“Belajar adalah rekreasi terbesar dalam hidupku”
Sebuah
potongan kata indikasi tujuan bagi para pelajar yakni belajar. Pelajar dan
belajar menjadi satu rangkaian yang “harusnya” tidak dapat dipisahkan. Belajar
mempunyai makna yang cukup luas, bukan hanya sekedar tentang mengerjakan
pekerjaan rumah (PR), menuntut ilmu dengan rutinitas sekolah, berorganisasi, membaca
buku dan sebagainya, akan tetapi merujuk kepada yang lebih dalam, belajar
memaknai hidup. Jika hal tersebut tidak di pikirkan secara filsafati, mungkin
bisa menjadi bias dan kehilangan makna. Mencoba mengartikulasikan makna pelajar
yang sebenarnya dengan segala dinamikanya yang semakin hari menguap
terdegradasi seiring berlalunya jaman.
Beberapa
waktu lalu, sebuah berita di media cetak dan media elektronik marak
membicarakan tentang kelakuan miring para pelajar, salah satunya di sebuah kota
di Jawa Timur, Situbondo. Sungguh ironis, pelajar yang harusnya melakuakan
aktifitas sebagaimana mestinya pelajar, membuat dunia membelalak, khususnya
citra pendidikan Indonesia sedikit tercoreng. Pasalnya, dinamika yang terjadi
dikalangan pelajar kini sudah menjadi semakin kompleks dengan permasalahan yang
mengitarinya. Hal itu setidaknya menunjukkan bahwa, dengan kemajuan zaman dan
globalisasi yang terus menyeruak, membuat kita perlu berfikir ulang untuk
mencoba mengerti para pelajar. Zaman mereka berbeda dengan zaman di mana kita
dulu pernah duduk di bangku sekolah.
Sebuah
contoh singkat tersebut nampaknya perlu diikuti dengan fenomena yang lebih
pelik lagi. Beberapa adegan kekerasan seperti tawuran juga sering mewarnai
pemberitaan di media cetak dan elektronik. Hal itu tidak hanya terjadi di
kota-kota besar seperti Jakarta, namun sudah merambah di kota-kota lain, di
sekolah desa dan sebagainya. Belum lagi dengan persoalan-persoalan yang sering
menjerat remaja, khususnya para pelajar yang lainnya. Hal tersebut berkisar dari
persoalan narkoba, pergaulan bebas, sampai tindakan aborsi yang dikutuk atas
dasar kemanusiaan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut seperti sudah menjadi hal
yang “wajar dalam ketidakwajaran”. Khalayak umum sering menilai dengan mata
pandang demikian, dengan motif, pelajar
rerata adalah anak baru gede (ABG), dan masih labih dalam hal pemikiran dan
emosional. Mereka sering terombang-ambing mencari jati diti hidup, melawan,
dilawan, memberontak norma-norma dengan segala penyimpangan yang dilakukan.
Kondisi
tersebut harusnya mendapat penanganan yang cukup serius oleh berbagai pihak,
terutama gerak sinergis dari keluarga, sekolah, dan pemerintah. Pertama, adalah
keluarga karena keluarga adalah tempat pertama kali pembentukan karakter yang
sangat menetukan untuk hari depan remaja. Pasalnya, pendidikan dalam keluarga
terutama dari orang tua sangat membantu anak untuk mendapatkan kepribadiannya.
Dengan pembinaan moral yang serius dan matang, tentu anak akan siap menghadapi
gejolak di luar lingkungan rumah. Maka benteng pertama kali yang harus kokoh
adalah keluarga.
Kedua,
lingkungan sekolah menjadi tempat di mana anak mulai mengenal komplektifitas
dalam lingkungan barunya. Pendidikan dan sistem sekolah yang baik akan sangat
membantu membentuk karakternya, terlebih, guru sebagai orang tua kedua siswa
harus dapat memberikan suntikan kebaikan dengan contoh dan nasihat-nasihatnya. selanjutnya,
memperhatikan pergaulan dengan lingkungan masyarakatnya, karena lingkungan
pergaulan sangat mempengaruhi dengan berbagai perubahan yang terjadi. Ketiga,
adalah peran serta pemerintah dalam memperhatikan pendidikan para penerus bangsa
tersebut. Fenomena yang semakin komplek tersebut harus mendapat sorotan tajam
dan solutif dengan berbagai kebijakannya, semisal menegakkan hukum dengan tegas
sehingga akan dapat menimbulkan efek jera kepada para pelanggar. Mengadakan
penyuluhan tentang bahaya pergaulan bebas, narkoba, dan tentang hukum-hukum
negara.
Terlepas dari
hal tersebut, longgarnya pegangan terhadap agama yang lemah dapat menjadikan
faktor kuat penyebab penyimpangan yang hampir terus terdegrasai masa. Budaya
materialistic, hedonism, konsumerisme dan sebagainya akibat dari momok bernama
globalisasi dari sisi negatifnya terus mengendorkan tiang agama. Agama menjadi
semacam syarat mutlak, karena agama memberikan sentuhan-sentuhan kedamaian
dalam kehidupan pribadi, dan bermasyarakat. Bekal agama yang kuat merupakan
semacam pondasi utama yang kokoh dalam mengarungi kehidupan yang tidak dapat
diterka-terka perubahan dan perhentiannya. Nabi Muhammad saw pernah bersabda ““Sesungguhnya Aku (Muhammad) diutus untuk
menyempurnakan akhlak” (HR. Bukhari). Pelajar atau remaja yang berakhlak
terpuji menjadi modal, karena mereka adalah generasi penerus cita-cita
kepahlawanan. Membangun bangsa yang adil berkemakmuran, dan makmur berkeadilan.
Hasby Marwahid
Sabtu,
02 Februari 2013
Munggur,
Srimartani, Piyungan, Bantul, Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar