Jumat, 12 Desember 2014

Kejayaan Bahari Indonesia


“tak ada yang lebih sia-sia daripada kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit dan ular di darat? Burung segan hinggap dan ular pun segan untuk melantai, untuk tempat bercengkerama pun kerajaan itu tidak aman. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya menghasilkan ikan kecil? Tapi raja besar dan kuat menguasai tanah untuk merebut laut. Bila tanah telah dikuasainya, musuh takkan menikam dari belakang, apalagi dari depan[2]”.

Pidato kebudayaan yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merupakan puncak dari serangkaian acara untuk memperingati hari ulang tahun dari Taman Ismail Marzuki (TIM). Pidato ini cukup menarik dikarenakan membahas dan mencoba menjawab persoalan-persoalan aktual bangsa. Berawal pada tahun 1988 pasca reformasi, DKJ mencoba mengundang tokoh-tokoh nasional dari berbagai latarbelakang. Sejak tahun tersebut hingga sekarang (1998-2014), pidato tersebut selalu membahas masalah aktual bangsa dan memberikan solusi atau hipotesa terhadapnya sesuai dengan zeitgeist (jiwa zaman) yang melingkupinya. Banyak tokoh yang sudah memberikan kontribusinya, sebut saja seperti W.S Rendra, Ali Sadikin, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Amien Rais, Umar Kayam, Syafii Maarif, dan sebagainya. Pada tahun 2014 ini, pidato kebudayaan dibawakan oleh Hilmar Farid, aktivis sekaligus sejarawan Indonesia.
Pada pidato kebudayaan tahun ini, tema yang dibahas adalah wacana mengembalikan pada kejayaan lampau mengenai laut. Hal ini seiring dengan pidato Presiden terpilih Indonesia, Ir. Joko Widodo, yakni “kita telah lama memunggungi samudera, laut, selat, dan teluk. Maka mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia”. Memang kita semua sudah mafhum bagaimana dulu negara kita ada sangat mashur dan kuat dalam kemaritiman. Pada petikan sebuah lagu saat kita masih dibangku kanak-kanak pun jelas mengatakan “nenek moyangku seorang pelaut”. Jika kita meneroka jauh kebelakang, nenek moyang kita bangsa Indonesia ini adalah seorang pelaut yang memanfaatkan laut sebagai mata pencaharian, untuk berhubungan dengan daerah lain, dan denyut kehidupan multiaspek pun terjadi dengan perantara laut.
Membicarakan mengenai laut tidak sesederhana itu, ada banyak hal yang cukup menarik untuk dikaji kembali. Kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit adalah kerajaan maritim nusantara yang begitu sohor sebelum datangnya koloni dari Barat. Tome Pires, penulis sekaligus bendahara dari Portugis yang menulis catatan pelayarannya berjudul Suma Oriental (Dunia Timur). Buku ini penting untuk mengetahui informasi berharga tentang nusantara pada abad ke-16. Sebuah kutipan dari buku Pires ini secara jelas menggambarkan kebanggaan ketika Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511, yakni “Barangsiapa menguasai Malaka bisa mencekik Venesia. Sejauh Malaka dan dari Malaka ke Cina dan Cina ke Maluku, dan Maluku ke Jawa, dan dari Jawa ke Malaka dan Sumatra, semuanya sudah berada dalam kekuasaan kami”. Pada kutipan tersebut sangat jelas tergambar kebanggaan dan keberhasilan dari Portugis menguasai Malaka. Portugis memahami bahwa jantung perekonomian nusantara waktu itu berada di selat Malaka. Artinya, Portugis bisa menetukan supply dan demand, menguasai sumberdaya alam yang diperdagangkan dan distribusi dari barang tersebut. Sedangkan kata mencekik ini ditafsirkan sebagai persaingan sesama negara “koloni” dari Barat seperti Inggris, Spanyol, Belanda, maupun pedagang dari Timur seperti Persia, Gujarat dan sebagainya.
