“Mas, sepertinya
kita sudahan dulu ya. Aku lelah hubungan yang seperti ini”, ucap wanita itu
dengan cepatnya.
“Tapi kan,
rencana yang sudah kita buat? Lantas?”, lelaki itu menjawab sekenanya.
Pernyataan wanita itu bagai sebuah bom atom yang jatuh tepat di ulu hatinya.
Tangannya menggigil dan tubuhnya lemas.
“Aku lelah mas,
lelah! Kamu tidak tahu betapa tersiksanya aku dengan hubungan seperti ini”,
sesenggukan wanita itu terus menjawab. Tangisnya meledak-ledak dan kata
bercampur rauangan tangis. Suaranya menjadi bias dan tidak jelas.
“Aku bisa
jelaskan dulu…”, tidak kalah hebat, lelaki itu terbawa oleh suasana. Tangisnya
pun tidak dapat ditutupi meski dia terus mencoba tegar dan tidak terlihat
cengeng.
“Tuuuutttt..tuuuttttt..tuutttt.
bunyi telepon yang terputus. Tidak ada suara lagi. Hanya tangis masing-masing
yang terdengar. Mereka mencoba memahami dan berdamai dengan tangisnya
sendiri-sendiri. Telepon yang terputus itu seakan lonceng akhir dari
terputusnya jalinan asmara dua insan yang direkatkan dalam sebuah komitmen dan
cita-cita bersama. Hanya, telepon yang menjadi saksi, betapa nestapanya sebuah
hubungan sirna. Hanya komunikasi maya, hanya suara-suara yang serak diiringi
tangis yang mengalun menusuk ceruk-ceruk cakrawala.
Malam menjelma
menjadi dingin. Gelap dan dingin. Persis. Mengisyaratkan suasana hati yang tak
bisa digambarkan lagi dengan apa pun, kecuali memang remuk redam. Botam
menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Matanya tidak henti-hentinya surut dari
berderainya air mata. Ia tutupi kepalanya dengan bantal dan mulutnya
meraung-raung. Berteriak. Mungkin dengan berteriak satu masalah menjadi tenang
dan hilang. Tidak. Pikirannya tetap melayang-layang. Entah sadar atau tidak.
Kejadian lewat begitu saja, tanpa sebab musabab yang jelas. “Ini membingungkan,
apa salahku?” pikir Botam dalam hati. Sudah kulakukan semua yang aku bisa,
sepertinya tidak sedikitpun aku mengecewakan. Kita sudah berjanji, kita sudah
ikat janji itu dalam sebuah ikatan pikiran yang kuat. Sudah tali temali kedalam
pikiran kita masing-masing. Ah jarak. Kenapa jarak yang mengecilkan cita-cita
kita yang lebih Agung? Bukannya jarak menjadikan kita untuk lebih saling
percaya akan kekuatan cinta, lantas setelah bertemu akan meledakkan kerinduan
yang kering dengan pertemuan itu menjadi Maha dahsyat. Tapi?!”, Botam terus
berpikir dalam hati disertai tangis dan sesenggukan. Nafasnya menjadi sesak. Hidungnya
tersumbat air peluhnya.