Membicarakan tentang Cultuurstelsel merupakan pembahasan yang
menarik. Sebab ada beberapa pendukung dan penentang terhadap sistem tersebut.
Apakah sistem tanam paksa ini memberikan dampak positif, ataukah berdampak
negatif dan menyengsarakan petani? Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut.
Pasalnya, penelitian yang dilakukan oleh para orientalis dan juga para peneliti
Indonesia sendiri terjadi tarik menarik akan hal tersebut. Para orientalis yang
condong ke arah nederland-sentris dan peneliti yang melihat dari dalam,
indonesia-sentris. Penelitian tentang tanam paksa tersebut meskipun saling
mengkritisi satu sama lain, namun pada dasarnya saling melengkapi dengan
intrepetasi arsip kolonial secara berbeda. Pada pokok ini, intrepretasi dan
imajinasi dari para sejarawan terkait hal tersebut cukup diuji, akan kematangan
berfikir, dasar teori, dan pendekatan yag dilakukan dalam studi tentang
Cultuurstelsel di Indonesia, khususnya di daerah Jawa. Sudah banyak sekali
penelitian terkait hal tersebut dilakukan, bahkan bukan saja saling
mengkritisi, namun kajian yang dilakukan sudah mencakup pada tataran skup skup
yang lebih sempit. Ada yang membahas tentang sistemnya, tenaga kerja, pedesaan,
dan lain sebagainya.
Studi tentang tanam paksa yang dilakukan oleh R.E Elson mengenai
kemiskinan dan kemakmuran kaum petani pada masa sistem tanam paksa di pulau
Jawa bisa dikatakan berbeda dengan kajian sebelumnya. Perbedaan yang mendasar
terletak pada aspek petani, yakni tesis yang dikemukakan Elson adalah bahwa
sistem tanam paksa tidak serta merta menghisap petani dan menyengsarakan
rakyat, namun mempunyai manfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
khususnya petani. Elson melihat, kajian tentang tanam paksa yang terdahulu
selalu melihat bahwa pelaksaan sistem tanam paksa selalu diidentikan dengan
penghisap dan tidak bermoral. Seakan-akan petani menjadi aktor pasif yang
paling menderita dalam pelaksaan tanam paksa, khususnya di Jawa. Elson
mengemukakan dua alasan penolakan tersebut, pertama bahwa pandangan mengenai
penyebab kemiskinan tersebut terdapat kelemahan logika dan struktural yang
parah. Kedua, bahwa banyaknya bukti-bukti perlawanan yang menjadikan kesan
penolakan terhadap sistem tersebut.
Pada penguatan argumennya, Elson mengemukakan beberapa yang menjadi
dasar cara berfikirnya, yakni kebanyakan bukti dan alasan yang melatarbelakangi
tersebut masuk akal, dalam artian masuk akal dengan dikukuhkan fakta yang
nyata. Pembuktian itu digunakan sebagai pengganti penelitian empirik mengenai
apa yang sebenarnya terjadi. Maksudnya seharusnya yang dikemukakan adalah apa
yang sebenarnya terjadi bukan masuk dalam kategori “masuk akal”. Maksudnya
masuk akal jika para petani menghabiskan waktunya bekerja di tanam paksa
sehingga mereka melalaikan tanaman pangannya. Hal ini yang menjadi kritik tajam
Elson, bahwa gaya argumentasi semacam ini menjadi indikator dari kelemahan
pembuktian penelitian tentang pelaksanaan taman paksa. Kelemahan selanjutnya,
studi tentang terjadinya kemiskinan akut di Jawa akibat tanam paksa tidak
didukung dengan konteks kesejarahannya. Maksudnya, kajian ini kurang memberi
ruang terhadap kondisi di Jawa sebelum tanam paksa. Timbulnya kemiskinan itu perlu
didasarkan pada pemahaman sempurna tentang keadaan masyarakat yang ada sebelum
berlangsungnya perubahan yang konon menyebabkan kemiskinan tersebut. Hal
terakhir yang menjadi argumentasi Elson adalah petani sebagai agen yang pasif
dan tertidas oleh struktur yang berjalan. Petani digambarkan sebagai obyek
sasaran dari penindasan dan tidak berdaya. Daya kreatif dan daya kecerdasan
petani untuk bertahan hidup seolah tidak ada. Perspektif ini merupakan distorsi
dari alam kehidupan petani sendiri. Jika ditilik dari perspektif petani sebagai
agen pelaku dan pengelola, maka menurut Elson, alasan kemiskinan dari petani
tersebut kurang meyakinkan.