Jatuhnya Malaka ditangan Portugis membawa dampak yang cukup besar bagi jalur perdagangan di Nusantara. Namun, perubahan itu tidak diartikan sebagai kemunduran dalam maritim di Nusantara. Banten menjadi jalur baru dan kemudian menjadi sangat ramai setelah Malaka. Pesatnya perdagangan dan perekonomian di Banten saat itu, menjadikan pelabuhan Banten sebagai bandar yang ramai dikunjungi pedagang dan pelaut dari nusantara maupun “atas angin”. Meski pada akhirnya Banten jatuh juga ditangan kolonial VOC dan hegemoni Banten dilumpuhkan. Selanjutnya, tidak kalah membanggakan sekaligus menyedihkan, tentang bagaimana kekuatan maritim dari Makasar yang begitu kuat pada akhirnya takhluk juga. Hal ini tidak lain dikarenakan jatuh bangunnya kerajaan maritim di nusantara dan disisi lain kekuasaan dari kolonial yang begitu represif dan tamak tersebut merubah peta sejarah nusantara, dalam hal ini adalah sejarah Indonesia.
Kajian mengenai maritim di Indonesia tidak bisa dilepaskan oleh seorang guru besar bernama A.B Lapian. Bisa dibilang beliau adalah nakhoda sejarawan maritim di Indonesia. Beliau telah meletakan pondasi yang cukup penting dari studi kemaritiman di nusantara. Disertasinya mengenai kawasan laut di Sulawesi pada abad ke-19 ini memberi pengaruh cukup besar bagi penelitian selanjutnya, baik bagi sejarawan maupun yang tertarik pada isu maritim[3]. Bagaimana beliau secara teliti membahas mengenai silang bahari nusantara dan yang melingkupinya, antara seperti pelabuhan, perompakan, pelayaran dan sebagainya. Pelabuhan pada waktu itu bukan hanya sekedar tempat untuk berlabuh, melainkan tempat berkumpul untuk berdagang. Dengan kata lain, pelabuhan merupakan penghubung antara dunia seberang laut dengan daerah pedalaman. Ihwal perompakan malah banyak pakar berpendapat bahwa perompakan tersebut adalah merupakan bentuk kuno dari perdagangan. Sebab, sebelum manusia memperoleh barang kebutuhannya dari luar lewat pertukaran atau perdagangan, pada masa awal mereka cenderung merampas barang yang diperlukannya.
Sedangkan mengenai pengetahuan tentang laut dan pelayaran dimasa lampau dan sekarang, pelayaran merupakan suatu ketrampilan yang dipelajari secara turun temurun dalam tradisi masyarakat bahari atau bahkan diperoleh secara alamiah oleh suasana kelautan tersebut. Namun, bagi pelaut yang berpengalaman, keahlian berlayar lebih merupakan suatu seni yang khusus. Pengetahuan tentang sistem arus dan angin  pada suatu tempat dan waktu tertentu, peredaran bintang di langit untuk dijadikan petunjuk arah saat berlayar, ketrampilan membelokkan atau meluruskan layar pada saat yang tepat, juga pengetahuan geografis dan oseanografis untuk mengenal daerah-daerah yang dilintasi. Menurut A.B Lapian, hanya pelaut tertentu saja yang menghayati keahlian berlayar sebagai suatu seni disamping akal juga memerlukan rasa. Bagi pelaut yang demikian, samudera bukan sekedar suatu bentangan air yang sangat luas,sebab setiap perubahan warna, pola gerak air, bentuk gelombang, jenis burung dan ikan disekelilingnya adalah penunjuk yang khas untuk menentukan arah perjalanan. Berada ditengah laut yang luas sekalipun tidak akan pernah kehilangan  akal karena daya dan rasanya kuat untuk mengambil keputusan dalam keadaan apapun.[4]
 Poros maritim dan juga pidato kebudayaan dari Hilmar Farid ini tidak serta merta dinilai secara politis saja, namun ada tujuan besar dibalik itu, yakni merintis kembali apa yang dulu pernah ada dan jaya. Jika kembali lagi kepada karya A.B Lapian, tentang pelayaran dan perniagaan di nusantara pada abad ke-16 dan 17, ada dua poin penting yang patut diperhitungkan dalam rangka kebijakan pembangunan ke depan. Pertama pengetahuan dan teknologi, kedua adalah masalah teritori wilayah nusantara[5]. Relevansinya dengan masa sekarang adalah, pengetahuan dan teknologi modern ala Barat  menuai keberhasilan dan juga kegagalan. Indikator dari pembangunan model Barat adalah pembangunan harus sejalan lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang berorientasi terhadapa pertumbuhan ekonomi telah mendorong kegiatan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, baik yang terbarukan maupun tidak.[6] Hal ini berdampak pada sumberdaya alam yang dieksploitasi dan lingkungan lokasi tersebut dengan konflik-konflik sosial yang cukup rumit. Marjinalisasi nelayan kecil terjadi karena mereka harus berkompetisi dengan teknologi yang lebih efektif, misalnya penangkapan ikan secara tradisonal dikalahkan dengan model pukat harimau yang lebih efektif dan destruktif.
