“Kita tidak selalu bisa membangun masa depan bagi generasi muda,
tapi kita bisa membangun generasi muda untuk masa depan.
( Franklin D Roosevelt)”.
( Franklin D Roosevelt)”.
Pendidikan
di Indonesia rupa-rupanya cukup untuk menguras kantong. Pasalnya, setiap
jenjang sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai bangku perkuliahan jauh
dari kata “murah”. Nampaknya pendidikan yang diejawantahkan dan diwadahi dengan
“sekolah” sudah semakin berat dan kurang terjangkau lagi oleh kaum akar rumput.
Para orang tua merasa kewalahan dengan system anggaran yang diterapkan oleh
pihak pengelola pendidikan.
Beberapa
tahun lalu, terdapat iklan ditelevisi yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan
tentang sekolah gratis. Menggunakan setting di dalam angkot dan bahasa melayu. Percakapan
antara sopir angkot dan para penumpangnya. Beberapa potong percakapannya kurang
lebih seperti ini;
Sopir :
” hah...! Wajib
belajar, cari setoran aja sampe ngos-ngosan.”
Penumpang
: ”loh .., pak! Sekarang kan sekolah udah
digratisin.(dengan nada melayu)”.
Sopir
angkot : ” Iya, gratis! Paling-paling juga kayak bapaknya, supir angkot.”
Penumpang
: ” Kalo ada kemauan, Biar bapaknya supir angkot anaknya
bisa jadi pilot. .(dengan nada melayu lagi)”.
(Setelah itu ibu yang juga penumpang angkot melihat diluar kaca mobil ada seorang ibu naik becak
dengan membawa banyak sayur mayur bersama anaknya yang memakai seragam SD .)
Penumpang
: ”Aaaah!..Lihat, Biar ibunya tukang sayur anaknya bisa
jadi insinyur. .(dengan nada melayu)”
(Penumpang yang duduk di samping supir melihat tukang loper
koran bersama anaknya yang berseragam SD .)
Penumpang
: ”Biar babaknya loper koran anaknya bisa jadi wartawan
asalkan ada kemauan memanfaatkan sekolah gratis ni..!”. Karena perkataan sang
ibu supir menjadi termenung
memikirkan perkataan penumpangnnya tersebut.
(..dan supir termenung)
Penumpang : ” jadi gimana
pak? Mau anaknya tetap
seperti bapaknya?”, seraya membujuk pak sopir untuk
menyekolahkan anaknya.
Ending..... ” Sekolah harus bisa!., Maukah? (dengan
nada melayu)”
Begitulah
kira-kira gambaran percakapan iklan tersebut. Nada profokatif dan sangat
menarik. Nilai plus yang dapat dicerna adalah pentingnya pendidikan.
Tujuan pendidikan secara formal
Secara umum, tujuan dari pendidikan adalah proses ”humanisasi”, yakni
memanusiakan manusia. Artinya bahwa pendidikan merupakan jalan menuju
terbentuknya manusia untuk dapat menemukan hakikat manusia itu sendiri. Pendidikan
mempunyai peranan penyadaran manusia untuk mengerti, mengenal realitas
kehidupan yang ada. Melalui pendidikan juga, diharapkan manusia mampu menyadari
akan potensi yang ada di dalam dirinya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai
makhluk yang paling sempurna. Perbedaan dengan makhluk lain adalah tidak
terkecuali terletak pada akal. Manusia dimodali akal oleh Tuhan untuk berfikir
yang akhirnya dengan proses tersebut manusia akan menemukan eksistensinya
sebagai makhluk yang sempurna.
Akan sangat mudah manusia menerima pendidikan karena punya akal. Maka dari
itu, otak yang terus diasah dengan berbagai ilmu tersebut akan menjadi tajam. Sehingga
kata ”bodoh” dapat dikikis salah satunya dengan pendidikan. Sedikit uraian
tentang pentingnya pendidikan tersebut, dapat diambil benang merahnya
bahwasanya pendidikan itu sangatlah penting. Tidak terkecuali pendidikan
formal, yakni bangku sekolahan yang juga sebagai sarana pencarian dan
pembentukan eksistensi diri. Pendidikan merupakan
salah satu pilar dari kemajuan sebuah bangsa. Melalui pendidikan yang kuat,
maka akan terbentuk masyarakat yang cerdas dan kritis pula.
