“tak
ada yang lebih sia-sia daripada kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan
kerajaan kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit dan ular
di darat? Burung segan hinggap dan ular pun segan untuk melantai, untuk tempat
bercengkerama pun kerajaan itu tidak aman. Bukankah kalian tahu juga: rawa
kecil hanya menghasilkan ikan kecil? Tapi raja besar dan kuat menguasai tanah
untuk merebut laut. Bila tanah telah dikuasainya, musuh takkan menikam dari
belakang, apalagi dari depan”.
Pidato kebudayaan yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) merupakan puncak dari serangkaian acara untuk memperingati hari ulang
tahun dari Taman Ismail Marzuki (TIM). Pidato ini cukup menarik dikarenakan membahas
dan mencoba menjawab persoalan-persoalan aktual bangsa. Berawal pada tahun 1988
pasca reformasi, DKJ mencoba mengundang tokoh-tokoh nasional dari berbagai
latarbelakang. Sejak tahun tersebut hingga sekarang (1998-2014), pidato
tersebut selalu membahas masalah aktual bangsa dan memberikan solusi atau
hipotesa terhadapnya sesuai dengan zeitgeist (jiwa zaman) yang
melingkupinya. Banyak tokoh yang sudah memberikan kontribusinya, sebut saja
seperti W.S Rendra, Ali Sadikin, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Amien Rais, Umar
Kayam, Syafii Maarif, dan sebagainya. Pada tahun 2014 ini, pidato kebudayaan
dibawakan oleh Hilmar Farid, aktivis sekaligus sejarawan Indonesia.
Pada pidato kebudayaan tahun ini, tema yang dibahas adalah wacana
mengembalikan pada kejayaan lampau mengenai laut. Hal ini seiring dengan pidato
Presiden terpilih Indonesia, Ir. Joko Widodo, yakni “kita telah lama
memunggungi samudera, laut, selat, dan teluk. Maka mulai hari ini, kita
kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan
gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia”. Memang kita semua sudah
mafhum bagaimana dulu negara kita ada sangat mashur dan kuat dalam kemaritiman.
Pada petikan sebuah lagu saat kita masih dibangku kanak-kanak pun jelas
mengatakan “nenek moyangku seorang pelaut”. Jika kita meneroka jauh kebelakang,
nenek moyang kita bangsa Indonesia ini adalah seorang pelaut yang memanfaatkan
laut sebagai mata pencaharian, untuk berhubungan dengan daerah lain, dan denyut
kehidupan multiaspek pun terjadi dengan perantara laut.
Membicarakan mengenai laut tidak sesederhana itu, ada banyak hal
yang cukup menarik untuk dikaji kembali. Kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit
adalah kerajaan maritim nusantara yang begitu sohor sebelum datangnya koloni
dari Barat. Tome Pires, penulis sekaligus bendahara dari Portugis yang menulis
catatan pelayarannya berjudul Suma Oriental (Dunia Timur). Buku ini
penting untuk mengetahui informasi berharga tentang nusantara pada abad ke-16.
Sebuah kutipan dari buku Pires ini secara jelas menggambarkan kebanggaan ketika
Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511, yakni “Barangsiapa menguasai Malaka
bisa mencekik Venesia. Sejauh Malaka dan dari Malaka ke Cina dan Cina ke
Maluku, dan Maluku ke Jawa, dan dari Jawa ke Malaka dan Sumatra, semuanya sudah
berada dalam kekuasaan kami”. Pada kutipan tersebut sangat jelas tergambar
kebanggaan dan keberhasilan dari Portugis menguasai Malaka. Portugis memahami
bahwa jantung perekonomian nusantara waktu itu berada di selat Malaka. Artinya,
Portugis bisa menetukan supply dan demand, menguasai sumberdaya
alam yang diperdagangkan dan distribusi dari barang tersebut. Sedangkan kata
mencekik ini ditafsirkan sebagai persaingan sesama negara “koloni” dari Barat
seperti Inggris, Spanyol, Belanda, maupun pedagang dari Timur seperti Persia,
Gujarat dan sebagainya.