Mengenai masalah teritorial sendiri juga menjadi perbincangan yang cukup ramai meski sudah dibahas, ditetapkan, dan diakui dalam undang-undang  Internasional mengenai batas-batas kelautan Indonesia. Persengketaan laut dengan ditandai nelayan nelayan asing (Vietnam, Filipina, Malaysia) atau nelayan Indonesia yang dituduh “mencuri” ikan di wilayah teritori negara lain, sampai sekarang seperti permasalahan yang tidak kunjung selesai. Beberapa waktu lalu, kebijakan membakar kapal nelayan asing yang masuk keperairan Indonesia dilakukan sebagai tindakan “tegas” atas hegemoni laut Indonesia. Namun, dengan begitu permasalahan akan selesai begitu saja? Secara historis, orang Bugis sudah terlibat dalam eksplorasi dan ekspolitasi perairan yang sekarang diklaim milik negara tetangga tersebut. Orang Bugis-Makasar sejak abad ke-17 atau bahkan sebelumnya sudah sampai di belahan utara Australia. Bahkan mereka tidak hanya menyambangi wilayah tersebut tetapi juga mengolah hasil tangkapan berupa tripang di daratan utara Australia, tepatnya  di Merege (Teluk Carpentaria) dan Kaju Djawa (Pantai Kimberley)[7]. Maka dari itu, sejarah adalah sumber dan rujukan dalam menyelesaikan sengketa tersebut, supaya didapatkan jawaban yang lebih bijak dan diterima kedua belah pihak.
 Pada akhirnya, sejarah bisa mengungkapkan kembali hal-hal yang pernah kita punya. Hal yang tersembunyi karena perubahan arus zaman yang terus bergerak maju. Namun jika dikaji kembali, peristiwa sejarah tersebut bisa menjadi pelajaran berharga untuk masa kini dan untuk better future. pelaksanaan pembangunan dalam segala aspek, akan lebih bijak dan berhati-hati jika kebijakan diambil dengan menilik kebelakang sebagai pertimbangan. Pidato kebudayaan dari Hilmar Farid sesungguhnya tidak lepas dari keprihatinan hal ihwal maritim yang dulu pernah ada dan jaya. Kenapa kita sekarang seakan “memunggungi” laut? Sebagai seorang sejarawan dan murid dari A.B Lapian, dia mencoba melihat kembali potensi kejayaan negara Indonesia jika sektor maritim diperhatikan dan bukan dipandang sebelah mata. Mengapa pula negara kita seolah lupa lautan dan sadar daratan? Ini merupakan bahasan yang cukup menarik jika membalik arus kebudayaan dari negara Indonesia dengan menatap laut sebagai sektor yang penting. Pidato tersebut membahas cukup detail mengenai magnum opus kemunduran kejayaan maritim nusantara dari laut menjadi masuk ke pedalaman (daratan). Pembahasan dari sudut pandang sejarah dengan dikaitkan kebudayaan, mencoba memberi solusi mengembalikan cara pandang baru tentang proyeksi ke depan. Suara jernih dari Cikini ini patut disimak, direnungkan, dan dipikirkan demi kejayaan Negara kesatuan Republik Indonesia supaya semakin jaya. Jalesveva Jayamahe!














[1] Telaah Awal dari Pidato Kebudayaan Hilmar Farid di TIM

[2] Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra, 2002., hlm. 472.
[3] Lihat Adrian B. Lapian, Orang laut, Bajak laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawes Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.

[4] Tulisan A.B Lapian dalam Taufiq Abdullah, dkk (ed), Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya UI, 1997., hlm.  26-27.

[5] Lihat Adrian. B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

[6] Bondan Kanumoyoso, dkk (ed), Kembara Bahari: Esei Kehormatan 80 Tahun Adrian B. Lapian. Depok: Komunitas Bambu, 2009.,  hlm. 110-111

[7] Adrian B. Lapian, Pelayaran.. hlm. 46-50.

0 komentar:

Posting Komentar