Sudah beberapa hari berada di Depok,
Jawa Barat, ada beberapa hal baru yang saya alami. Di sini kata “saya” lebih
banyak digunakan dari pada “aku”(biar terkesan formalistik shit). Satu hal yang
masih sampa detik ini dirasakan adalah “blank”. Pelik memang, di daerah
perantauan kita harus survive entah apapun bentuknya. Mulai mengeja dari
satu tempat ke tempat yang lain. Asyik memang, kesan seperti backpacker an tapi
bukan. Mungkin beberapa tahun ke depan akan mencoba menetap di sini, mencecap
betapa ramainya Depok. Secara geografis, depok berada di dekat Jakarta dan
Bogor. Dekat dengan kota besar dan metropolis berdampak pada daerah sekitar.
Ramainya, padatnya, dan mahalnya biaya hidup di sini, saya baru merasakan
bagaimana rasanya merantau.
Kita semua tahu, Yogyakarta adalah
kota yang ‘ramah’, kota pendidikan katanya. Bakunya, Yogyakarta adalah magnum
opus dan di sana saya merasakan nyaman. Mulai menginjak Depok, saya merasakan
hampir tidak jauh dengan suasana Jakarta,
padat, crowded. Ini masih pandangan awal seorang perantau akan
daerah domisili barunya. Rasa-rasa perbandingan dengan daerah asal masih kuat
terasa. Hal ini tak lepas karena saya hampir seperempat abad ini belum pernah
mengalami perantauan, jika pun itu jauh paling hanya vakansi.
Ramainya kota Depok mungkin
didominasi oleh orang perantauan di Jakarta yang bertempat tinggal di sini
selain penduduk asli. Ditambah lagi dengan adanya kampus UI menambah mesranya
kota Depok. Beberapa kali masuk di daerah Kampus UI di Depok rasanya besar
sekali. Pasalnya saya hanya jalan kaki mengitari seperempat kampus yang memang
sangat besar dan asri. Jika di bandingkan dengan kampus yang ada dijogja,
mungkin di UI masih banyak daerah hijau dengan pepohonan yang cukup
besar-besar. Meski di Jogja juga banyak kampus yang memiliki lahan hijau, namun
beberapa sudah dibabat dan ditanami dengan beton-beton yang menjulang ke
langit. Entahlah, itu mungkin penilaian saya yang subyektif.
Jika kita berbicara kenyamanan antara
Jogja dan Depok, itu relatif. Sudut pandang kenyamanan yang mana yang akan
dituju. Saya mengamati, transportasi publik di Depok-Jakarta sudah lumayan
bagus dibanding dengan transportasi publik yang ada di Jogja. Jika ditanya
masalah fasilitas yang lain, saya juga belum faham, belum adanya transportasi
pribadi membuat saya belum bisa ‘klayapan’ ke kota Depok dan sekitarnya.
Jadi sudut pandang perbandingan ini masih berada dalam tataran yang sangat
sempit sekali. Di sini saya harus pandai-pandai menemukan rasa nyaman itu
sendiri, entah bagaimana caranya. Tapi,
senyaman-nyaman tempat adalah kampung halaman kita sendiri.
Menginjak daerah Jawa Barat, saya dan
teman-teman sekalian yang dari daerah Jawa Tengah ke timur harus siap di
panggil ‘Jawa’. Jika ada orang yang bertanya “asalnya dari mana mas?, dari
Jogja?”. “Oh.. dari Jawa. Entah asal muasalnya dari mana kurang faham. Mungkin
itu gegara penyerangan yang dilakukan oleh Mahapatih Gajah Mada terhadap
rombongan Maharaja Linggabuana. Sebelumnya, Hayam Wuruk raja dari Majapahit
ingin memperistri anak dari Raja Sunda, Dyah Pitaloka, untuk mempererat
hubungan dan memperkuat politik. Namun apa daya, ambisi dan perbedaan pendapat
antara Gajah Mada dan Hayam Wuruk berimbas pada diluluhlantahkannya rombongan
raja, permaisuri beserta anak perempuannya.