Jatuhnya Malaka ditangan Portugis membawa dampak yang cukup besar
bagi jalur perdagangan di Nusantara. Namun, perubahan itu tidak diartikan sebagai
kemunduran dalam maritim di Nusantara. Banten menjadi jalur baru dan kemudian
menjadi sangat ramai setelah Malaka. Pesatnya perdagangan dan perekonomian di
Banten saat itu, menjadikan pelabuhan Banten sebagai bandar yang ramai
dikunjungi pedagang dan pelaut dari nusantara maupun “atas angin”. Meski pada
akhirnya Banten jatuh juga ditangan kolonial VOC dan hegemoni Banten
dilumpuhkan. Selanjutnya, tidak kalah membanggakan sekaligus menyedihkan,
tentang bagaimana kekuatan maritim dari Makasar yang begitu kuat pada akhirnya
takhluk juga. Hal ini tidak lain dikarenakan jatuh bangunnya kerajaan maritim
di nusantara dan disisi lain kekuasaan dari kolonial yang begitu represif dan
tamak tersebut merubah peta sejarah nusantara, dalam hal ini adalah sejarah
Indonesia.
Kajian mengenai maritim di Indonesia tidak bisa dilepaskan oleh
seorang guru besar bernama A.B Lapian. Bisa dibilang beliau adalah nakhoda
sejarawan maritim di Indonesia. Beliau telah meletakan pondasi yang cukup
penting dari studi kemaritiman di nusantara. Disertasinya mengenai kawasan laut
di Sulawesi pada abad ke-19 ini memberi pengaruh cukup besar bagi penelitian
selanjutnya, baik bagi sejarawan maupun yang tertarik pada isu maritim.
Bagaimana beliau secara teliti membahas mengenai silang bahari nusantara dan
yang melingkupinya, antara seperti pelabuhan, perompakan, pelayaran dan
sebagainya. Pelabuhan pada waktu itu bukan hanya sekedar tempat untuk berlabuh,
melainkan tempat berkumpul untuk berdagang. Dengan kata lain, pelabuhan
merupakan penghubung antara dunia seberang laut dengan daerah pedalaman. Ihwal
perompakan malah banyak pakar berpendapat bahwa perompakan tersebut adalah
merupakan bentuk kuno dari perdagangan. Sebab, sebelum manusia memperoleh
barang kebutuhannya dari luar lewat pertukaran atau perdagangan, pada masa awal
mereka cenderung merampas barang yang diperlukannya.
Sedangkan mengenai pengetahuan tentang laut dan pelayaran dimasa
lampau dan sekarang, pelayaran merupakan suatu ketrampilan yang dipelajari
secara turun temurun dalam tradisi masyarakat bahari atau bahkan diperoleh
secara alamiah oleh suasana kelautan tersebut. Namun, bagi pelaut yang
berpengalaman, keahlian berlayar lebih merupakan suatu seni yang khusus.
Pengetahuan tentang sistem arus dan angin
pada suatu tempat dan waktu tertentu, peredaran bintang di langit untuk
dijadikan petunjuk arah saat berlayar, ketrampilan membelokkan atau meluruskan
layar pada saat yang tepat, juga pengetahuan geografis dan oseanografis untuk
mengenal daerah-daerah yang dilintasi. Menurut A.B Lapian, hanya pelaut
tertentu saja yang menghayati keahlian berlayar sebagai suatu seni disamping
akal juga memerlukan rasa. Bagi pelaut yang demikian, samudera bukan sekedar
suatu bentangan air yang sangat luas,sebab setiap perubahan warna, pola gerak
air, bentuk gelombang, jenis burung dan ikan disekelilingnya adalah penunjuk
yang khas untuk menentukan arah perjalanan. Berada ditengah laut yang luas
sekalipun tidak akan pernah kehilangan
akal karena daya dan rasanya kuat untuk mengambil keputusan dalam
keadaan apapun.
Poros maritim dan juga pidato
kebudayaan dari Hilmar Farid ini tidak serta merta dinilai secara politis saja,
namun ada tujuan besar dibalik itu, yakni merintis kembali apa yang dulu pernah
ada dan jaya. Jika kembali lagi kepada karya A.B Lapian, tentang pelayaran dan
perniagaan di nusantara pada abad ke-16 dan 17, ada dua poin penting yang patut
diperhitungkan dalam rangka kebijakan pembangunan ke depan. Pertama pengetahuan
dan teknologi, kedua adalah masalah teritori wilayah nusantara. Relevansinya
dengan masa sekarang adalah, pengetahuan dan teknologi modern ala Barat menuai keberhasilan dan juga kegagalan.
