Semua orang berpikir untuk mengubah dunia.. Tapi tak satupun berpikir
untuk merubah dirinya sendiri... Leo
Tolstoy (1828-1910)
Akhir-akhir ini banyak demonstrasi
yang terjadi di negeri ini, Indonesia. Hal ini dikarenakan kebijakan baru dari
pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Tidak bisa dipungkiri
sebuah kebijkan pasti akan menuai pro maupun kontra dari kalangan masyarakat.
Kenaikan harga bbm pasti akan berimbas dengan kenaikan harga-harga, tak
terkecuali harga sembako. Jika dilihat dari pusaran global, harga minyak dunia
yang tiap tahun pasti naik membuat pemerintah harus menyesuaikan harga guna
menghindari deficit. Masyarakat pun dibuat resah dengan hal tersebut,
akan tetapi pemerintah kali ini menawarkan solusi, yakni bantuan langsung tunai
sementara (blts). Secara kasat mata, kebijakan ini seperti memberi ikan kepada
pemancing, bukan memberi kailnya untuk mencari ikan. Maksudnya, masyarakat
kecil atau wong cilik diberikan subsidi untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Bantuan tersebut sejumlah 100-200 ribu kepada setiap kepala
keluarga yang masuk kategori tidak mampu (miskin). Tanggapan dari berbagai
pihak pun muncul, mulai dari pengamat kebijakan dan para akademisi. Mereka
menganggap hal ini akan berdampak buruk, yakni ketergantungan masyarakat kepada
bantuan tersebut. Menurut saya, alangkah bijaknya pemerintah untuk membuka dan
mempermudah terhadap akses masyarakat untuk dapat semudah-mudahnya mendapatkan
lapangan pekerjaan. Ini yang menjadi kendala, sulitnya lapangan pekerjaan
menambah daftar tragis dari penderitaan rakyat. Pemerintah harus memfasilitasi
hal ini. Jika tidak maka angka pengangguran yang ada dinegeri ini akan semakin
naik dan terus naik. Padahal kita tahu bahwasannya pengangguran imbas dari
sulitnya lapangan pekerjaan akan berdampak buruk terhadap kondisi social dan politik
dimasyarakat. Seperti kriminalitas tentu menjadi buntut dari hal tersebut.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
kaya akan sumber daya alamnya. Jika mengutip dari salah satu bait lagunya Koes
Plus pun “bukan lautan tapi kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu”.
Ironis sekali melihat carut marutnya pengurusnya negeri ini dalam segala aspek.
Bahkan ada yang menyebutkan negeri ini salah urus. Tapi apakah yang salah urus?
Aspek mana? Sejauh mana salah urusnya? Tentu hal ini menjadi pekerjaan rumah
yang besar bagi kita semua, yaitu pemerintah,masyarakat dan stake holder
lainya. Negeri yang kaya tentu dapat mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Coba
kita tengok bangsa Jepang,bagaimana jepang berkembang menjadi macan asia.
Dahulu Barat mencemooh bangsa berwarna, termasuk asia. Tetapi tekad jepang
untuk maju ternyata mengalahkan asumsi
tanpa dasar tersebut. Masarakat
jepang adalah masayarakat yang ingin maju, melihat dari keuletan dan kerja
keras yang dimiliki bangsa tersebut. Walaupun sumber dayanya hanya minim, akan
tetapi kemauan dari masyarakat jepang ternyata mengubah segalanya.