Terdapat beberapa telaah yang memperkuat hipotesa Elson mengenai
kemiskinan dan kemakmuran di Jawa, terutama yang terkait dengan manfaat tanam
paksa. Periode kurun waktu tahun 1858-1868 terjadi peningkatan kemakmuran penduduk
di Jawa. Hal ini mengacu kepada laporan residen tentang semakin bertambahnya
luas tanah yang digarap, ramainya kegiatan niaga, meningkatnya penduduk dan
taraf konsumsi, perbaikan sarana perumahan, meningkatnya bahan pangan dan
sandang, dan juga produksi pangan. Sampai Gubernur Jenderal menyatakan bahwa
pulau Jawa pada masa tersebut dalam hal kebendaan teah mengalami kemajuan dan
perkembangan pada taraf mengesankan. Pada tahap data statistik dari laporan
pemerintah jajahan, menunjukkan angka yang bergerak naik. Pajak, beban kerja,
dan upah yang diberikan petani ternyata tidak serta merta menyengsarakan, akan
tetapi mendapat kemajuan dan kenaikan grafik statistiknya. Petani dapat
membelanjakan jumlah perkapita yang makin meningkat untuk membeli harta benda
dan barang konsumsi. Selai itu ekonomi pedesaan yang mulai meningkat, industri
pedesaan mulai bermunculan seperti kerajinan tangan dan pertukangan, perdagangan
eceran dan pengangkutan. Peningkatan itu itu dilihat dari peningkatan ekonomi
yang merata dan kemampuan menghasilkan pendapatan lain.
Sementara itu di sisi lain, pelakanaan sistem tanam paksa yang
diterapkan di Jawa merupakan model ekonomi politik monopolistik. Tujuannya
adalah mencari keuntungan maksimal untuk negara induk yakni Belanda dari
potensi ekonomi yang ada di Jawa. Tujuan utam yakni merangsang produksi dan
ekspor komoditas pertanian yang laku pada pasaran Eropa. Sistem tanam paksa
dapat dikatakan unik, dalam artian sistem ini tidak diterapkan pada daerah
jajahan di Asia Tenggara lainnya mengingat kondisi alamnya, ekonomi dan
struktur sosial yang bisa dikatakan ada kemiripin. Namun, sistem tanam paksa di
Jawa perlu ditelaah jauh, yaitu pada masa VOC mempraktikkan sistem tersebut.
Prototipe sistem tanam paksa di Jawa adalah penanaman kopi di Jawa
masa VOC pada awal abad ke-18, khususnya di daerah Priangan. VOC yang
sebenarnya sebagai perusahaan dagang telah melebarkan sayapnya ke arah sistem
produksi untuk meneragamankan komoditas-komoditas ekspor yang laku keras di
pasaran Eropa, yakni kopi. Daerah Priangan sendiri, pasca VOC bubar dan
diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda, tanam paksa di daerah tersebut tetap
dipelihara dan dilanjutkan. Situasi internal dan eksternal yang terjadi di
Hindia Belanda dan Negeri Belanda sendiri mau tidak mau harus melestarikan
sistem tanam paksa yang dianggap menguntungkan dari segi ekonomi untuk
mengembalikan kembali pondasi ekonomi negeri pusat yang sedang goyah.
Inti dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah tentang pembentukan
modal, tenaga kerja murah, dan ekonomi pedesaan. Ketiga hal tersebut punya kait
mengait dalam pelaksanaan sistem tanam paksa. Mengenai penanaman modal, sistem
tanam paksa memperlihatkan bahwa Jawa pada saat sistem itu berlangsung dapat
menghasilkan komoditas tertentu seperti kopi, tebu, indigo, beras dan
sebagainya, didapatkan dengan cara cukup sederhana untuk bisa bersaing
dipasaran Eropa. Hal ini menjadikan medan magnet terutama pasca sistem tanam
paksa mengalami keruntuhan dan mulai berkembang pasca tahun 1880 an, dimana
saat itu Jawa dijadikan ladang investasi besar-besaran.
Soal tenaga kerja yang murah, masyarakat golongan lapisan menengah
dan atas saat itu sudah mafhum bagaimana cara mengeksploitasi tenaga kerja dan menangani pasar untuk
memperoleh keuntungan maksimal atas produk yang ada. Sistem tradisional masih
dipelihara dengan kuat, sistem patron-klien. Kaum tani jawa tidak terbiasa
dengan sistem upah terbuka dan umumnya tidak memandang kerja upahan sebagai
satu-satunya cara untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Menurut Van Niel,
para petani memandang pekerjaan dalam konteks pelayanan wajib kepada penguasa
yang lebih tinggi harus dipenuhi. Pada
pelaksaannya, sebagian besar petani di Jawa tidak memahami nilai kerja sebagai
alat untuk mencapai tujuan, melainkan memandang
kerja sebagai beban yang ditanggung. Penambahan jumlah kerja paksa yang
memberatkan seluruh lapisan penduduk mengajarkan tentang bagaimana bekerja dalam
budidaya tanaman baru. Hal ini tetap tidak merangsang para petani untuk bergiat
menanam dagangan ekspor, karena pandangan kaum petani Jawa dalam konteks kerja
tidak berubah.
Pada tataran ekonomi pedesaan, Van den Bosch memaksimalkan fungsi
kepada desa untuk mengarahkan mereka dengan legitimasi kekuasannya melancarkan
pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Hal tersebut bisa berupa pembukaan
lahan baru, tentunya beserta dengan penduduk yang sekaligus menjadi tenaga
kerja. Kekuasaan lapisan atas warga desa diperkuat dengan penugasan fungsi dan
kewengan baru yang memungkinkan kepala desa beserta sekutunya mengusai tanah
sekaligus tenaga kerja, hasil bumi pada derajat lebih besar dibandingkan dengan
sebelumnya. Pada praktik ini, sering terjadi penyelewengan yang memberatkan
para petani. Kepala desa beserta sekutunya sering bertindak mengatasnamakan
pemerintah Kolonial, dan dibalik itu terdapat kepentingan memakmurkan individu.
