Tentang Pola-pola migrasi di Minangkabau, Aceh dan Madura.
Pengertian migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidup seseorang. Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu. Analisis dan perkiraan besaran dan arus migrasi merupakan hal yang penting bagi terlaksananya pembangunan manusia seutuhnya, terutama di era otonomi daerah ini. Apalagi jika analisis mobilitas tersebut dilakukan pada suatu wilayah administrasi yang lebih rendah daripada tingkat propinsi. Karena justru tingkat mobilitas penduduk baik permanen maupun nonpermanen akan tampak lebih nyata terlihat pada satuan unit administrasi yang lebih kecil seperti kabupaten, kecamatan dan desa atau kelurahan. Menurut definisi yang dibuat BPS (badan pusat statistik), seorang disebut migran apabila orang tersebut bergerak melintasi batas provinsi menuju ke provinsi lain, dan lamanya tinggal di tempat tujuan tersebut adalah enam bulan atau lebih.[1] Atau dapat pula, seseorang itu disebut migran walau berada di tempat tujuan kurang dari enam bulan, tetapi orang tersebut berniat tinggal menetap atau tinggal lebih dari enam bulan.
Pada hakekatnya migrasi penduduk merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain. Penduduk dari daerah yang tingkat pertumbuhannya kurang akan bergerak menuju ke daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Migrasi dipengaruhi oleh daya dorong (push factor) suatu wilayah dan daya tarik (pull factor) wilayah lainnya. Daya dorong wilayah menyebabkan orang pergi ke tempat lain, misalnya karena di daerah itu tidak tersedia sumberdaya yang memadai untuk memberikan jaminan kehidupan bagi penduduknya. Pada umumnya, hal ini tidak lepas dari persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di wilayah tersebut. Sedangkan daya tarik wilayah adalah jika suatu wilayah mampu atau dianggap mampu menyediakan fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di wilayah itu sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah-daerah lain. Penduduk wilayah sekitarnya dan daerah-daerah lain yang merasa tertarik dengan daerah tersebut kemudian bermigrasi
Menurut berbagai sumber, definisi dari migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain.
Jenis- jenis migrasi adalah pengelompokan migrasi berdasarkan dua dimensi penting dalam analisis migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu, seperti;
a. Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Migrasi internasional merupakan jenis migrasi yang memuat dimensi ruang.
b. Migrasi internal adalah perpindahan penduduk yang terjadi dalam satu negara, misalnya antarpropinsi, antarkota/kabupaten, migrasi dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten/kota, seperti kecamatan dan kelurahan/desa. Migrasi internal merupakan jenis migrasi yang memuat dimensi ruang.
c. Migran menurut dimensi waktu adalah orang yang berpindah ke tempat lain dengan tujuan untuk menetap dalam waktu enam bulan atau lebih.
d. Migran sirkuler (migrasi musiman) adalah orang yang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan. Migran sikuler biasanya adalah orang yang masih mempunyai keluarga atau ikatan dengan tempat asalnya seperti tukang becak, kuli bangunan, dan pengusaha warung tegal, yang sehari-harinya mencari nafkah di kota dan pulang ke kampungnya setiap bulan atau beberapa bulan sekali.
e. Migran ulang-alik (commuter) adalah orang yang pergi meninggalkan tempat tinggalnya secara teratur, (misal setiap hari atau setiap minggu), pergi ke tempat lain untuk bekerja, berdagang, sekolah, atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya, dan pulang ke tempat asalnya secara teratur pula (missal pada sore atau malam hari atau pada akhir minggu). Migran ulang-alik biasanya menyebabkan jumlah penduduk di tempat tujuan lebih banyak pada waktu tertentu, misalnya pada siang hari.
Faktor-faktor Pendorong & Penarik Migrasi
Pada dasarnya ada dua pengelompokan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).
Faktor-faktor pendorong (push factor) antara lain adalah:
- Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian.
- Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di wilayah perdesaan yang makin menyempit).
- Adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal.
- Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.
- Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit.
Faktor-faktor penarik (pull factor) antara lain adalah:
- Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaikan taraf hidup.
- Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
- Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.
- Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar.
Menurut Lee proses migrasi itu dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu[2] ;
1. Faktor individu
2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
3. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan,
4. Rintangan antara daerah asal dan daerah tujuan.
Pola Migrasi Suku Minangkabau
Orang Minang memang ada di mana-mana di berbagai pelosok Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau, etnis yang juga mempunyai budaya merantau adalah Bugis, Banjar, Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura. Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad-abad silam. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum orang-orang kulit putih datang ke sana. Bahkan, sebuah laporan pertengahan Abad ke-19 yang tersimpan dalam arsip di Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The Minangkabau State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya). Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri Sembilan, salah satu Kerajaan yang mendirikan Negara Federasi Malaysia. Jadi, mereka sudah mendirikan sebuah negara di Semenanjung Malaya sebelum berdiri di barisan terdepan dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.
