Bukankah
Yogyakarta memang begitu? Ia adalah rindu, ia adalah benci. Diam-diam, kita
jatuh cinta kepadanya.[1]
Pluit
sudah dibunyikan dan kereta sebentar lagi berangkat. Sebuah kuda besi tua yang
sangat berisik suaranya meraung-raung seperti terlihat lelah. Orang
berduyun-duyun dan ada beberapa berlarian mengejar kereta yang hampir
berangkat. Diantara orang-orang itu, aku pun ikut berlari tergopoh-gopoh
memasuki peron stasiun dan melesat menuju gebong. Kubuka tas dan segera
mengambil tiket untuk mencari dan memastikan tempat duduk yang tertera disana.
Yap, dapatlah kursiku bersebelahan dengan ibu-ibu muda. Aku sekali lagi
memastikan tempat duduk dan ternyata benar. Tak berapa lama, datang sepasang
suami istri mengisi tempat duduk depanku. Yah, kereta yang aku naiki adalah
kereta ekonomi AC, dimana setiap penumpang harus duduk berhadap-hadapan dan
berhimpitan. Setelah mengatakan permisi dan memastikan tempat duduknya,
sepasang suami istri ini meletakkan barang-barangnya dan kemudian duduk. Barang
yang dibawa cukup banyak, beberapa tas dan tentengan-tentengan tas plastik.
Selang
beberapa detik, kereta itu segera berjalan. Gerbong yang aku naiki cukup penuh
karena memang sedang bertepatan dengan libur panjang. Artinya, hari jumat
merupakan tanggal merah dan waktu yang sedikit ini dimanfaatkan untuk berlibur,
pulang dan sebagainya. Bagi orang-orang yang bekerja dan punya kesibukan, libur
beberapa hari akan sangat berarti sekali. Beberapa orang sudah terlihat
bercakap-cakap satu sama lain. Model kereta ekonomi yang mempunyai tempat duduk
yang saling berhadapan dan cukup sempit untuk meluruskan kaki memang seolah
membuat mereka sekedar menyapa, atau bahkan mengobrol. Ada pula yang cuek dan
memasang headset dan memejamkan mata.