Kamis, 21 Juli 2011

Sedikit Penilaian (Subyektif) Saya. .


15/07/2011
1:45 AM
***
Kemarin saya membaca sebuah buku tentang hadis fadilah amal shaleh. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, Nabi Muhammad SAW masuk masjid dan melihat dua buah majlis. Yang pertama majlis yang berdzikir kepada Allah, sedang yang lainya mengkaji ilmu fiqh. Beliau bersabda “kedua majlis ini baik, namun satu yang lebih utama dari yang satunya. Majlis yang satu berdoa kepada Allah, maka itu terserah Allah, akan mengabulkan atau menolak (hak Prerogatif Allah), sedangkan majlis yang satunya, mereka belajar dan mengajari orang-orang yang bodoh. Dan sesungguhnya aku diutus oleh Allah sebagai pengajar. Maka majlis ilmu itulah yang lebih utama”.
Melihat realitas yang terjadi di masyarakat tempat saya Kuliah Kerja Nyata, sebuah desa yang  menurut saya unik, sistem tradisional yang sangat membudaya terutama dalam hal peribadatan. Ada sesuatu hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh dengan dikorelasikan kutipan hadis di atas tadi dan dengan dasar pemikiran yang terdapat dalam ijtihad Muhammadiyah. Terdapat arus pertentang yang mencolok antara sistem tradisional dengan modernitas dirujuk dari Al-Qur’an dan Sunnah. Makna kontekstual tampaknya tidak berjalan, hanya mengikuti tradisi yang bisa dibilang begitu “kolot”.
Sedikit gambaran, sosok seorang Kyai (mbah kaum_red) tampaknya masih menjadi panutan utama para masyarakat. Selain itu, figur-figur orang yang notabene lulusan pondok pesantren dengan pemahaman agama jauh lebih banyak dari masyarakat sekitar perannya sangat berpengaruh. Sistem pengajaran dini, yaitu TPA tampaknya masih tradisoinal. Ada segi positif dan negatif dari santrinya dan output nya. Tekstual ! satu kata yang tepat kurang lebih untuk menamainya. Para murid memang punya ingatan yang kuat tentang pelajaran-pelajaran yang diberikan, semisal bacaan sholat dan do’a lainya. akan tetapi aplikasi baik langsung maupun tidak langsung tampaknya masih kurang. Terlepas dari itu, ada baiknya pula metode seperti ini, santri menjadi lebih terpacu semangatnya untuk lebih tertantang untuk menyelesaikan “setoran” atau pekerjaan rumah yakni berupa hafalan dan lain sebagainya.
Budaya itu akan terus ada jika dilestarikan oleh manusianya, jika tidak maka hilanglah kebudayaan tersebut. Akulturasi budaya Islam-Hindu yang ada di desa ini tampaknya sudah mengakar dengan kuat, misalnya tahlilan, nyadran dan sebagainya, tradisional ditengah modernnya zaman. Orang asing (luar_red) seperti KKN akan lebih obyektif dalam menilai aktivitas keagamaan yang ada di daearah ini. Tahlilan menjadi agenda wajib dan hebatnya peserta yang datang bisa mencapai ratusan orang. Banyak sekali Majlis dzikir yang sudah terbangun dan masih lestari. Tulisan ini bukan untuk mencari yang salah maupun yang benar, hanya mencoba  menganalisa sedikit lebih jauh dikaitkan dengan opini. 
Ada 2 hal yang selalu menyertai atau dampak dalam setiap tradisi dimanapun berada, terutama di sini adalah soal aktifitas keagamaan, yaitu  hal positif dan negatif. Rutinitas seperti pelestarian tradisi, tahlilan, nyadran, rokiban dan sebagainya tampaknya sudah membudaya, bisa dibilang sebagai event wajib dan akbar. Dengan kondisi masyarakat yang mayoritas adalah menengah kebawah, hal ini menjadi sebuah penolong untuk urusan perut, karena kegitan tersebut menjadi ajang sodaqoh dari warga. Akan tetapi satu hal yang mendapat sorotan adalah acara rokiban. Mengapa? Pengkultusan individu yang kuat mengarahkan mereka kepada syirik. Pengagungan seorang sosok Syech Abdul Qodir Jaelani tampaknya seperti melebihi sosok Nabi Muhammad SAW.  
Saya juga sempat sedikit berdiskusi dengan seorang bapak-bapak saat nyadran (19/7), saya menanyakan tentang kegiatan-kegiatan yang ada di desa ini. Bapak tersebut ternyata mempunyai pikiran progresif dan sedikit memberikan kritikan terhadap hal tersebut. pertanyaan “pancingan” rupa-rupanya memancing daya intelektualnya dan ia mulai berpikir filsafati, menjelaskan semuanya secara gamblang. Analogi tentang rokiban menurut beliau ada 2 pendapat dari 2 kyai, yang pertama dia mencontohkan kalau kita berdoa supaya samapai kepada Allah harus melewati perantara dulu, seperti orang memetik buah mangga, biar lebih mudah dengan menggunakan tangga. Kemudian, yang kedua jawaban yang berputar-putar membuat semakin tidak mengerti. Dia menjelaskan sebenarnya hal tersebut adalah tidak boleh, tapi dia “samikna wa’atokna dengan Kyai”, yang diharapkan doa dan barokahnya. 
 Ada hal yang belum sempat tertuliskan tentang hal ini, mungkin lusa, atau di lain hari (Koes Plus: kapan-kapan)

0 komentar:

Posting Komentar