Pasca
Konvensi London tahun 1814, yaitu Belanda mendapatkan kembali Hindia Belanda,
maka Belanda terus memadamkan pemberontakan yang banyak terjadi di
daerah-daerah. Dampak kembalinya Belanda
ini membawa dampak yang cukup besar bagi pribumi yaitu mengalami kegoncangan
terhadap kehidupan bermasyarakat ditambah lagi Belanda menerapkan pembaharuan
dalam berbagai bidang seperti dibidang politik, ekonomi sehingga membawa dampak
dalam berbagai bidang juga, salah satunya dibidang social. Tindakan pemerintah colonial untuk menghapus
kedudukan menurut adat penguasa pribumi untuk dijadikan Handlanger Gubernermen telah menurukan kewibawaan penguasa
tradisional ini. Secara administrative para bupati atau para penguasa pribumi
lainnya sebagai pegawai pemerintah Belanda yang ditempatkan di bawah
pemerintahan colonial.
Ini juga berdampak pada struktur
social masyarakat. Lebih-lebih pada penduduk pedesaan, mereka harus menghadapi
secara langsung intensifikasi penetrasi kekuasaan politik dan ekonomi baratyang
telah terjadi sejak awal abad ke 19. Dengan dikenalnya system sewa tanah,
pajak, pembukaan perkebunan swasta, dan ekonomi uang masyarakat mengalami
perubahan social ekonomi dengan cepat dan dibarengi dengan disorganisasi
masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya. Sebelumya sejak politik etis
dilancarkan, pemerintah colonial mulai memperhatikan perkembangan di pribumi.
Perubahan-perubahan social ini
terjadi, selain sebab-sebab di atas, sebab lain adalah perluasan pendidikan,
terutama pendidikan dasar, kemudian layanan kesehatan mulai meluas sampai
pelabuhan dan kampung-kampung. Peraturan baru tentang perlindungan terhadap
tenaga buruh atau kuli pabrik/perkebunan, kemudian transportasi, budaya
tandingan dari masyarakat, diperluasnya perkebunan dan
masih banyak lagi
perubahan yang terjadi. Disini saya akan menjelaskan sedikit tentang perubahan
social di Surakarta pada abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Perubahan
a) Dalam Bidang
Pendidikan
Pada saat Sunan Paku Buwono X
berkuasa, ia berusaha memajukan kualitas rakyatnya dengan berbagai cara, salah
satunya dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini, di Surakarta banyat didirikan
sekolah-sekolah, antara lain; sekolah desa, Sekolah HIS Kesatriyan, HIS Pamardi
Putri, TK Pamardi Siwi, Mamba’ul Ulum. Sekolah desa berlangsung selama 3 tahun
dan sekolah angka II selama 5 tahun. Sekolah ini mengajarkan pada masyarakat
membaca, menulis, dan ketrampilan-ketrampilan teknis. Sekolah-sekolah dasar
untuk umum yang tersebar di Surakarta,
dibiayai dengan kas kesunanan.[1]
Sekolah HIS Kesatriyan, didirikan pada tahun 1910. sekolah ini berbasis pada
pendidikan barat, lama sekolah ini adalah 7 tahun. HIS Pamardi Putri (1927),
ini didirikan khusus untuk putri, yaitu murid putri yang sekolah di HIS
Kesatriyan dipindah disini.
Kemudian
Mamba’ul Ulum, artinya sumber ilmu. Tujuanya adalah untuk mencetak kader-kader
yang nantinya akan dijadikan ulama. Sekolahan ini adalah sekolah agama dengan
system pesantren. Didirikan oleh Sunan pada tahun 1905, dan menempati bangsal
Pawestren Masjid Agung. Lulusan sekolah itu dapat diterima menjadi siswa pada
Universitas Al Azhar di Kairo, juga ada lulusan Mamba’ul Ulum dengan melalui
tambahan kursus pendidikan umum.[2] Salah seorang lulusan sana yaitu anak sunan sendiri, menjadi
pengurus sekolah tersebut. Selain Mamba’ul Ulum, di Surakarta juga terdapat sekolah
pondok-pondok pesantren lainnya dengan murid yang cukup banyak. Sebenarnya jauh sebelum Belanda datang ke
Indonesia, masyarakat pribumi telah mengenal lembaga pendidikan sendiri, yaitu
pesantren, yang tujuannya untuk memperkaya pikiran murid, meninggikan moral,
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual, dan kemanusiaan. Lalu sekolah pertanian delanggu, didirikan
oleh Sunan, dilatarbelakangi oleh tuntutan tenaga pertanian dan perkebunan yang
berkualitas, didirikan pada tahun 1929.
