Permasalahan tentang
korupsi memang menjadi permasalahan pelik di setiap bangsa. Apalagi kepada
sebuah bangsa yang baru berkembang seperti Indonesia. Runtuhnya rezim orde baru
yang di motori oleh Soeharto tahun 1998 seakan membuka pintu baru bagi masa
depan Indonesia yang bersih dari praktik-praktik korupsi. Kita tahu bahwa 32
tahun sejak orde baru bergulir, tampuk kekuasaan seluruhnya dipegang oleh
Soeharto dan sekutu-sekutunya. Rezim yang begitu kuat dan mengakar dari jajaran
pusat sampai tataran bawah, begitu sangat terasa sekali pengaruhnya. Pesta
demokrasi seperti pemilu seperti hanya formalitas belaka, pasalnya pasti mereka (rezim) yang menang. Orde baru atau
yang biasa dikenal dengan orde pembangunan tidak terlihat punya visi misi yang
jauh kedepan, dalam artian lintas generasi, namun hanya satu generasi saja.
Rusaknya sumber daya alam, kehidupan politik yang sarat perkoncoan, kekeluargaan, dan lain sebagainya sangat terlihat jelas
di mata masyarakat Indonesia. Kini tabir reformasi telah bergulir selama 15
tahun, tapi praktik-praktik kotor (korupsi-red) masih saja menghiasi layar
kaca, dan media cetak kita semua. Ada apa ini? Apakah korupsi tidak bisa
diberantas?
Menurut wikipedia versi Indonesia, Korupsi adalah adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana
korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan, atau sarana,memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi,
dan merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Menurut Indonesia
Corruption Watch (ICW), korupsi mengandung unsur-unsur melawan hukum atau
melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada pada
pelaku korupsi karena jabatan, kedudukan (abuse
of power), yang menyebabkan kerugian keuangan, kekayaan, perekonomian
negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Secara hukum,
definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 tahun
1999, UU No. 20 tahun 2001. Berdasarkan itu, korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk,
yang dikelompokkan ke dalam kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam
jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
gratifikasi.
Makna korupsi yang diaplikasikan ke dalam bidang
politik atau kekuasaan umumnya merujuk pada statment Lord Acton, “power tends to corrupt and absolute power
corupps absolutely”, kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang
absolut akan korup secara absolut pula. Hal ini terdengar begitu ironis namun
faktual. Artinya,
bahwa kekuasaan menjadi sumber utama
terjadinya korupsi serta rawan timbulnya penyimpangan dan penyalahgunaan yang
merugikan negara dan kepentingan khalayak umum atau rakyat Indonesia. Sungguh
sangat ironis, sejak indonesia merdeka sampai sekarang, 68 tahun sudah negara
ini berlayar namun permasalahan korupsi belum juga dapat teratasi dengan baik.
Mengutip Suwarno (2010), menurut survei beberapa tahun silam, ternyata
Indonesia menduduki peringkat pertama dengan predikat negara terkorup di Asia.
Terdapat dua lembaga terkorup di Indonesia yang menempati urutan pertama dan
kedua yakni peradilan dan birokrasi.
Menurut Amien
Rais (1999), membagi korupsi menjadi empat macam yaitu korupsi eksortif,
korupsi manipulatif, korupsi nepotistik, dan korupsi subversif. Korupsi
eksortif merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyuap agar
dapat memperoleh sesuatu atau
mendapatkan perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Semisal, seorang
pengusaha memberikan sogokan kepada pejabat publik tertentu untuk mendapatkan
izin usaha atau agar mendapat perlindungan atas usahanya, atau untuk
memenangkan sebuah tender tertentu. Korupsi manipulatif merujuk pada pada
praktik kotor yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu untuk
mempengaruhi pembuat kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka
memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Sebagai contoh, seorang atau
sekelompok konglomerat menyuap bupati, gubernur, anggota dewan, menteri dan
sebagainya agar peraturan-peraturan yang dibuat menguntungkan mereka. Terlepas
dari apakah peraturan atau kebijakan yang keluar tersebut merugikan rakyat atau
tidak, hal ini bukan urusan para penyuap tersebut.
Korupsi
nepotistik merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak-anak,
keponakan, keluarga atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Misalnya,
pejabat tertentu mempromosikan dan memasukkan
kerabat mereka untuk masuk dalam dinas tertentu meski kualifikasinya jauh
dari kata mampu. Korupsi nepotistik pada umumnya berjalan melanggar aturan main
yang sudah ada. Pasalnya pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan
karena dibelakang korupsi nepotistik tersebut berdiri seorang pejabat yang
biasanya kebal hukum. Korupsi subversif merujuk pada pencurian terhadap aset
negara yang dilakukan oleh para pejabat dengan cara menyalahgunakan wewenang
dan kekuasaannya. Korupsi ini bersifat subversif dan bahkan mengarah pada
destruktif atau merusak terhadap kekayaan negara. Pasalnya negara dirugikan
secara besar-besaran dalam jangka yang panjang sehingga dapat membahayakan
eksistensi negara.
Selama 15 tahun
pasca reformasi bergulir, dengan naik turunnya pemimpin negeri ini, korupsi
terus saja menggejala di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara
khususnya di Indonesia. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang
lebih akrab disingkat KPK belum juga mengurangi praktik-praktik korupsi.
Malahan banyak pihak yang mencoba melemahkan lembaga anti korupsi tersebut
dengan segala macam konspirasi. Hal ini bisa kita saksikan di media yang
mengulas dan memberitakan tentang korupsi yang sepertinya tidak pernah
bosan-bosannya. Usaha-usaha terus dilakukan oleh negara untuk mengeliminasi
praktik korupsi namun belum juga menyurutkan terjadinya praktik kotor tersebut.
Banyak masyarakat mulai dari pengamat, cendekiawan, sampai tingkat akar rumput
yang berfikir bahwa banyak kasus-kasus korupsi kelas teri yang dipermasalahkan,
sedangkan kasus korupsi kelas kakap justru sama sekali tidak tersentuh. Hal ini
menenggarai bahwa korupsi belum bisa diberantas sampai ke akar-akarnya, hanya
yang dipermukaan saja.
Permasalahan yang
sangat serius untuk memberantas praktik korupsi seakan terus menguap. Hal ini
karena kurang konsistennya gerak yang sinergis dari berbagai pihak, baik dari
pusat sampai daerah untuk memberantas korupsi. Parahnya, dari pejabat publik,
dari menteri, anggota dewan, gubernur, walikota, dan juga pejabat dibawahnya
banyak yang tersandung praktik kotor tersebut. mungkin masyarakat sudah apatis
karena sudah tidak berdaya lagi dalam menghadapi korupsi. Mungkin karena
korupsi sudah melembaga atau membudaya seperti yang sering dikatakan oleh
praktisi dan masyarakat awam. Dalam jangka panjang korupsi yang sudah melembaga
atau membudaya tersebut dapat menghancurkan kehidupan nasional, baik dari segi
politik maupun kehidupan rakyat secara meyeluruh. Jika diibaratkan sebuah
penyakit, korupsi adalah kangker yang dapat membahayakan kesehatan bangsa
secara menyeluruh.
Jika ditengok
jauh ke belakang, terutama dalam sejarah perjalanan bangsa ini, pada awal abad
17, VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) mulai menjajah dan kemudian diteruskan oleh pemerintah Hindia
Belanda sampai menjelang berakhirnya perang dunia II, bahkan pada saat Belanda
ingin menduduki Indonesia pasca diproklamirkan kemerdekaan Indonesia tahun 1947
dan 1949, terdapat banyak hal pengulangan-pengulangan sejarah kolonial dewasa
ini. Sejarawan Belanda, J.S Furnivall dalam bukunya Hindia Belanda, Studi tentang
Ekonomi Majemuk, menjelaskan bahwa Belanda ataupun Hindia Belanda pada saat
itu terbebas dari praktik korupsi. Hal ini tidak sepenuhnya benar, pasalnya
pada masa VOC terdapat berbagai macam praktik korupsi yang dilakukan pegawai
VOC. Dalam beberapa penelitian menjelaskan bahwa ternyata pada umumnya pegawai
VOC menerima gaji yang terlalu rendah sehingga mudah tergoda untuk melakukan
berbagai penyimpangan. Sehingga banyak dari para pegawai VOC yang menjadi kaya
karena melakukan korupsi dari aset-aset perusahaan. Bahkan terdapat semacam guyonan makna VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie yang artinya Runtuh Lantaran Korupsi. Perusahaan dagang
tersebut bangkrut antara lain disebabkan minimnya gaji pegawai, sehingga banyak
dari pegawai VOC banyak yang melakukan penyalahgunaan kewenangan dan juga suap.