Indikator dari pembangunan model Barat adalah pembangunan harus sejalan lurus
dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang berorientasi terhadapa pertumbuhan
ekonomi telah mendorong kegiatan eksploitasi sumber daya alam secara
berlebihan, baik yang terbarukan maupun tidak.
Hal ini berdampak pada sumberdaya alam yang dieksploitasi dan lingkungan lokasi
tersebut dengan konflik-konflik sosial yang cukup rumit. Marjinalisasi nelayan
kecil terjadi karena mereka harus berkompetisi dengan teknologi yang lebih
efektif, misalnya penangkapan ikan secara tradisonal dikalahkan dengan model
pukat harimau yang lebih efektif dan destruktif.
Mengenai masalah teritorial sendiri juga menjadi perbincangan yang
cukup ramai meski sudah dibahas, ditetapkan, dan diakui dalam
undang-undang Internasional mengenai
batas-batas kelautan Indonesia. Persengketaan laut dengan ditandai nelayan
nelayan asing (Vietnam, Filipina, Malaysia) atau nelayan Indonesia yang dituduh
“mencuri” ikan di wilayah teritori negara lain, sampai sekarang seperti
permasalahan yang tidak kunjung selesai. Beberapa waktu lalu, kebijakan
membakar kapal nelayan asing yang masuk keperairan Indonesia dilakukan sebagai
tindakan “tegas” atas hegemoni laut Indonesia. Namun, dengan begitu
permasalahan akan selesai begitu saja? Secara historis, orang Bugis sudah
terlibat dalam eksplorasi dan ekspolitasi perairan yang sekarang diklaim milik
negara tetangga tersebut. Orang Bugis-Makasar sejak abad ke-17 atau bahkan
sebelumnya sudah sampai di belahan utara Australia. Bahkan mereka tidak hanya
menyambangi wilayah tersebut tetapi juga mengolah hasil tangkapan berupa
tripang di daratan utara Australia, tepatnya
di Merege (Teluk Carpentaria) dan Kaju Djawa (Pantai Kimberley).
Maka dari itu, sejarah adalah sumber dan rujukan dalam menyelesaikan sengketa
tersebut, supaya didapatkan jawaban yang lebih bijak dan diterima kedua belah
pihak.
Pada akhirnya, sejarah bisa
mengungkapkan kembali hal-hal yang pernah kita punya. Hal yang tersembunyi
karena perubahan arus zaman yang terus bergerak maju. Namun jika dikaji
kembali, peristiwa sejarah tersebut bisa menjadi pelajaran berharga untuk masa
kini dan untuk better future. pelaksanaan pembangunan dalam segala
aspek, akan lebih bijak dan berhati-hati jika kebijakan diambil dengan menilik
kebelakang sebagai pertimbangan. Pidato kebudayaan dari Hilmar Farid
sesungguhnya tidak lepas dari keprihatinan hal ihwal maritim yang dulu pernah
ada dan jaya. Kenapa kita sekarang seakan “memunggungi” laut? Sebagai seorang
sejarawan dan murid dari A.B Lapian, dia mencoba melihat kembali potensi
kejayaan negara Indonesia jika sektor maritim diperhatikan dan bukan dipandang
sebelah mata. Mengapa pula negara kita seolah lupa lautan dan sadar daratan?
Ini merupakan bahasan yang cukup menarik jika membalik arus kebudayaan dari
negara Indonesia dengan menatap laut sebagai sektor yang penting. Pidato
tersebut membahas cukup detail mengenai magnum opus kemunduran
kejayaan maritim nusantara dari laut menjadi masuk ke pedalaman (daratan).
Pembahasan dari sudut pandang sejarah dengan dikaitkan kebudayaan, mencoba memberi
solusi mengembalikan cara pandang baru tentang proyeksi ke depan. Suara jernih
dari Cikini ini patut disimak, direnungkan, dan dipikirkan demi kejayaan Negara
kesatuan Republik Indonesia supaya semakin jaya. Jalesveva Jayamahe!