Pendidikan barat biasanya menjadi idaman
karena memberikan prioritas dalam memperoleh kedudukan dan kekuasaan. Tetapi
pada mulanya pendidikan barat sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak-anak
priyayi yang berkedudukan tinggi, dan masyarakat desa tidak bisa memasuki
sekolah tersebut. Masalahnya ialah, bahwa sekolah-sekolah rendah gubernermen,
yang telah didirikan pada abad kesembilan belas terlalu mahal biayanya.[3]
Para priyayi di Surakarta mengirimkan
anak-anak mereka untuk di sekolahkan di ELS ( sekolah rendah Eropa). Pemerintah
Hindia Belanda juga berupaya meningkatkan pendidikan putra–putra atau calon
pengganti kepala daerah swapraja, termasuk Yogyakarta dan Surakata.[4]
Pada akhir abad ke 19 di antara bupati-bupati mulai ada yang berusaha mendidik
anak-anak mereka seperti orang barat dan dengan bahasa Belanda.[5]
Lapisan atas masyarakat pribumi, yang terdiri
dari orang-orang Indonesia yang terhormat dan kaya memiliki lebih banyak
kebutuhan pengajaran dari pada “sekolah-sekolah pribumi” yang memberikan
pelajaran selama tiga tahun. Sepanjang keadaan lingkungannya tempat asal
anak-anak, telah cukup “di-Belanda-kan”, dapat memberikan tempat di
sekolah-sekolah rendah yang lamanya tujuh tahun pelajaran, yang pada dasarnya
diperuntukan untuk orang-orang Belanda dan sedikit banyak merupakan tiruan
belaka dari sekolah rendah Belanda...........Tolok ukur yang menetapkan
bagaimana sekolah-sekolah rendah Eropa (ELS) menjadi terbuka bagi orang
Indonesia dan orang Cina, dalam abad kesembilan belas dan kedua puluh tidak
terlalu sama. Tetapi prinsipnya selalu sama: orang Indonesia yang memenuhi
syarat tertentu, dapat diterima di ELS.[6]
Sikap
para priyayi, pegawai perkebunan, pedagang, dan pekerja pabrik memikirkan masa
depan anaknya, tetapi disisi lain kaum petani, mereka berpikir bahwa pendidikan
akan menngubah nasib mereka ke arah yang lebih baik. Yang telah menjadi fakta
ialah, bahwa massa yang lebih besar dari penduduk agraris sama sekali tidak
menyadari kegunaan sekolah[7].
Mereka hanya memikirkan supaya anaknya kelakk dapat meneruskan pekerjaanya.
Sekolah juga belum sampai ke desa, karena sekolah yag didirikan oleh pemerintah
sangat terbatas, maka dari itu hanya kalangan orang kota yang dapat menikmati
pendidikan, selain itu faktor keterbatasan biaya, maka sekolahan itu ditujukan
untuk mendidik menjadi pegawai yang terutama berasal dari kalangan anak
priyayi.