Sekolah Mahal
Jika ditilik dari segi kualitas dan harganya, sekolah-sekolah maupun
bangku perkuliahan mempunyai grade masing-masing. Orang jawa sering
bilang ”ono rego, ono rupo”. Maksudnya,
jika ada biaya yang cukup maka akan dapat menikmati fasilitas yang memadai
pula. Hal tersebut dikandung maksud, kita dapat menikmati sekolah bagus nan
berkualitas dengan biaya yang ”bagus” juga. Tidak ada bedanya, sekolahan negeri
maupun swasta rata-rata sudah mengarah pada sekolahan elit. Sekolah mentereng itu selain persaingan yang
ketat, identik dengan sekolah elit yang biaya yang ditangguhkannya pun tidak
tanggung-tanggung (mahal-red). Hal itu sudah bukan rahasia khalayak umum lagi,
baik tingkat perkotaan maupun perdesaan. Semua orang sudah paham dan
meng-amin-inya.
Sebuah cerita sarat fakta, di desa yang notabene berpenduduk dengan penghasilan
menengah kebawah dalah hal pendapatannya, rata-rata orang tua kebingungan
dengan mencarikan sekolah anak-anaknya pada saat tahun ajaran baru dibuka. Jika
dilihat dari perolehan nilai Ujian Nasional (UN) dan hasil rapor, anak tersebut
sangat-sangat pantas untuk duduk di bangku sekolah favorit tersebut. Namun sekolah
yang selau dan selalu memperbaiki diri dengan kualitas pasti sedikit demi
sedikit bermetamorfosis menjadi RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf/ ’Bertarif’
International) dan SSN (Sekolah Standar Nasional). Perubahan tersebut tentunya
membawa dampak, positifnya prestis dari sekolah tersebut naik dan mutu dari
sekolah terus ditingkatkan. Sedangkan dampak lain yang menyertainya adalah
biaya yang dimintakan pun ikut naik pangkat. Lalu dimanakah para orang tua yang
pas-pasan ekonominya menyekolahkan
anak-anaknya? Ada yang rela bekerja lebih keras untuk ke sekolah favorit, dan
ada juga yang rela atau terpaksa melepaskan anaknya di sekolah pinggiran.
Sangat miris sekali satu gambaran dari sekian banyak puluhan, ribuan
bahkan jutaan contoh tentang biaya pendidikan yang terus melejit. Sekolah-sekolah
elit dan berkualitas hanya mampu dinikmati oleh para orang berpunya (kaya-red),
sedangkan orang biasa harus rela dan lapang dada mengalah karena situasi yang
belum memungkinkan. Padahal dari segi intelektual tidak kalah cerdasnya dan hanya
nasib yang membedakannya. Adapun beasiswa yang diberikan oleh pemerintah atau
instansi swasta lainya, namu hal itu belum mencukupi. Kita belum tahu tentang
kapan ada pendidikan murah dan berkualitas di negeri ini? Pendidikan gratis
atau murah hanya ada di sekolah-sekolah pinggiran yang haus murid, sedangkan di
sekolah elit kata murah itu jauh dari percakapan.
Sebuah kritik (belum) solusi
Kebanyakan orang nampaknya sudah sariawan membicarakan masalah
pendidikan yang relatif murah. Apakah ini karena otak orang-orang indonesia
sudah terkontaminasi sistem kapitalisme? Sehingga biaya pendidikan pun ikut
dikomersilkan. Semuanya mencari keuntungan pribadi maupun kelompok. Tidak ada
komitmen untuk memajukan para generasi penerus bangsa, kalau pun ada itu pun
bisa kita hitung dengan jari. Pemerintah pun belum dapat menjawab argumen,
mengapa biaya pendidikan mahal. Anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah diambil
dari APBN sebesar 20% hanya menjadi jargon politik semata. Praktiknya hanya
beberapa persen saja yang keluar dan sisanya entah tak tentu kemana rimbanya. Pemerintah
pusat hanya bertanggung jawab tentang pembiayaan pendidikan (education funding) dan pemerintah daerah
atau kota memiliki otonomi. Hal ini yang membuat terjadinya ketimpangan kualitas
pendidikan antar daerah.
Alokasi anggaran pendidikan di Indonesia yang hanya 20% nampaknya
berbanding jauh dengan negara-negara seperti Malaysia sebesar 26% dari APBN,
Australia 46%, Singapura 32%, dan Amerika Serikat 68%. Namun jika anggaran 20%
bukan hanya cuma jargon politik saja, maka mungkin akan cukup untuk kemajuan
pendidikan di Indonesia. Pemerintah dan DPR harus lebih serius menangani
persoalan pendidikan, karena pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Di beberapa
negara lain, pendidikan merupakan sarana investasi untuk membangun sumber daya
manusia (SDM) demi pembangunan ekonomi bangsanya.
Sesuai dengan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2011, sekolah tingkat SD dan SMP
dilarang melakukan pungutan karena sudah ada dana BOS (Biaya Operasional
Sekolah). Kenyataannya, sekolah berlabel RSBI melakukan pungutan untuk
mengatasi kekurangan biaya sekolah. Belum lama disebuah portal berita online,
mengabarkan tentang demo yang dilakukan para buruh pabrik di Gresik kepada
Bupati tentang mahalnya pendidikan. Mereka menuntut pendidikan gratis
betul-betul dilaksanakan, tidak hanya sekadar slogan. Beberapa daerah lain juga
bergolak tentu saja tentang diskriminasi pendidikan. Belum lagi tentang biaya yang
seharusnya digunakan untuk kemaslahatan pendidikan dan untuk mencerdaskan anak
didik pun dikorupsi.
Gedung-gedung pemerintahan,
kantor-kantor pemerintahan terus menerus dibangun megahnya. Tujuannya untuk
kenyamanan para pejabat public dalam mengurusi Negara ini. Sedangkan di
beberapa daerah, bangunan sekolah kondisinya pun sudah tidak layak pakai. Di atas
sana (pemerintahan) sibuk dengan permasalahan laten dan pelik, yakni bagaimana
memperkaya diri maupun kelompok dengan bertindak culas (korup), sedang di bawah
sana para akar rumput berjuang membanting tulang demi terus berlangsungnya
proses pendidikan formal anak-anaknya. Kadang untuk makan pun masih
kebingungan. Ada apa ini? Berbanding terbalik dan sangat menyimpang.
Dampak yang ditimbulkan.
Biaya pendidikan yang selangit
membuat banyak orang di negeri ini tidak mampu mengenyam atau merasakan bangku
sekolahan. Factor penyebabnya antara lain adalah factor ekonomi dan kesadaran
akan pentingnya pendidikan. Jika masalah kesadaran, hal tersebut dapat
disadarkan dalam proses berjalannya. Akan tetapi jika sudah sampai pada factor ekonomi,
permasalahannya menjadi pelik lagi. Banyak anak yang belajar “mentok” sampai tingkat Sekolah Dasar (SD)
saja. Program wajib belajar 9 tahun yang dulu digalakkan oleh pemerintah
tampaknya sudah usang. Kesadaran pentingnya pendidikan tinggi, tapi biaya
pemenuh kebutuhan yang terbatas. Program pendidikan gratis seperti yang ada
dalam iklan di atas tampaknya belum terealisasi sepenuhnya. Sekolah gratis
hanyalah menjadi slogan, slogan dan slogan saja.
Rendahnya pendidikan yang hanya
sampai pada tingkat SD membuat mereka
tergusur dari kancah persaingan kerja. Mereka melakukan apapun asal itu
mendatangkan uang. Hingga akhirnya bermacam cara pun dilakukan, seperti menjadi
pembantu rumah tangga di luar negeri. Tidak asing lagi kita dengar tentang
penyiksaan yang dialami oleh para PRT pengadu nasib ke luar negeri, dari
kondisi cacat sampai meninggal dunia. Masalahnya mereka tidak terbekali dengan
pendidikan yang cukup. Selain itu, biaya sekolah yang mahal membuat meretas
jalan pintas, sebagai pengamen, tukang Koran, bahkan sampai pencopet. Mereka berbuat
seperti itu karena keadaan yang tidak bisa ditolak dan kebanyakan tidak peduli.
Andaikata mereka sekolah juga tetap terkena beban biaya yang berat. Betapa buruknya
pendidikan negeri ini yang system dan biayanya tidak membumi.
Salah satu penyebab dari
kriminalitas yakni banyaknya pengangguran karena sulitnya lapangan pekerjaan. Pengangguran
tersebut merupakan embrio dari rendah atau mahalnya pendidikan. Bahkan pendidikan
yang terjangkau maupun tidak pun juga memasok pengangguran-pengangguran baru
yang tiap tahun terus bertambah. Akan tetapi dengan modal pendidikan yang cukup
setidaknya “mungkin” akan menghasilkan pekerjaan-pekerjaan baru atau semangat
berwirausaha. Kita boleh bermimpi dan berandai-andai, tentang pendidikan
berkualitas dan terjangkau, lapangan pekerjaan luas, system birokrasi yang kuat
jauh dari korupsi, ekonomi berdikari yang kokoh, tercetak dari output
pendidikan di Indonesia yang menghasilkan SDM berkualitas. Tidak ada sesuatu
yang tidak mungkin di dunia ini. Namun jika tidak ada perubahan yang
fundamental, maka hal tersebut menjadi utopis.
Seorang professor pernah berkata,”sekolahlah
dimanapun, bekerjalan dimanapun, jika dasar orang itu sudah terbentuk karena tekad
dan semangat (fight) dari orang
tersebut, maka pasti akan sukses. Pada dasarnya sekolah dimanapun hasilnya akan
sama saja, semua tergantung yang menjalaninya, ingin maju atau malah ingin
terpukul mundur. Semua itu pilihan”.
Munggur, 11 Juli 2012
02:35 A.M
Hasby Marwahid
0 komentar:
Posting Komentar