Rantau adalah segenap tempat ke mana orang Minang bisa berpindah, apakah itu hanya di didalam desanya, negaranya (Indonesia), atau dimanapun mereka berada. Rantau adalah tempat dimana unsur-unsur longgar dalam kebudayaan Minangkabau atau ketegangan yang berlebihan bisa dilepaskna. [3]Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka.[4] Ditambah kemampuan bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana saja. Banyak hasil studi para sarjana asing maupun ilmuwan nasional menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul dan berkembang sejak berabad-abad silam.
Menurut Mochtar Naim (1984), faktor-faktor budaya yang mendorong laki-laki Minangkabau melakukan migrasi, di antaranya adalah;[5]
Pertama, struktur sosial di Minangkabau yang matrilineal tidak cukup memberi tempat yang kokoh bagi laki-laki dalam kehidupan keluarga, dalam arti dia tidak mempunyai kekuasaan yang mantap di rumah istrinya dan tidak pula di rumah ibunya sendiri
Kedua, dengan sistem kekerabatan keluarga besar (extended family system), suami dan istri masing-masingnya tetap merupakan bagian dari keluarga induk masing-masing. Dorongan untuk melakukan migrasi merupakan usaha melepaskan diri dari keluarga induk untuk dapat membangun keluarga batih sendiri yang terhindar dari berbagai intervensi keluarga besar.
Ketiga, laki-laki, walaupun terhitung sebagai anggota keluarga di rumah ibunya, dia tidak dapat menikmati harta keluarga. Karenanya dia merasa tidak terlalu terikat dengan tanah dan tanahpun tidak mengikatnya untuk tetap tinggal di kampung.
Keempat, tanggungjawab ganda yang dia pikul (baik sebagai bapak terhadap anaknya, sebagai mamak terhadap kemenakannya, sebagai saudara laki-laki terhadap saudara-saudara perempuannya, maupun sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota masyarakat kampungnya) mungkin dirasa terlalu berat untuk dihadapi sekaligus. Hal ini menyebabkan dia cenderung pergi meninggalkan kampungnya untuk mengelakkan dan malah melepaskan tanggungjawabnya itu.
Kelima, ketidaktergantungan mereka kepada tanah menimbulkan sikap menilai rendah terhadap kehidupan bertani. Masyarakat lebih menghargai mereka yang berhasil dan mampu memperlihatkan hasil jerih payah di rantau, karena tantangan hidup di rantau lebih tinggi sehingga pujian pujian yang diperdapat juka berhasil juga tinggi.
Keenam, anak laki-laki telah didorong untuk meninggalkan rumah sejak dari umur muda. Di rumah dia tidak diberi akomodasi setimpal seperti kepada anak perempuan. Dia disuruh tidur di surau, atau di rumah pembujangan, dan belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang sukar di kemudian hari.
Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara sukarela, atas kemauan sendiri, maka merantau orang Minang berbeda dengan, katakanlah, merantau orang Jawa yang melalui proses transmigrasi –diprogramkan dan dibiayai pemerintah. Orang Minang merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun kehidupan yang lebih baik.[6] Dalam alam pikiran orang Minangkabau –analog dengan dunia agraris– kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih luas agar menjadi pohon yang besar kemudian berbuah. Proses seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat pada tokoh-tokoh asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang lebih belakangan –lahir, tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di kampung, lalu pergi merantau dan “menjadi orang”
Pola migrasi orang Aceh
Pantang berpangku tangan duduk di rumah dan menganggur. Sudah lumrah jika seseorang telah dewasa (khususnya anak laki-laki) untuk merantau ke kota, baik mencari ilmu ataupun berdagang. Kebiasaan merantau masyarakat Pidie kabarnya juga sama dengan kebiasaan masyarakat Bireuen. Masyarakat Pidie dikaitkan pula dengan urang awak di Padang - Sumatera Barat, karena merantau selalu diasosiasikan dengan berdagang. Alasan lain mengapa diindetikkan dengan bangsa Cina (dulu disebut Tionghoa) adalah karena mereka dikenal senang bermigrasi ke seluruh dunia dan akhirnya sukses dan mandiri secara ekonomi. Tibalah kemudian pada kesimpulan bahwa kegigihan orang Pidie itu sama dengan persistensi, dan kegigihan bangsa Cina. Lalu, budaya Cina yang beragama Budha juga hampir serupa dengan budaya masyarakat Pidie yang beragama Hindu (dari India) sebelum datangnya Islam. Kebanyakan orang Pidie yang merantau berprofesi sebagai pedagang baik kecil ataupun besar. Di kota-kota besar di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta atau Bandung para pedagang makanan khas mi Aceh berasal dari Pidie. Dalam keterangan lain disebutkan bahwa ada yang menjadi pedagang, pengembara, dan bahkan nasionalis - menjadi tokoh publik, orang penting atau politisi ulung
Tidaklah aneh jika lalu sebutan ‘Cina Hitam’ melekat kuat dalam perjalanannya kemudian. Memang pernah ada sebutan ‘Minangnya Aceh’, tapi itu tidaklah populer. Label ini menjadi familiar karena dari aspek budaya dan fisik orang Pidie di Aceh adalah perpaduan dua lintas budaya ini. Mekanisme budaya tersebut kemudian terus berkembang sampai sekarang. Salah satu dasar filosofis konsep merantau bagi warga Pidie adalah keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik) dan semangat berdakwah. Dalam konteks aplikatifnya budaya merantau ini lebih sering diasosiasikan dengan berdagang. Karena memang mereka dikenal sangat ulung, lihai dalam berdagang serta pintar dalam merebut hati pembeli. Namun sesungguhnya konsep merantau bagi masyarakat Pidie tidaklah melulu hanya mengembara demi status sosial ekonomi yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik di sini adalah juga dimaksud agar mereka sukses dalam dua hal, yaitu sukses dunia-akhirat, ke barat dan ke timur, sukses berdagang dan juga belajar menuntut ilmu.