Golongan priyayi yaitu pepatih dalem mampu
menyekolahkan putranya sampai ke luar negeri, diantaranya memasuki Sekolah Teknik
di Delft. Adapun yang lainya contohnya yaitu seorang anak pepatih ndalem yang
bernama Sasrasuwarna[8]
yang sekolah di Universitas Leiden. Sebagian besar dari mahasiswa Indonesia
yang berada di negeri Belanda belajar di Universitas Leiden, yang bukan saja
merupakan salah satu pusat ilmu yang tertua di Eropa, tetapi juga pusat
intelektual dan politik kolonial yang etis.[9]
b) Perubahan Kekuasaan Bekel
Pada
petengahan abad ke 19, bersamaan dengan perluasan perkebunan yang menuntut
lapangan keahlian fungsi bekel ini perlu ditambah dan disesuaikan dengan
kepentingan baru yaitu kepentingan dia menguasai dan memanfaatkan tanah
tersebut.[10] Pembentukan
pemerintahan desa adalah merupakan perubahan struktural yang melibatkan
kekuasaan bekel. Perubahan kekuasaan bekel secara resmi baru dilakukan
bersamaan dengan reorganisasi tanah dan pembentukan pemerintahan desa pada
tahun 1912 untuk desa kejawen[11]
dan tahun 1927 untuk desa perkebunan.[12]
Reorganisasi adalah dasar pembaharuan yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan
pedesaan atas sistem yang sebelumnya sudah berjalan dan bertujuan untuk
mengintegrasikan tanah-tanah yang terpotong-potong dan menjadikannya sebuah
areal perkebunan yang luas. Di dalam sistem apanage, bekel mempunyai fungsi
ekonomis yaitu sebagai pemungut pajak, tetapi oleh perusahaan perkebunan diubah
sebagai kepala desa. Sebenarnya perubahan tersebut ditujukan untuk membatasi
wewenang bekel, dalam arti lain “mempersempit” kekuasaan bekel dalam hal
administrasi dan pemerintahan. Maksudnya, supaya pemerintah kolonial Belanda
dengan sistem yang baru yaitu sistem apanage menjadi industrialisasi agraris
dapat berjalan lancar.
Meskipun
terjadi perubahan kekuasaan pada bekel, tetapi perubahan tersebut tidak
mendasar, karena kekuasaan bersifat polimorfik. Bekel membangun wewenangnya,
sehingga dengan begitu masyarakat mematuhinya. Ia menguasai tanah dan tenaga
kerja petani yang kemudian dijadikan sumber legitimasinya. Bekel juga berperan
sebagai penghubung antara pemegang otoritas desa dengan para petani. Selain
itu, dalam perkebunan peran bekel ini sangat penting, ia mempunyai banyak tugas
dan tanggung jawab kepada atasan. Di tempatkannya bekel sebagai agen perusahaan
perkebunan dan kaki tangan pemerintah koloni sedikit banyak memperkuat
peranannya sebagai makelar tenaga kerja.[13]
Para bekel ini dapat memilih tenaga kerja yang berkompeten untuk dipekerjakan
di pabrik maupun di perkebunan. Perluasan daerah perkebunan menjadikan tenaga
kerja petani harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Petani harus memberikan
layanan kerja kepada perkebunan yang diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan.[14]
Disini bekel menjadi semakin pintar untuk melihat keadaan, ia tahu apa yang
diinginkan oleh petani dan hal-hal yang tidak disukai. Bekel tidak segan-segan
bertindak kepada para petani untuk tidak membangkang pada perintahnya, disisi
lain petani juga mendapat perlingdungan dari bekel itu sendiri.
Peranan
bekel juga didukung oleh kekayaan yang memperkuat kekuasaanya sebagai penguasa
desa. Sehingga ia juga memperluas lungguhnya melebihi peraturan yang ada.
Pengerjaan lungguh itu dilakukan oleh petani, karena petani bekerja kepada
bekel, dan nasibnya bergantung pada majikannya. Bekel juga sebagai pelindung
petani, antara lain saat masa penarikan pajak, petani yang terdesak mendapat
bantuan dari bekel. Petani yang menggarap tanah dinas atau tanah lungguh dari
pemungut pajak itu harus membayar sewa yang tinggi,[15]
para petani ini tidak punya tanah sama sekali dan hanya sebagai penggarap, sehingga
dalam perjalannanya petani memberikan loyalitas yang besar terhadap bekel. Faktor-faktor
inilah yang membuat bekel dianggap sebagai pemimpin desa. Kekuasaan bekel ini memperlancar terjadinya
perubahan sosial, karena ia sebagai perantara masuknya pengaruh luar ke desa.
Sebagai contohnya, peran bekel yang dulu sebagai penguasa ekonomi kemudian
menjadi pemegang kekuasaan lokal walaupun memerlukan waktu yang lama, hal ini
mengendorkan unsur-unsur kelembagaan desa yang dulunya masyarakat bersifat
segmental dan komunal, berubah menjadi asosiatif dan terintegrasi.
