataran telah berlangsung di Jakarta. Setiap angkatan
diikuti oleh 60 orang ulama dari 20 karesidenan di Jawa.
[12]
Mc. Rickleft, op.cit., hlm. 302
[13]
H.J. Benda, op.cit., hlm. 143.
[14]
Muin Umar dkk, op.cit., hlm. 50-52
[15] Ibid., hlm. 52.
[16] Ibid, hal 57-58.
0 komentar:
Posting Komentar