Pasca
pemerintahan diambil alih oleh Pemerintah Belanda, nampaknya tradisi ini tidak
serta merta hilang. Relasi antara birokrasi dan korupsi menjadi semacam
mendarah daging. Sebagai contoh, pada pelaksanaan politik Cultuurstelsel atau tanam paksa (1830-1870) yang banyak menggunakan
sistem komisi membuka peluang para pejabat pribumi (bupati dansebagainya) untuk
melakukan penyelewengan atau korupsi. Bagaimana tidak, para pejabat pribumi
tersebut memeras rakyat atau petani dengan cara menaikkan setoran yang lebih
dari yang ditargetkan oleh pemerintah kolonial, sehingga mereka mendapat profit
dari hasil tersebut. Hal ini mendapat kritikan tajam dari Douwes Dekker atau
Multantuli dalam bukunya berjudul Max Havelaar. Dia mengkritik habis-habisan
praktik korupsi rumit yang dilakukan oleh pejabat kolonial maupun pejabat pribumi dalam pelaksanaan
tanam paksa. Praktik tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap rakyat berupa
penindasan, kemiskinan, dan kelaparan yang merajalela. Keadaan ini tidak juga
reda, bahkan saat Indonesia merdeka pun masih ada praktik seperti ini. Pada
tahun 1950-an, Muhammad Hatta melakukan pengamatan bahwa ternyata gaji yang
rendah dari para pegawai pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
membuat perilaku suap dan sogokan menjadi hal yang lazim dalam birokrasi.
Jalinan antara korupsi dan birokrasi terus berlangsung sampai pada saat masa
orde baru runtuh karena memperlihatkan muka bobroknya.
Menyitir dari
Tesis Suwarno yang dibukukan, pasca runtuhnya rezim orde baru dan memasuki era
reformasi yang relatif demokratis, birokrasi semakin tidak mendapat kepercayaan
masyarakat. Hal ini mungkin karena disebabkan buruknya pelayanan birokrasi
terhadap masyarakat yang sebagian besar dilakkukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain itu, birokrasi juga
tercoreng akibat banyaknya praktik KKN yang semakin bertambah merajalela.
Praktik-praktik KKN seperti dalam hal pelayanan publik seperti pengurusan KTP,
paspor, berbagai perizinan, dan komoditas lainnya telah menjadi ongkos
birokrasi yang mahal dan terjadi distorsi dalam mekanisme pasar yang tampak
pada praktik oligopoli dan monopoli yang merugikan kepentingan publik.
Pada saat ini,
praktik KKN tersebut telah merasuk bukan hanya dalam lingkungan birokrasi, baik
daerah mapun pusat saja, melainkan juga dalam lingkungan legislatif, baik dari
pusat maupun sampai daerah (DPR, DPRD). Bahkan sampai pada melanda Komisi Pemilihan Umum (KPU),
instrumen demokrasi yang seharusnya berrsih dari perilaku korupsi. Sampai pada
ranah Kementrian pun juga tak luput dilanda penyakit kronis yang bernama
korupsi. Semisal, Kementrian Agama yang
menjunjung tinggi nilai-nilai suci agama, digoyang dengan kabar adanya korupsi
pengadaan kitab suci Al-Qur’an. Sungguh mengerikan sekali penyakit ini merambah
berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia yang menjadi semacam endemik.
Stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara bisa menjadi lumpuh sampai urat
nadi jikalau praktik korupsi belum juga surut dari negeri ini.
Kesenjangan-kesenjangan dalam kehidupan masyarakat akan semakin terlihat menganga
tajam karena modal yang digunakan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia hanya
habis ditelan oleh oknum-oknum tertentu yang hanya mementingkan pribadi, maupun
golongannya. Mungkin ungkapan, yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin
kaya akan terus aktual jika kondisi seperti ini terus berlangsung. Gaji yang rendah nampaknya bukan alasan utama
terjadinya korupsi. Akan tetapi mungkin variabel struktur birokrasi yang
membuka peluang atau celah terjadinya korupsi. Jadi statment bahwa korupsi
merupakan budaya bangsa yang turun menurun sepertinya kurang begitu tepat.
Namun jika praktik korupsi dari masa ke masa tersebut selalu merajalela,
masyarakat bisa juga menjudge seperti itu, korupsi adalah budaya Indonesia.
Sungguh ironis memang, negara yang mayoritasnya beragama, menggenggam teguh
nilai-nilai spiritual, mendapat predikat negara yang korup.
Kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) selama periode dua kali berturut-turut
ini terus berusaha untuk menghadang praktik korupsi yang semakin meradang.
Berbagai aspek lembaga-lembaga penting Negara sepertinya tidak surut-surutnya
tergoncang karena koruspi, seperti timbul dan tenggelam. Janji presiden SBY
mungkin masih terngiang dalam benak masyarakat Indonesia, bahwa beliau akan
berada dalam garda terdepan sebagai pemberantas korupsi. Beliau juga memberikan
pernyataan bahwa akan menghunuskan pedang bagi para pelaku koruptor, dalam
artian akan tegas dalam memberantas korupsi yang marak di negeri ini. Hal ini
jelas-jelas dalam pidato kampanyenya beberapa tahun silam, tepatnya tahun 2009.
Namun, fakta dilapangan nampaknya banyak berkata lain, ada istilah kata
dihianati laku. Banyak indikatornya bahwa bapak presiden tidak tegas dalam memberantas
korupsi. Menurut beberapa pengamat, SBY masih jauh api dari arang dalam praktik
pemberantasan korupsi. Bahkan partai penguasa yang dimotori beliau banyak
digoyang kasus-kasus korupsi dalam skala yang cukup besar. Bahkan dalam
pemberitaan media, kasus tersebut hampir menyeret dan mengusik keluarga Cikeas.
Praktik-praktik
korupsi memang susah dihapuskan dari negeri ini karena sudah mengakar jauh
sejak pra Kemerdekaan, tepatnya di era Kolonial. System birokrasi yang cukup
longgar sehingga banyak oknum yang memanfaatkan kelowongan itu untuk melakukan
hal yang najis ini. Minimal dapat dikurangi dengan menerapkan berbagai macam
terobosan. Kerjasama yang solid dan kesepahaman antar berbagai pihak, mulai
dari ketegasan presiden, birokrat, lembaga hokum, dan masyarakat mungkin bisa
menjadi penangkal korupsi. Terbukanya informasi dan transparansi kebijakan
public membuat masyarakat Indonesia semakin kritis dari hari ke hari.
Masyarakat bukan lagi seperti kerbau yang mudah didoktrin dengan dicocok
hidungnya, dan pemerintah bukan superpower yang tidak bisa disentuh. Kebijakan
yang mengedepankan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat harus dijunjung
teguh. Ada pepatah latin, vox populi vox
dei, suara rakyat, suara Tuhan. Maka dengan hal ini jika tercapai dengan
baik, mungkin Negara ini bisa menuju ke arah Negara yang makmur yang
berkeadilan, adil berkemakmuran. Semoga.
Referensi : ---
Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan siapapun, hanya lantaran prihatin saja terhadap situasi yang semakin tidak menyenangkan.
Yogyakarta, 24 April 2013
Hasby Marwahid
0 komentar:
Posting Komentar