Masih ingat dengan buku yang ditulis oleh Multantuli, yakni
menceritakan betapa menderitanya petani di Lebak Banten akibat dari pelaksanaan
sistem tanam paksa. Tulisan tersebut mengguncang negeri Belanda, karena pada
saat itu sedang ramai-ramainya dikaji tentang pelaksaan sistem tersebut di Jawa
khususnya. Pertentangan dan perdebatan di parlemen Belanda sendiri juga sedang
panas terjadi. Kembali lagi kepada studi Elson mengenai dampak positif dari
sistem tanam paksa, hal ini dibantah oleh studi yang dilakukan Furnifall,
bahwasanya ada pertanyaan besar yang dilontarkan, yakni berapakah jumlah orang
atau daerah yang mendapat keuntungan dari sistem tanam paksa, dan siapakah
sebenarnya mereka itu?
Jika dilihat dari sudut pandang petani, memang terdapat kemiskinan
yang mendalam dan penderitaan akibat kerja keras dari sistem tanam paksa tersebut.
Beban yang didapat para petani yang merupakan lapisan paling bawah (grassroot)
seakan bertumpuk, dengan berbagai macam beban yang harus ditanggung. Pajak yang
cukup besar, setoran wajib, dan upah yang sedikit atau relatif murah
mengharuskan petani memutar otak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Konsep
ekonomi subsisten atau prinsip ekonomi untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup
dan berdasarkan konsep nilai kerja yang dipahami oleh petani Jawa, menjadikan
hidup mereka sangat sederhana. Di sisi lain, upah yang didapatkan petani yang
sedikit dan naiknya kebutuhan konsumsi yang diperantarai oleh orang-orang cina
yang berjualan berbagai macam kebutuhan rumah tangga. Apalagi pada masa itu
peredaran candu sedang marak, dan merupakan hal yang digandrungi oleh para
petani atau pekerja perkebunan.
Ihwal pengaruh manfaat dan kerugian akibat tanam paksa ini juga
menjadi diskusi yang menarik. Namun, pada akhirnya Elson sendiri menyimpulkan
sistem tanam paksa itu secara langsung maupun tidak langsung, paling tidak dalam
jangka pendek memberi peluang-peluang
untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi
pangan serta membuka kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan ekonomi pangan
dan membuka kemungkinan pertumbuhan ekonomi masyarakat petani, yang sebelumnya
sangat terbatas pilihannya. Sementara Van Niel berpendapat bahwa hipotesa
sementara bahwa ada pengaruh dari pelaksanaan sistem tanam paksa pada
pertumbuhan sosial-ekonomi berikutnya. Pada perkembangannya sistem tanam paksa
justru memperkenalkan beberapa perubahan taktis yang membuat eksploitasi
kolonial dapat berjalan jauh lebih efektif, tetapi ini adalah bagian pokok yang
tidak dapat dipisahkan dari arus sejarah panjang yang melibatkan integrasi Jawa
ke dalam sistem ekonomi pasar.
Lebih jauh lagi, ada indikator untuk menyimpulkan mengenai sistem
tanam paksa di Jawa khususnya. Pertama, sistem tanam paksa merupakan alat yang
digunakan pemerintah kolonial untuk mengeksplorasi potensi ekonomi Jawa dan
orang Jawa untuk mencapai keuntungan maksimum dengan cara paling ekonomis dan
sangat efektif. Kedua, sistem tanam paksa ini mempunyai dampak positif dan
negatif bagi petani. Dampak positif di sini dalam arti menawarkan penghasilan
tambahan bagi petani dengan ekspansi luas lahan padi dan diversifikasi
kesempatan kerja. Dampak negatifnya yaitu pembebanan masukan kerja wajib yang
tidak sepadan dengan upah yang diterima petani. Sementara ambisi dari residen
dengan kerja tambahan mengakibatkan penderitaan yang mendalam, seperti
kelaparan. Akhirnya tanam paksa mengakibatkan kekurangan tanah-tanah yang baik
untuk ditanami kembali dan terjadinya penggundulan hutan akibat pembukaan
lahan. Ketiga, sistem tanam paksa telah membantu perkembangan pola pembangunan
ekonomi yang memaksakan perubahan sosial pada masyarakat petani abad ke-19.
Perubahan ini melibatkan kesenjangan yang melebar antara elit desa dan
kelas-kelas yang lebih rendah dari petani akibat perbedaan penghasilan dan
kekuasaan politik yang lebih kuat, terutama pada posisi kepala desa.
Depok.
Hasby Marwahid
Daftar Pustaka
Anne Booth, Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
J.S Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk.
Jakarta: Freedom Institute, 2009.
J. Thomas Lindblad dkk, Fondasi Ekonomi Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: LP3ES,
2003.