Kemarin (30/7) agendanya adalah ke candi yang sempat menjadi world heritage, yaitu candi Borobudur yang terletak di Magelang. Sudah beberapa waktu lamanya tidak silaturahim ke situs yang dibangun Dinasti Syailendra ini, terakhir berkunjung kurang lebih sekitar satu tahun yang lalu. Tiket masuknya pun sekarang sudah mengalami kenaikan, dulu dari Rp. 15.000,- menjadi Rp.23.000,-, harga yang cukup dapat menipiskan kantong. Suasananya masih seperti sebelumnya, akan tetapi bedanya puncak dari Rupadhatu ditutup, proses renovasi. Pasca Erupsi gunung Merapi yang melanda kawasan disekitarannya, seperti Magelang, Jogjakarta, Klaten, dan Boyolali, memang menimbulkan banyak perubahan. Seperti diberitakan sebelumnya, para peneliti (baca: Arkeolog/pemerhati budaya) mengkhawatirkan kondisi candi Borobudur yang terkena abu vulkanik disetai dengan hujan dan panas yang mengguyur. Hal ini dikhawatirkan akan merusak bebatuan candi, dan susunan yang umurnya sudah mencapai ratuusan tahun ini.
Selain itu, ada hal baru yang terjadi, seperti pemakaian sarung batik bagi setiap turis baik domestik maupun manca yang akan naik ke candi Borobudur ini. Sebuah program yang patut diacungi jempol, sebagai sebuah usaha terhadap penghargaan budaya Indonesia. Proses untuk mengajak pengunjung ikut berperan secara langsung sebagai agen-agen pelestari budaya. Jadi wisatawan tidak hanya datang, kemudian foto-foto, akan tetapi mereka dapat memaknai dan menghargai karya nenek moyang ini. Memprihatikan memang melihat realitas pelestarian budaya yang ada di negeri kita yang kaya ini, terutama pengahargaan terhadap situs-situs sejarah. Bangunan-bangunan bersejarah baik peninggalan Hindu-Budha, masa Islam,
dan pada masa Nederlands-Hindie, sebuah rentetan era yang panjang dengan suasana yang berbeda-beda pula. Sebuah contoh saja, Kota Lama yang ada di Semarang, sebuah bekas daerah yang sempat dijuluki Klein-Nederlads, dan masih banyak contoh sebuah kasus-kasus lain yang dapat menggelikan mata dan telinga bagi orang-orang yang peduli.
dan pada masa Nederlands-Hindie, sebuah rentetan era yang panjang dengan suasana yang berbeda-beda pula. Sebuah contoh saja, Kota Lama yang ada di Semarang, sebuah bekas daerah yang sempat dijuluki Klein-Nederlads, dan masih banyak contoh sebuah kasus-kasus lain yang dapat menggelikan mata dan telinga bagi orang-orang yang peduli.
Suasana pengunjung candi Borobudur pada weekend kemarin terlihat senggang, padahal biasanya banyak wisatawan yang memadati setiap tingkatan candi, mulai dari kamadhatu sampai di rupadhatu nya. Ada sesuatu yang lain, apakah karena persiapan awal ramadhan (mudik_red), animo yang sudah turun, ataukah harga tiket yang naik?. Dilihat dari harga tiket yang naik, menurut pendapat subyektif saya ternyata menimbulkan minat yang turun terhadap wisatawan domestic. Biasanya liburan menjelang puasa dan pasca ramadhan banyak sekali pengunjuang yang datang berbondong-bondong mengajak sanak familinya. Tetapi disisi lain, kesadaran masyarakat yang rendah terhadap situs-situs bersejarah bisa dibuktikan secara langsung dengan kenaikan harga tiket masuk tersebut. Maksudnya, proses perawatan yang membutuhkan tidak sedikit dana, dan perawatan lainnya, itu semua demi kelangsungan (terawat/tidak) mahakarya nenek moyang kita ini. Apa lagi pasca terjadinya erupsi merapi belum lama ini, ada beberapa hal yang ditakutkan tehadap kelangsungan dari candi Borobudur.
Tidak bisa kita mencari salah maupun benar dari dua mainstream yang berbeda ini. Semuanya punya niat baik, apresiasi yang besar pula untuk mereka yng masih sadar akan pentingnya peninggalan bersejarah ini. Generasi kita sekarang ini mungkin masih bisa menikmati kemegahan dari mahakarya dinasti Sailendra. Akan tetapi generasi setelah kita nantinya, apakah masih bisa? Entahlah. Hal yang ditakutkan adalah, peninggalan sejarah yang berupa fisik tinggalah sebuah foto dan ceritanya saja. Anak cucu kita hanya bisa melihat sayu secara tidak langsung dengan media tersebut. Harus ada peran aktif dan sinergis antara pemerintah dan masyarakat sehingga terjadi kesinambungan antara keduanya. Semacam sosialisasi mungkin, tentang bagaimana cara menimbulkan respon dan timbul sikap apresiasi masyarakat terhadap sejarah.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya (sejarah_red),” begitu kata Bung Karno. Apa yang dikatakan oleh bapak Proklamator sekaligus Presiden Republik Indonesia pertama ini, dengan melihat realitas yang ada pada saat itu. Negara-negara Barat yang sudah mempunyai peradaban yang tinggi diukur dengan tingkat tekhnologi yang dipunyai dan mengacu tentang bagaimana masyarakat Eropa sangat menghargai budayanya. Penghargaan budaya oleh orang-orang Eropa ini mengakibatkan terjadinya superioritas yang pada imbasnya sering dahulu saat bangsa kita mengalami masa penjajahan (Hindia-Belanda) rakyat pribumi dicap “inlander”. Maka dari itu bangsa kita yang terbentuk dari berbagai suku dengan bermacam budaya yang disatukan dalam wadah yang bernama Indonesia, dengan konsep “Bhineka Tunggal Ika”. Sehingga apa yang dinamakan etnosentrisme kesukuan dapat lebur dan menjadi satu.
Saya bukanlah nasionalis, bukan juga seorang patriotis, akan tetapi hanya segelintir dari berjuta orang yang hidup di Negara ini. Penghargargaan terhadap masa lalu ternyata sangat penting karena masa ini terbentuk karena masa lalu. Akan tetapi jangan terbuai dengan romantisme masa lalu saja, akan tetapi aplikasikan masa lalu tersebut di masa ini dan untuk perbaikan masa depan yang lebih berwarna. Begitulah secerca cerita yang tak tau entah mau dibawa kemana, mulai dari jalan-jalan KKN, Candi Borobudur, hingga masa penjajahan. Manusia dikenal karena karyanya, entah itu bentuknya seperti apa. Sekian !
0 komentar:
Posting Komentar