Bekel
dipandang sebagai “Agent of Change”, karena di desa-desa mengalami perubahan
sosial. Pedesaan sudah mulai terbuka dari pengaruh luar. Komunikasi menjadi
diferensiasi fungsional, dulunya segmentasi vertikal dan horizontal yang
menghambat petani. Dengan ini para petani mempunyai alternatif baru, yaitu
bebas memilih majikan baru berdasarkan kepentingan sosial dan ekonominya, dan
ini menyebabkan kedudukan bekel berubah, yang dulu sebagai patronnya[16]
petani diganti oleh pabrik-pabrik, perkebunan dan sebagainya yang masih di atas
suasana desa.
Posisi
bekel berada dalam urutan yang paling bawah dalam hirarki feodalistik sehingga
ia bertanggung jawab dan memberikan pelayanan kepada atasan. Dalam posisi ini
keuntungan yang diperoleh bekel berasal dari bawah yaitu para petani, bukan
dari atasan. Peran ini menyebabkan ia menguasai sumber daya di pedesaan dan
menghimpun solidaritas komunal untuk kepentingan patuh dan kolonial. Setelah
reorganisasi agraria, perannya mencakup kekuasaan, kepemimpinan, organisasi dan
hubungan ke luar desa. Peran bekel di daerah Vornstenlanden sangat lambat untuk
dimasukkan ke dalam pemerintahan, berbeda dengan daerah Gubrenermen yang diubah
pada tahun 1830. Di daerah Vornstenlanden peran bekel bersifat tradisional,
yaitu sebagai penghubung antara patuh dan petani, sedangkan di daerah
Gubernermen bersifat dualistik, yaitu sebagai perantara antara patuh dan
petani, dan perusahaan perkebunan atau pemerintah kolonial dengan petani.
c) Perubahan sosial dibukannya perkebunan
Sejak dasawarsa pertama abad
ke-19 Vorstenlanden yaitu daerah kerajaan Jogjakarta
dan Surakarta
persewaan tanah telah dilakukan baik oleh orang Cina maupun orang Eropa.
Perkebunan yang dilakukan pada masa awal meliputi tanaman semusim seperti
indigo, padi, serat, maupun tanaman keras seperti kopi. Sistem tanam Paksa yang
diterapkan pemerintah colonial di Tanah Jawa sebagai cara untuk memperoleh
penyerahan wajib atas hasil bumi pada periode 1830-1870 tidak dapat diterapkan
di wilayah Kerajaan yang masih dianggap memiliki kekuasaan. Meskipun demikian
pada kurun tersebut para pengusaha Eropa berhasil memperoleh kesempatan menyewa
lahan para bangsawan untuk mengusahakan tanaman perkebunan seperti indigo,
gula, dan kopi.
Di Surakarta rupanya
transformasi social mulai menunjukkan bentuknya antara lain dengan munculnya
kelompok baru dalam masyarakat pedesaan adalah kelompok masyarakat yang aktif
dalam sector sekunder yaitu pengolahan hasil pertanian serta manufaktur lain seperti
pembuatan pakaian, pembuatan mebeler atau alat rumah tangga atau sector tertier
seperti penjualan jasa angkutan, dan pemasaran. Perkembangan industri pedesaan
dan manufaktur mengalami kenaikan pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1890
misalnya kerajinan berkembang dan hasilnya dijual di pasar-pasar yang ada di
sekitar perkebunan maupun pasar di luar daerah Surakarta. Mereka mulai melepaskan diri dari
kegiatan–kegiatan usaha tani dan berlaih kebidang usaha non-pertanian, seperti
pekerjaan pengusaha kecil, bakulan, pedagang, jasa angkutan, tukang batu,
tukang kayu dan buruh disektor non-pertanian.[17]
Tabel 1
Kegiatan ekonomi dari tenaga kerja
di Indonesia
tahun 1930
Tenaga Kerja ( dalam ribuan)
|
||||
Kegiatan ekonomi
|
Laki-laki
|
Wanita
|
Jumlah
|
Prosentase
|
Pertanian (kehutanan, perikanan, peternakan, peternakan)
Pertambangan
Kerajinan
Perdagangan
Pengangkutan
Jasa-jasa
Lain-lain dan yang tak diketahui.
|
10.518
55
1.477
801
225
661
1.070
|
3.502
41
628
290
66
317
628
|
14.020
96
2.105
1.091
291
1.025
1.698
|
67,7
0,7
10,6
6,2
1,5
4,9
8,4
|
Jumlah Semua
|
14.807
|
5.472
|
20.279
|
100.0
|
Sumber : Sejarah Nasional Indonesia V (1993), op.cit., hlm. 112.