Konsep ini kemudian diterjemahkan dalam dua bentuk: Pertama, Jak u barat (Pergi ke barat) atau menuntut ilmu agama dan belajar ilmu praktis keduniaan melalui dayah atau instititusi pendidikan dan Kedua, jak u timu (Pergi ke timur) atau berdagang. Merantau ini pada prakteknya kemudian juga tidak eksklusif bagi masyarakat biasa dan monopoli kaum lelaki, tapi juga berlaku bagi semua golongan masyarakat, termasuk kaum bangsawan dan juga kaum perempuan. Sehingga merantaunya orang Pidie tidaklah semata demi alasan keuangan, tapi juga semangat untuk maju dan memperluas jaringan dan saudara. Meskipun sektor penggerak ekonomi utama adalah bertani, namun masyarakat Pidie punya visi hidup yang maju dan terbuka, tidak sebagaimana masyarakat agraris lain pada umumnya. Sehingga adat merantau warga Pidie di Aceh adalah sebuah khasanah yang perlu terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Pola Migrasi orang Madura
Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur. Penelitian Kuntowijoyo tentang pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa migrasi ke pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian Timur. Di Jawa Timur, sebagai kelompok mayoritas (kecuali Banyuwangi), orang Madura aktif berperan dalam pergerakan nasional di kota dan di lingkungan kelompok etnis Madura umumnya.
Salah satu penyebab mobilitas orang Madura yang didasari oleh kondisi pertanian yang miskin adalah, dibentuknya organisasi militer dengan nama barisan yang memiliki misi mendampingi Belanda dalam berbagai perang dan ekspedisi untuk melawan pemberontakan-pemberontakan yang muncul di kepulauan Indonesia. Barisan adalah sebuah kekuatan militer kerajaan-kerajaan Madura yang ditujukan untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa Kolonial. Organisasi militer yang berbasis pada kekuatan rakyat Madura itu merupakan manifestasi politik para penguasa Madura (aliansi militer antara madura dan Belanda) atas jasa Belanda yang melindungi Madura melepaskan diri dari hegemoni Mataram. Dalam kondisi tanah pertanian yang miskin itu, barisan juga merupakan sebuah lapangan pekerjaan yang mendatangkan penghasilan pokok bagi orang-orang kebanyakan, bergabung dalam barisan berarti pula: pekerjaan, penghasilan, penghargaan, dan yang terpenting berkesempatan untuk mobilitas sosial.
Karena perubahan struktur sosial dan ekonomi, masyarakat Madura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka masyarakat Madura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam budayanya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih banyak menetap dan bertani. Sehingga artikulasi kesenian masyarakat Madura tertuang dalam bentuk kerajinan lukisan dan patung. Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk berbagai macam agama dan kepercayaan. Hal inilah yang menjadi masalah pada masyarakat Madura. Tradisi itu dibentuk oleh mazhab Syafii sebagai mazhab dominan yang bersumber dari dalil akal dan dalil fikih. Ketika sebuah permasalahan muncul dan tidak bisa diselesaikan secara akal maka mekanisme penyelesaian dikembalikan pada kitab fikihnya. Mazhab Syafii mengutamakan dalil fikih yang sarat dengan kultur agraris feodal, hal ini lebih disebabkan pembentukan budaya masyarakat Jawa Timur pasca jatuhnya kerajaan Mataram yang kemudian dilanjutkan oleh VOC. Saat itu sempat ada kekosongan kekuasaan, sehingga tidak ada sosok di dalam masyarakat feodal yang bisa dijadikan pimpinan, kecuali ulama. Hukum yang bersumber pada mazhab Syafii dibuat untuk masyarakat agraris feodal.
Daftar Bacaan
Bagus Mantra, Ida. 1985. Pengantar Studi Demografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______________. 2003. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mrazek, Rudolf. SJAHIR; Politik dan pengasingan di Indonesia. Jakarta: Obor.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Nasir, Zulhasril Tan Malaka dan Gerakan kiri Minangkabau, Yogyakarta: Ombak.
[1] Ida Bagus Mantra, Demografi Umum; Edisi Kedua. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)., hal 172.
[2] Ibid., hal 181.
[3] Rudolf Mrazek, SJAHIR; Politik dan pengasingan di Indonesia. ( Jakarta: Obor, 1996)., hal 10.
[4] Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan kiri Minangkabau, (Yogyakarta: Ombak, 2007)., hal. 7-25.
[5] Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. ( Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984).,
[6] Ibid.,