Mungkin ini logis juga, pasca
pertistiwa itu anak satu-satunya Raja yang masih tersisa (Prabu Siliwangi)
menerapkan semacam politik isolasi. Memutuskan hubungan dengan Majapahit dan
melarang warganya “larangan estri ti luaran” semacam tidak boleh menikah
dengan orang Majapahit. Nah, pada masa kontemporer ini pun jika kita vakansi
atau lewat di beberapa daerah Jawa Barat, kita tidak pernah akan menemukan nama
jalan, atau nama tempat, universitas etc, yang berhubungan dengan Majapahit
atau ‘Jawa’. Begitu juga sebaliknya. Meski sudah bhineka tunggal ika,
tradisi ini terus dilestarikan, terutama penyebutan orang timur dengan Jawa.
Beberapa kali saya bercakap dan berkenalan dengan banyak orang pasti menyebut
daerah saya dengan “Jawa”. Meski secara geografis, pulau yang kita tinggal ini
adalah pulau Jawa. Ah, ambisi dan perselisihan Gajah Mada menua dan menurun
sampai detik ini. Sebenarnya bukan apa-apa, hanya lucu saja.
Sebagai orang yang masih merah
tentang perantauan, maka saya harus membiasakan diri dengan lingkungan dan
adat-istiadat sekitar. Kita harus hati-hati dengan ini, pasalnya beberapa hari
yang lalu di Jogja terjadi sebuah tragedi. Ya, menurut saya itu tragedi. Kasus
seorang perantauan yang mencaci maki kota Jogja dalam sebuah jejaring sosial
dan menuai kritikan, bully, dan berujung penahanan mungkin. (sampai
detik ini kasus masih dalam proses). Sebagai orang Jogja saya memang emosi
membaca statment beliau, tapi bagian dari masyarakat Jogja saya memaafkan,
meskipun dari sebagian itu tidak terima dan mempermasalahkan. Tuhan saja Maha
Pemaaf. Kita ambil hikmah saja dari pelajaran tersebut, bahwasanya kita harus
lebih berhati-hati dalam berperilaku. Itu saja. Pepatah mengakatan ‘di mana
bumi dipijak, di situ langit dijinjing. Jikalau pun kita tidak suka dan emosi
sekalipun, kita curahkan emosi ditulis dalam tulisan pribadi. Biar dikata tidak
up to date, mencari selamat lebih utama daripada sekarat. Media sosial memang
kejam dibandingkan dengan perasaan kita yang bertepuk sebelah tangan terhadap
seseorang. Apalah, Absurd!
Maka dari itu, tips merantau saya
belum ada karena masih baru. Tapi tips yang paling ampuh mungkin mulai
memanajemen diri, waktu, dana, dan cinta. Oia lupa, saya pernah membaca sebuah
buku dan ada potongan nasihat dari Imam Syafii tentang merantau yang sempat
saya tulis ulang ke dalam catatan. Kurang lebih seperti ini ; “Orang berilmu
dan beradab tak kan diam di kampung halaman. Tinggalkanlah negerimu dan
merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti dari
kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah
berjuang. Aku melihat air menjadi keruh karena diam tertahan. Jika mengalir
menjadi jernih, jika tidak akan keruh menggenang. Singa jika tidak tinggalkan
sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena
sasaran. Biji emas bagaikan tanah sebelum digali dari tambang. Kayu gaharu tak
ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan”. Jika kita cermati ada benarnya
juga, tapi tidak masalah. Rezeki, Jodoh, dan Mati itu ada ditangan Tuhan. Kita
hanya mengusahakan yang terbaik. Jadi merantau atau tidak merantau menurut saya
adalah pilihan. Tabik!
Entah ini substaninya apa saya juga
bingung, yang jelas supaya blog saya ini kembali makmur dengan tulisan yang
terkesan absrud-absurd ini. Hahahahah
Depok, 1 September 2014
01:27 Ante Meridiem (AM)
Dini Hari
Hasby Marwahid