Dengan adanya perkebunan ini maka
perbedaan yang terjadi antara penduduk pribumi dan golongan Eropa sangat
mencolok. Orang Eropa memiliki gaya
hidup yang sangat mewah, sedangkan penduduk pribumi harus menderita dalam
mencari nafkah. Upah yang diterima para kuli sangat sedikit, diminimalkan[18]
oleh para pengusaha perkebunan, sehingga mengakibatkan kesengsaraan. Dalam
kondisi yang seperti ini maka dapat dilihat taraf hidup para petani ini adalah
rendah. Dalam keadaan itu orang hendak menghibur diri dengan berjudi, menghisap
candu, melacur, kesemuanya menjerumuskannya dalam ikatan-pinjaman, kemerosotan
kesehatan dan kesejahteraan. [19]
Dengan hiburan
tersebut maka merubah pola hidup mereka, yang sekarang dipenuhi dengan bekerja
keras kemudian mencari hiburan untuk menyenangkan dirinya setelah lelah dengan
kehidupan mereka. Model baru yang mengikat mereka seperti ini dimanfaatkan oleh
mandor dan perusahaan perkebunan dengan menjual barang dengan harga tinggi dan
bisa diangsur. Banyak kuli yang terjebak ke dalam jerat pinjaman, hal mana
dipandang menguntungkan perusahaan perkebunan, karena kuli-kuli itu akan lebih
terikat pada pekerjaan di perkebunan.[20]
d) Masuknya Sistem Uang dan perubahnnya
Tahun 1870 dengan
dicanangkannya Undang-undang Agraria menandai berakhirnya pelaksanaan STP di
Jawa. Kebijakan baru ini bertujuan untuk mendukung perkembangan perkebunan
swasta di Tanah Jajahan, yang secara nyata mendorong meningkatnya jumlah perusahaan
perkebunan yang beroperasi di tanah jawa termasuk Surakarta Di Surakarta, petani melakukan kerja wajib
dengan upah di perkebunan yang disebut glidig. Di Surakarta tidak berlaku tanam
paksa seperti di daerah gubernermen, tetapi karena kuatnya ikatan feodal maka
kerja dan penyerahan wajib kepada petani masih dilakukan dengan ketat.[21] Prinsip
kerja bebas yang diterapkan oleh pemerintah pada awal abad ke-20 memperoleh dukungan
pengusaha swasta sampai dengan Masa depresi Ekonomi. Pada masa ini ekonomi uang
sedemikian dasyat merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Surakarta.
Uang
yang diterima oleh petani ini menimbulkan dampak yang begitu luas. Petani
menggunakan uangnya untuk membeli candu[22],
minuman keras, kain dan lain sebagainya. Kain yang dihasilkan oleh penduduk
tergeser oleh kain yang dihasilkan oleh luar, kain impor karena kain impor mempunyai
kualitas yang lebih baik daripada kain tenun. Kain berkualitas tinggi dari
India diimpor oleh Kompeni.[23]
Untuk membelinya para petani harus menjual berasnya dan mengumpulkan uang dari
hasil kerjanya, dan masih ditambah lagi dengan penjualan hasil-hasil tanaman
pekarangna, seperti cabe, kacang panjang, terung dll. Sementara itu, petani
juga membeli barang-barang rumah tangga di pasar. Alat-alat pertanian pertanian
dibeli di tukang besi, seperti alat pemasak nasi dari tembaga dan di
pasar-pasar saat pasar musiman buka atau yang dijajakan di desa desa setelah
musim panen tiba.[24]
Di
desa-desa didaerah perkebunan menjadi tempat penjualan barang-barang import
karena di daerah ini ada upah kerja. Penjualan barang ini dilakukan oleh
orang-orang Cina, dan karena petani tidak dapat membeli barang tersebut dengan
tunai, maka barang tersebut dibeli dengan cara cicilan. Orang Cina ini
sebenarnya berperang kembali menarik uang yang beredar dengan menyediakan
barang-barang kebutuhan masyarakat dengan kata lain desa tersebut dibuat agar
selalu kurang uang. Sementara itu didekat perkebunan atau pabrik sudah ada
warung-warung yang menjual makanan dan minuman untuk para kuli ini, selain itu
mereka juga menjual candu dan minuman keras.