Mari kita kembali lagi ke permasalahan
di Indonesia. Menurut saya, mengutip pernyataan Amien Rais, bangsa ini adalah
bangsa inlander. inlander adalah perasaan rendah diri. Menyakitkan
sekali statement ini tampaknya. Tapi apa boleh dikata kenyataan memang
berkata demikian. Mari kita cermati tentang permasalahan sepeerti BUMN, seperti
pertamina, PLN, dan lain sebagainya. Kita tahu bahwa perusahaan milik Negara
itu untuk mensejahterakan bangsa, dan juga masyarakatnya. Pembangunan,
pendidikan dapat berjalan lancer dengan adanya surplus dari pendapatan
tersebut. Namun ternyata BUMN ini sekarang terjajah, artinya hamper seluruh
saham dimiliki oleh asing, bukan Negara. Kasus freepot, sebuah perusahaan
bergelimang emas, berapa persen yang kita dapat dari hasil tersebut. Kontak
kerja kepemilikan freepot ternyata diperpanjang lagi. Selain itu permasalahan
lebih pelik lagi dengan adanya korupsi yang melanda negeri ini. Korupsi
sekarang bak cendawan di musim hujan, tumbuh dan berkembang dimana-mana dan
susah diberantas. Uang yag seharusnya dapat untuk kesejahteraan Negara ternyata
berpindah untuk kesejahteraan pribadi, yakni korupptor itu sendiri.
Kembali lagi kepermasalah kenaikan
BBM, sebenarnya naik atau tidaknya hal ini sepertinya sama saja. Beberapa tahun
lalu, kenaikan BBM disambut dengan demo baik yang damai maupun yang dengan
kekerasan. Nyatanya dijalan jalan yang semakin padat dengan kendaraan bermotor
seperti mobil maupun motor. Kredit yang ditawarkan pun semakin menggiurkan, 500
ribu sudah bisa membawa pulang motor. Selanjutnya menurut saya perputaran uang
akan selalu seperti siklus, maksudnya rakyat tetap menghadapi system yang ada,
kemoderenan, dan juga globalisasi menjadi bumbu di kehidupan bangsa ini.
Kapitalisasi ekonomi semakin menyusup dari atas sampai bawah. Merebaknya minimarket ke berbagai daerah
rupanya merupakan dampak dari hal tersebut, yakni pasar bebas. Masyarakat
dihadapkan dan melihat secara nyata sekaligus menjadi sasaran utama mini market
ini. Persaingan yang nampaknya tidak sehat tersebut terlihat secara jelas.
Pasar-pasar tradisional dan usaha kecil menengah milik masyarakat terdesak dan
kalah saingan. Padahal beberapa tahun lalu pemerintah kita sudah menyepakati
pakta perdagangan dan pasar bebas. Ini artinya Negara ini dihadapkan untuk
persaingan pasar dengan maraknya produk-produk dari luar negeri yang masuk ke
Indonesia. Padahal nampaknya masyarakat belum siap menghadapinya dan pemerintah
tidak juga menyiapkannya. Kepentingan para kapitalis ternyata menjadi landasan
utama dalam berbagai kebijakan,terutama pada investor-investor asing,
pemerintah terlihat seperti “menyembah” mereka. Bukankah harusnya sebuah
kebijakan tersebut harusnya melihat kondisi riil dari masyarakat dan menimbang
untung atau rugi kebijakan tersebut.
Nampaknya sejarah memang berulang. Pada
masa pemerintahan colonial Hindia Belanda juga menerapkan kebijakan tersebut. Agrarische Wet 1870 (Undang-undang agraria tahun 1870) sudah mengarah pada
kepentingan kapitalisme. Latar belakangnya adalah para kaum liberal yang saat
itu berada di Belanda menentang keras terhadap kebijakan dari pemerintah
Belanda, seperti adanya tanam paksa yang dinilai menyengsarakan rakyat. Mereka
ingin membantu penduduk (Jawa) serta mencari keuntungan dari tanah jajahan
dengan cara mengusulkan berdirinya perusahaan swasta asing (Eropa). Yang
menjadi perhatian atau isu utama dari kebijakan ini adalah tentang adanya pemberian
hak erfpacht, semacam Hak Guna Usaha, yang
memungkinkan seseorang menyewa tanah terlantar yang telah menjadi milik negara
yang selama maksimum 75 tahun sesuai kewenangan yang diberikan hak eigendom
(kepemilikan), selain dapat mewariskannya dan menjadikan agunan. Artinya nusantara dijarah lagi oleh
Belanda dengan gaya baru, dan kepentingan kapitalis beriring dengan penderitaan
masyarakat yang semakin terdesak. Pada akhirnya kebijakan pemerintah colonial
Belanda pada awal abad 19, yaitu seiring dengan politik etis atau politik balas
budi yang secara teks telihat menguntungkan rakyat pribumi tapi dalam
aplikasinya semua kebijakan mengarah pada kepentingan pemerintah kolonial.
Perkebunan dan perusahaan swasta lainnya dikuasai asing, ada Eropa dan Cina.
Dimana rakyat pribumi berada? Mereka terus saja terkurung dalam jurang penderitaan.
Walaupun dulu ada perkebunan milik bersama rakyat, seperti didaerah Sumatra,
akan tetapi hanya minoritas saja, selebihnya mayoritas masih berada dalam
cengkeraman pemerintah Belanda. Namanya juga penjajah, daerah jajahan adalah
sebagai daerah vital yang harus dilindungi dan dikeruk keuntungannya.
Negara ini miskin negarawan dan
pahlawan. Menurut saya Negarawan adalah sesorang yang tulus ikhlas
memperjuangkan negaranya. Sedangkan pahlawan orang yang berjasa terhadap apa
yang diperjuangakannya dan memberi nilai positif untuk kalangan banyak.
Biasanya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa heroic dan lain-lain.
Pengertian tersebut seperti dua sisi mata uang yang hampir sama. Susahnya
mencari figure pemimpin yang dapat dijadikan panutan masyarakat, dalam tindak
tanduknya maupun pemikirannya. Mereka seperti mutiara dalam pasir, artinya
susah sekali ditemukan, bahkah seperti tidak ada. Namun nampaknya kita tidak boleh
pesimis, seburuk-buruknya orang, pasti punya sisi baik. Yang menjadi
permasalahannya adalah kemauan yang menggerakkan untuk menjadi baik tersebut.
Menurut Thomas Aritonga, pendidikan karakter itu mempunya tiga aspek, yakni
mengetahui, menginginkan, dan melakukan kebaikan. Orang yang mengetahui kebaikan akan tetapi
tidak menginginkannya itu sama saja tidak ada artinya, kelakuan orang seperti
ini biasanya berorientasi negative. Kemudian orang yang mengetahui sesuatu yang
baik,dan dia menginginkannya tapi tidak melakukan, dia orang yang apatis dan
pasif terhadap kebenaran. Yang terakhir adalah orang yang mengetahui,
menginginkan kebaikan dan kebenaran dan diimplementasikan dalam tindakan, kata
tidak dihianati oleh laku. Rosulullah pernah bersabda, apabila kamu melihat
kemungkaran maka cegahlah dengan lisan, langkah selanjutnya kemudian dengan
tindakan. Jika tidak mampu maka cegahlah dengan hati, yang seperti itu adalah
selemah-lemahnya iman.
Hal tersebut apakah senada dengan tingkah para pejabat
public khususnya dan masyarakat pada umumnya? Diluar sana sampai sekarang
banyak sekali para koruptor yang menggasak uang rakyat, ada yang lolos namun
tidak sedikit yang tertangkap. Mereka yang tertangkap menyanyi-nyanyi di
pengadilan dengan suara kebohongan. Padahal bukti otentik sudah nyata-nyata
ada, namun masih banyak juga yang berkelit. Banyak pula kasus korupsi yang
terbongkar dan ternyata sudah bersistem. Ternyata politik perkoncoan di Negara
ini dapat dimainkan dengan luwesnya. Dari anak buah, jajaran direktur, kurir,
hakim, jaksa, politisi dan lain
sebagainya sambung menyambung dan terjadi korelasi yang apik dalam kejahatan. Ada
apa dengan moral pemimpin di negeri ini? Yang salah apakah sistemnya ataukah
mental inlander orang-orangnya? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan retoris
demikian. Mungkin perlu waktu dan memang biarlah waktu dan sejarah yang menjawabnya.
Namun langkah ijtihad belum tertutup
dan masih ada banyak jalan untuk memperbaiki, merubah tatanan yang tidak sesuai
dengan cita-cita bangsa ini. Menurut saya kenapa pemerintahan ini didominasi
oleh partai politik. Memang jalan demokrasi memberi ruang untuk partai politik
tersebut. Akan tetapi sejauh ini beberapa banyak kasus penyelewengan dan
penyimpangan yang terjadi orang atau kelompok, partai politik nampaknya
terdaftar dalam urutan terdepan dalam hal ini. Sampai-sampai mantan ketua umum
Komisi pembertantasan korupsi (KPK), Busyro Muqodas mengeluarkan statement
“partai politik adalah tempat kaderisasi koruptor”. Pernyataan tersebut
langsung menuai protes dari para politisi, dan terkesan menyerang Busyro
sendiri. Sangat disayangkan, harusnya hal ini menjadi wahana instrospeksi
massif dari para petinggi partai untuk memperbaiki diri dan mendidik
kader-kadernya untuk transparan dan lebih mementingkan aspirasi rakyat. Coba
kita amati, jajaran pemerintahan ini didominasi oleh politisi, seperti para
menteri, bupati, walikota, presiden, camat dan lain sebagainya. Kursi-kursi
pemerintahan menjadi rebutan. Rakyat baru diingingat setelah ada pemilu,
seperti ungkapan rakyat itu ada jika pemilu datang, selebihnya tidak. Miris
sekali ungkapan ini, bagi kita yang punya hati nurani, bagi yang tidak itu juga
menjadi hak mereka, karena hati yang bersih juga bisa menjadi kotor, bahkan
mati. Ini semua adalah pilihan.
Selanjutnya adalah bagaimana kita
menyikapi hal ini. Seperti sungai yang deras dengan arus yang kencang, jika
kita tidak siap maka akan ikut hanyut dalam arus tersebut. Mainstream yang ada
seiring dengan maindset masyarakat yang sudah disusun dan mencoba dibentuk sedemikian
rupa sesuai keinginan dan tujuan dari pemilik kepentingan
(negara,kapitalis,etc.). segala kebijakan pasti akan menuai pro dan kontra.
Tidak ada yang sempurna, adanya adalah mendekati sempura. Tinggal bagaimana
mengaplikasikan segala ide-ide untuk dijabarkan menjadi segala sesuatu yang
dapat dan bermanfaat bagi masyarakat. Beberapa waktu lalu di sebuah angkringan
disudut kota Yogyakarta, ada pembeli jajan bilang “aku raurusan pemimpine
arep do yak yakan, arep korupsi, paten-patenan lan liya-liyane, seng penting
wetengku wareg, rego-rego murah, aku wes seneng”. (aku tidak peduli dengan
pemimpinnya rebutan kekuasaan, korupsi dan saling membunuh (fitnah, etc.) dan
sebagainya. Yang penting perutku kenyang, harga-harga (sembako) murah, aku
sudah senang). Obrolan tersebut tidak jauh-jauh dari carut marut negara dan
sudah mulai naiknya harga-harga karena isu kenaikan BBM. Selain itu
membicarakan tentang para pejabat yang korupsi seperti para menteri, politisi,
anggota DPR dan sebagainya. Percakapan tersebut terasa tulus,walaupun tanpa
didasari dengan teori maupun konsep yang jelas, namun realita dilapangan memang
demikian. Panggung pengadilan dan politik seperti panggung ketoprak, yang penuh
dengan sandiwara. Nampaknya hal tersebut merupakan representasi dari kondisi
masyarakat saat ini, yang tidak peduli dan apatis dengan yang terjadi di luar
sana. Kepercayaan masyarakat harus dipupuk lagi dengan yang namanya tanggung
jawab. Janji-janji sama saja dengan ide-ide yang hanya ada di dalam otak, jika
tidak ditafsirkan dan dilaksanakan adalah absurd belaka.
Meminjam pendapat A. Syafii Maarif, penyakit
bangsa adalah piawai merumuskan, tetapi gagal melaksanakan. Sebaliknya masyarakat
harus peduli dan turut mendukung mensukseskan rencana-rencana tersebut.
Pemerintahan yang bersih, masyarakat yang kreatif dan cerdas adalah modal utama
dalam membangun peradaban yang beradab. Hubungan
yang erat patron-klien yang sinergis antara yang memimpin dengan yang dipimpin
terjaga dengan baik. Sehingga bisa dibayangkan
negeri ini sangat kondusif dan (mungkin) bisa maju dengan didukung oleh
kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Saya pernah membaca sebuah anekdot, perdana
menteri Jepang dan presiden Indonesia bertemu dalam sebuah acara resmi
kenegaraan. Kemudian terjadi percakapan.
PM Jepang : Pak Presiden yang terhormat, bagaimana kalau kita bertukar
pulau, antara pulau Jepang dengan Pulau Sumatera.
Presiden : Loh, kok bisa begitu?
PM Jepang : Anda boleh membawa apapun dari Indonesia untuk di bawa ke
Jepang, sedangkan saya tidak akan membawa apapun, kecuali rakyat Jepang. Anda
tahu, Jepang sekarang sudah lengkap, modern dan maju. Gedung-gedung bertingkat,
fasilitas semua ada.
Presiden : #@#%$@^^&&@$&@..
Maka, setelah hampir 67 tahun
Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan, bangsa ini mulai bangkit dari
keterpurukan dan (sedang) menuju ke arah negara yang berkembang. Setidaknya pengorbanan
para pemikir, pejuang, dan partisipan terdahulu membuahkan hasil, yakni
Indonesia Merdeka dan menjadi sebuah negara yang “Bhineka Tunggal ika”. Penerus
aktifitas bangsa mulai perlahan-lahan merumuskan dan berusaha memajukan bangsa
ini dengan penuh pengorbanan, mulai dari zaman Soekarno, Suharto, sampai
sekarang ini zaman SBY. Namun yang perlu digaris bawahi disini adalah bangsa
ini memang sudah merdeka secara konstitusi (1945), yakni punya kuasa penuh
untuk mengatur negara tanpa adanya intervensi asing. Akan tetapi periode
selanjutnya (1950-sekarang) seiring dengan perkembangan zaman yang terus
melaju, bentuk-bentuk penjajahan secara tidak langsung sangat kita rasakan.
Maksudnya, penjajahan dalam bidang-bidang potesial, seperti ekonomi, politik,
budaya dan sebagainya. Hampir segala aspek kita terjajah. Perbedaan yang
dirasakan, bahwa penjajahan fisik (kolonialisme) efeknya langsung, dan
penjajahan secara tidak langsung (kapitalisme, liberalism, globalisasi) efeknya
secara tidak langsung dan perlahan-lahan.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh
bangsa yang kaya raya ini sangat potensial jika diaplikasikan dalam berpijak.
Kita punya system gotong royong, ekonomi kerakyatan dan sebagainya yang sangat masuk
kedalam ranah apa itu yang dinamakan kesejahteraan. Kesejahteraan dan
kemakmuran akan mudah tercapai jika didukung adanya keamanan. Perlindungan dari
pemerintah dan kebijakan yang pro-rakyat zaman ini semakin miskin dikeluarkan. Maka
mendekati pemilihan, baik birokrat dari tingkat bawah sampai atas, kita harus
lebih selektif. System yang baik, pemimpin yang bijak dan rakyat yang cerdas
harus bersinergi, sehingga yang dinamakan money politik, pemimpin karbitan dan
istilah rakyat itu dianggap ada hanya pemilu dapat dikikis, karena sangat
ironis sekali, negara Republik Indonesia yang mengikuti system demokrasi “semu”
ternodai dengan hal-hal amoral seperti ini.
Tulisan ini adalah curahan hati yang “absurd”.
kalau orang tidur ada yang mengiau, orang menulis juga ada yang mengiau,
seperti saya. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan, semua murni opini saya
yang terbentuk dari buku-buku yang memang selama ini saya sukai.
Yogyakarta. Santern, 27 maret 2012
H.M
menuju setting historis?..
BalasHapuspolitik ekonomi kita memang lemah..tidak ada platform menuju kesejahteraan murni dan berani.Fungsi negara di bawah sistem liberalisasi slalu di batasi..seperti invisible hand karya adam smith.seharusnya fungsi negara selain mensejahterakan (welfare state) juga harus menjadi alat proteksi (bukan sbg alat penindas/kaum borjuasi spti yg di tuangkan lenin).entah sadar atau tidak bangsa ini menghadapi itu? seperti china dg proses dialektikanya yg menjadikan "teori hybrida (teori 2 ruang/sosialis kapitalis) sebagai antithesis terhadap perkembangan kapitalis global.sadarkah setting historis lewat agenda2 para kapitalis global,seperti otonomi daerah yg digunakan untuk menggiring ke arah federalsiasi sehingga alur modal mudah masuk serta melancarkan ekspansi,eksploitasi dan akumulasi (analisa tabloid intelijen,lupa terbitan kpn).hmm apa bedanya bangsa kita dg itik mati di lumbung padi??.agenda kapitalis global n hal2 seperti ini dan implikasinya yang akan di jadikan sebuah setting history oleh para kapitalis global utk mengaburkan eksistensi pancasila atau parahnya pancasila yg belum di implementasikan di setting untuk menggiring publik bahwa telah gagal !!
lihat UU PMA ytg mengatakan bahwa BUMN yg sudah go public tdk dapat di buy back apa cocok dg uud 45?padahal hukum kita stufenbow/berjenjang dan tdk boleh ada kontradiksi dg atasnya yaitu udd45,adalagi yaitu UU Intelijen yg akan di gunakan oleh perangkat intelijen negara sebagai anti subversif mengingat tensi pergerakan yg semakin masif (psti anda tahu ya sbg kader imm.hehe)--> apa sesuai kebebasan berseikat n berkumpul,berpendapat uud 45 dan asas presumption of innosence hukum kita? RUU penanganan konflik sosial yang mengesahkan TNI sbg palang pintu modal,RUU pengadaan lahan yg akan menghajar tanah para pemangku adat guna mencukupi tuntutan para borjuasi demi lancarnya alur modal terutama di bagian infrastruktur, UU sisdiknas yg menganut kapitalisasi pendidikan padahal di UUD 45 pasal 28 c ayat 1 diatur mengenai pendidikan sbg ham yg tdk dapat di ganggu gugat dan pemenuhannya di psl 28 i ayat 4 yaitu pemerintah/negara.mana arti negara???mana politik ekonomi kita???saya rasa Indonesia ini provinsi terakhir amerika dan inggris.ahahahaha. mana kebangkitan umat islam? apa msih tertidur dengan magisnya seraya berkata "ini nasib"??kapan kita semua segenap bangsa indonesia yg sebagian besar moslem utk mampu membaca realita dg memisahkan kapan berfikir idea dan matrial (kyk madilog yg pernah ente baca seperti menurut intelijen saya yg mengabarkan.wakakakakak) , mngkin itu untuk refleksi kita kedepannya utk berjuang dg cara masing2 baik cara terang seperti ente atau cara underground seperti saya,,hehehehe
salam revolusioner !!
ttd teman lama
rizki