Kalau engkau hendak mencari pemimpin sejati ikhlas lahir batin,
perhatikanlah dahulu dapur rumahnya dan cara hidupnya sebelum memperhatikan dia
penuh dari segi-segi lainnya. Jika engkau lihat dapurnya penuh santapan yang
enak dan cara hidupnya yang mewah, hentikanlah penyelidikanmu karena sudah
jelas dia bukan pemimpin sejati. Sebab pemimpin sejati tidak mungkin suka hidup
mewah. Banyak pemimpin yang mengatakan bahwa kemegahan dan kemewahan itu perlu
untuk menjaga standing bangsa dan negara kita di mata dunia
internasional, tetapi perkataan itu adalah alasan yang dibuat-buat, sebab di
rumah tangga yang terpisah dari dunia internasional mereka suka mewah dan megah
juga.
Jarang orang berani hidup melarat ketika kesempatan baginya menjadi kaya
baik secara hala ataupun tidak halal, yang berani hanyalah pemimpin sejati dan
muklis serta orang-orang shaleh karena mereka rela melepaskan keduniaan
tersebut asal dapat bekerja dan berjuang untuk keselamatan dan kebahagiaan
umat. Tidak kurang pemimpin yang dahulu dapat disebut muklis tetapi setelah
terbuka kesempatan untuk mewah maka diambilah kesempatan tersebut dan terus
juga mereka menjadi pemimpin, tetapi keikhlasan mereka telah hilang, apalagi
jika kesempatan itu tidak halal. Ketahuilah ukuran pemimpin tidak ditentukan oleh
lamanya dia berjuang, tetapi oleh keikhlasan dan kebijaksanaannya serta
keberaniannya memikul tanggung jawab.[1]
Ki Bagus adalah ulama yang memiliki cita-cita, yakni memperjuangkan
Islam yang menjadi keyakinanya. Baginya segala pembicaraan jika telah sampai
menyentuh pada masalah keyakinan maka dia tidak akan mundur. Terlepas dari hal
tersebut, Ki Bagus adalah seorang ayah, pemimpin, ulama, sekaligus guru yang
berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan perintah agamanya. Ki Bagus hanyalah
manusia biasa yang selalu berusaha konsekuen dengan apa yang diyakininya.
Keyakinan itu adalah mempertahankan kebenaran, keadilan dan ketauhidan.
Bagaimana dengan keadaan sekarang? Pemimpin bangsa ini yang jauh dari kesederhanaan. Bergelimang kekayaan tapi nir-amanah. Selain itu, sedikit prestasi yang dihasilkan dan terlihat seperti stagnan. Selebihnya, Mari kita tafsirkan sendiri-sendiri.
[1]
Lihat dalam Ki Bagus Hadikusumo, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin, (Jogjakarta: Pustaka
Rahaju, Jogjakarta, t.t), hal 30-31.
*Cuplikan Tugas*
pernah saya membaca litertatur, rasulullas SAW dalam wasiatnya pada abu bakar, beliau berkata bahwa yang paling merisaukan beliau setelah wafatnya ialah bukan umatnya yang akan kembali menyembah banyak Tuhan-tuhan yanga lain, tetapi jika umatnya lebih mementingkan dunia daripada kehidupan yang kekal nanti di akhirat
BalasHapus