Dengan
kurangnya uang di pedesaan, maka pemerintah mendirikan bank untuk mengatasi hal
ini dan dinas pegadaian selanjutnya dibangun. Selain itu Crediet Bank der Dezentjesche Onderenemingen memberi pinjaman
kepada petani dengan bunga rendah yang manfaatnya tak kunjung tampak.[25]
Hal ini bertujuan untuk menolong petani dari lintah darat yang selalu saja
merugikan petani. Kesejahteraan petani juga pasang surut, meluasnya
barang-barang impor yang masuk membuat petani dalam memproduksi barang menjadi
menurun dan lebih konsumtif, artinya dengan beredarnya uang di masyarakat dan
didirikannya bank, pegadaian, pasar-pasar dan sebagainya membuat daya beli
masyarakat menjadi tinggi, meskipun barang-barang yang dibeli hanyalah untuk
kebutuhan sendiri. Hal ini disimpulkan oleh Prof. Dr. D H Burger, perdagangan
yang ada dalam negeri saat itu sama sekali tidak berarti, karena barang
perdagangan itu diorganisir dengan ikatan adat dan sifatnya diorganisir secara
kontrak.[26] Dengan
ini kesejahteraan masyarakat pedesaan belum juga meningkat walaupun sudah
adanya uang, bank, dan perkreditan yang dirintis oleh pemerintah gubernermen.
BAB
III
Kesimpulan
Dalam bidang pendidikan terjadi
peningkatan, terutama dikalangan priyayi, mereka mulai memperhatikan pendidikan
untuk anak-anaknya. Karena pada perkembangannya pendidikan adalah yang
menentukan status social dalam masyarakat, dan system pemberian jabatan secara
turun-temurun dihapuskan. Pemerintah colonial juga mendirikan sekolah-sekolah,
yang pada tujuan awalnya adalah untuk mendidik para penerus pegawai dinas
kolonia, misalnya pemerintah desa, pangreh praja, bupati, pegawai perkebunan,
mandor dan semuanya yang berhubungan dengan administrasi dan birokrasi Belanda.
Namun pendidikan ini hanya dapat dinikmati oleh golongan atasa saja, dan di
pedesaan belum terjamah pendidikan. Para
petani juga tidak pernah berpikir untuk menyekolahkan anak-anaknya, yang ada
dalam pikiran mereka adalah bagaimana besok anaknya bias dan mampu meneruskan
pekerjaan yang telah turun temurun ini.
Dalam bidang lain, pembukaan
perkebunan membawa dampak yang luas dalam segala bidang, terutama dalam bidang
social. Para pekerja (kuli, buruh, petani)
mulai mengenal candu, minuman keras, perkreditan, dan lain sebagainya. Untuk
candu dan minuman keras memang sudah dikenal sejak lama di Jawa. Dalam berbagai
sisi, candu ini membuat para pekerja menjadi malas, tapi disisi lain, sebagai
perangsang. Ada juga salah satu perkebunan di Surakarta yang memberikan
candu-candu ini untuk para kulinya. Hal-hal ini adalah sebagai pelampiasan dari
penderitaan mereka. Maksudnya, mereka mulai mencari kesenangan setelah lelah
bekerja keras. Selain itu, mulai banyak pula para pedagang dadakan yang dating
dan berjualan di sekitar perkebunan, misalnya orang-orang Cina, mereka tahu
bahwa di perkebunan itu ada system upah/gaji, dan otomatis disini ada uang.
Mereka menyediakan barang-barang yang disukai dan dibutuhkan kembali.
Barang-barang impor juga sudah dikenal, dan makin banyak yang masuk ke pulau
jawa, termasuk Surakarta.
Produk local danb produk impor bersaing, dalam bidang tekstil, kain impor lebih
murah daripada kain pribumi, seperti batik dan lain-lain.
Dalam kekuasaan bekel, setelah
adanya reorganisasi, bekel bukan lagi sebagai pemilik tanah, tetapi diganti
menjadi penarik pajak, penyedia tenaga kerja dan lain-lain. Fungsinya telah
dialihkan dalam bidang admistratif , dan dibawah pengawasan colonial. Bekel dipandang sebagai media perubahan,
karena di desa-desa mengalami perubahan sosial. Pedesaan sudah mulai terbuka
dari pengaruh luar. Komunikasi menjadi diferensiasi fungsional, dulunya
segmentasi vertikal dan horizontal yang menghambat petani. Dengan ini para
petani mempunyai alternatif baru, yaitu bebas memilih majikan baru berdasarkan
kepentingan sosial dan ekonominya, dan ini menyebabkan kedudukan bekel berubah,
yang dulu sebagai patronnya petani diganti oleh pabrik-pabrik, perkebunan dan
sebagainya yang masih di atas suasana desa.
Sedikit tambahan, bahwasanya
perubahan dalam hal pekerjaan juga terjadi karena dampak Perang Dunia I. Ini
disebabkan karena hubungan Belanda dengan koloninya terputus. Pemenang Perang
Dunia I tersebut adalah Amerika Serikat, Perancis, Rusia, Inggris, selain itu
pihak Jerman dan Austria mengalami kekalahan dan menanggung kekalahan tersebut
dengan mengganti kerugian perang dan sebagainya. Akibatnya, Belanda mulai melakukan
industrialisasi di daerah kekuasaanya, yaitu Hindia Belanda. Maka dengan itu Indonesia
(pribumi) juga dengan otomatis kena dampaknya. Seluruh personel dibidang
transportasi modern, seperti kereta api, trem, juru ketik, sekertaris dan
lain-lain yang sebelum Perang Dunia I diduduki oleh orang Belanda, kini diganti
oleh pribumi.[27] Maka
dengan ini kita lihat yang terjadi di pribumi seperti yang sedikit saya
jelaskan di atas. Ini mempengaruhi bidang pendidikan yang awalnya untuk
menempatkan orang pribumi di berbagai bidang tersebut. Perubahan-perubahan yang
terjadi dalam bidang social, ekonomi, politik, dan budaya akan segera terjadi
setelah ini, walaupun sebelumnya juga sudah terjadi. Titik puncaknya adalah
kemerdekaan Indonesia itu sendiri, setelah diproklamir kan oleh Soekarno-Hatta.
Daftar Pustaka
Baudet,
H dan I.J. Brugmans. (Terjemahan Amir Sutaarga). 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Boomgard, Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda (Sejarah sosial dan ekonomi Jawa 1795-1880), Jakarta: Djambatan.
D. H. Burger, Prof. Dr. 1962. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Djakarta:
Pratnjaparamita.
Hok Ham,
Ong. 2002. Dari Soal Priyayi sampai Nyi
Blorong (Refleksi Historis Nusantara), Jakarta: Kompas.
Ibrahim,
Julianto. 2004. Bandit-bandit dan Pejuang
di Simpang Bengawan. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
Kartodirjo, Sartono dan Djoko
Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia (Kajian Sosial dan Ekonomi), Yogyakarta:
Aditya Media..
Kartodirjo, Sartono et al. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Poesponegoro, M. Djoenoed
dan Nugroho Notosusanto,(cetakan ke-8), 1993. Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Balai Pustaka.
Purwadi, et al. 2009. Sri Susuhunan Pakubuwono X: (Pejuangan, Jasa, dan Pengabdiannya untuk
Bangsa), Jakarta:
Bangun Bangsa.
Suhartono, 1991. Apanage dan Bekel, (Perubahan Sosial di
pedesaan Surakarta 1830-1920), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
_________1995. Bandit-bandit Pedesaan di
Jawa (Studi Historis 1850-1942), Yogyakarta: Aditya Media.
_________1990. Lungguh
dan lurah dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta:
YIPKP Lembaga Javanologi.
Suryo, Djoko & R.M
Soedarsono & Djoko Soekiman. 1985. Gaya
hidup masyarakat Jawa di pedesaan: (Pola kehidupan sosial-ekonomi dan budaya), Yogyakarta:
P3KN Javanologi.
0 komentar:
Posting Komentar