Peringatan
hari kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 17 Agustus beberapa waktu lalu telah
dirayakan oleh seluruh elemen masyarakat. Gegap gempita rakyat Indonesia dalam rangka meneruskan,
menghargai jasa pahlawan dan mengisi hari kemerdekaan dengan pelbagai macam
kegiatan. Mulai dari kajian-kajian ilmiah sampai perayaan-perayaan lain seperti
lomba-lomba. Momen hari kemerdekaan menjadi semacam pesta rakyat dari lintas
usia, mulai dari kakek nenek sampai anak-anak kecil.
Tepatnya
70 tahun sudah Indonesia merdeka dan lepas dari cengkeraman kuku kolonialisme
yang sudah menancap terlalu dalam. Bahwa bangsa Indonesia telah dijajah sekian
abad, silih berganti “tuan” yang terus menerus mengeruk, merampas kekayaan dan
hak-hak rakyat Indonesia. Terdapat polemik seberalam sebenarnya kita dijajah
oleh bangsa-bangsa barat, banyak masyarakat awam setuju dengan diktum bahwa
Indonesia telah dijajah oleh bangsa Barat selama 350 tahun atau sekitar 3,5
abad lamanya. Terdapat generalisir dan pemahaman yang kurang tepat terhadap hal
ini. Menurut G.J Resink, Indonesia dijajah bukan selama 3,5 abad dengan alasan
bahwa Aceh baru berhasil dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-20 an.
Terlepas
dari itu, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tepat pada tanggal 17
Agustus 1945. Melalui sebuah jalan yang berliku dan berdarah-darah, dalam
bentuk fisik dan perdebatan-perdebatan sengit. Seperti pertentangan yang
terjadi antara golongan muda yang diwakili antara lain Sayuti Melik, Syahrir
dan golongan tua seperti Soekarno, Hatta dan lain sebagainya.
Sebelum
kolonialisme berkembang di Eropa dengan gold, glory, gospelnya, pada
abad ke-17 an, nusantara telah mengalami perkembangan peradaban yang cukup
maju. Dimulai dengan bentuk-bentuk kerajaan, sistem pemerintahan, armada
militer, dan perkembangan teknologi lainnya. Taruhlah seperti Sriwijaya dan
Majapahit sebagai kerajaan yang kuat dalam segala hal dan beberapa kerjaan
Islam sebagai bukti bahwa Nusantara ini pernah memiliki jejak sejarah peradaban
yang maju.
Hubungan
dan jaringan ekonomi pun pun tidak terbatas dalam lingkup kawasan nusantara
saja, melainkan meluas ke wilayah cakupan teritori Asia bahkan dunia. Nusantara
yang sangat subur dan kaya akan sumber daya alam pun mengekspor hasil-hasilnya
ke pelbagai daerah di jaringannya, seperti India, Cina. Bahkan menurut
penelitian arkeologis dan sejarah , hubungan antar Mesir dengan nusantara sudah
terjalin sejak zaman Amenhotep (raja Mesir_red). Hal ini terlihat dengan adanya
hubungan perdagangan Barus (sebuah tempat yang berada di Sumatera)dengan Mesir
perihal barang untuk mengawetkan mayat (mumi).
Jatuh
bangun peradaban nusantara, mulai dari dinasti-dinasti atau kerajaan-kerajaan
Hindu, Budha, Islam mendapatkan perubahan sejak datangnya negeri-negeri dari “atas
angin” (Barat). Wilayah “Hindia” tercium oleh bangsa-bangsa Eropa lewat
hasil-hasil buminya yang tersebar di benua tersebut melalui jaringan
perdagangan yang meluas. Hasil-hasil rempah-rempah dan sebagainya didapatkan
dari pedagang-pedagang Asia yang sumbernya berasal dari Nusantara. Hal ini
mendorong bangsa-bangsa Eropa untuk melakukan perdagangan langsung dengan
pusatnya, yakni nusantara.
Datangnya
bangsa-bangsa Barat kemudian seolah mengubah pelbagai macam aspek kehidupan di
Nusantara. Di tambah konsep kolonialisme dari Eropa yang mencari daerah-daerah
koloni baru untuk kepentingan negara induk. Pada awalnya, tujuannya adalah
murni untuk berdagang rempah-rempah. Setelah melihat potensi nusantara yang
begitu menguntungan, mereka kemudian melakukan proses infiltrasi-infiltrasi
kepada kerajaan-kerajaan (penguasa) lokal yang ada di nusantara. Sebut saja
kompani dagang dari Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang
mempunyai hak istimewa (hak oktroi) seperti melakukan monopoli perdagangan, membuat
perjanjian dengan pemerintah setempat, membangun benteng-benteng pertahanan,
mempunyai pasukan, menyatakan perang, mengangkat dan menurunkan pemerintahan
setempat, dan menyelenggarakan
administrasi pemerintahan. Kompani dagang ini melebarkan sayapnya untuk menekan
dengan hegemoninya terhadap penguasa-penguasa lokal. Politik devide at
impera (pecah belah)pun dilakukan untuk memandulkan kekuatan dan menjadikan
boneka penguasa-penguasa lokal yang ada di nusantara.
Proses-proses
kolonialisme dengan segala bentuk infiltrasinya yang cukup kuat menyebabkan
perubahan yang cukup signifikan dalam pelbagai ranah kehidupan dan habit
di nusantara. Pengaruh Barat (kolonial) cukup kuat dalam “mengubah” dan seolah “memodernisasikan”
tatanan yang sudah mapan. Pengenalan sistem-sistem Barat di nusantara yang
berlangsung lama sejak masa kolonialisme bisa dilihat dan dirasakan sampai pada
masa kini. Seolah hampir terjadi bias-bias pengaruh yang sudah tanpa
sekat-sekat dan garis demakrasi yang jelas.
Pemahanan
tentang idedan konsep tentang sejarah Indonesia pada masa kolonial cukup
penting untuk melihat Indonesia pada masa kini. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa kini tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi pada masa
lalu. Pada kesimpulannya, sejarah itu berulang, selalu berulang, mengacu pada
konsep Hegel dan Ibn Khaldun. Sebagaimana dengan konsep peradaban yang lahir, tumbuh,
berkembang, mencapai puncak kejayaan dan pada akhirnya jatuh dan runtuh
digantikan dengan yang baru. Begitu juga dengan konsep sejarah yang berulang,
baik pola dan kejadiannya yang sama hanya temporalnya saja yang berbeda. Marx
dengan materialisme historime bahkan lebih pedas lag, bahwa sejarah ini
digerakkan oleh faktor perut (ekonomi) dan kepentingan yang berkelindan satu
sama lain.
Tidak
dapat kita pungkiri, bahwa pada abad milenium ini globalisasi teknologi,
pengetahuan dan pengaruh global semakin berkembang pesat. Dunia seolah tanpa
ada batas-batas yang kuat dan jelas. Apalagi dengan berkembangnya teknologi
informasi seperti internet, batas-batas global itu menjadi semakin mudah
diakses dan bias. Orang bisa mengakses sudut dan belahan dunia manapun tanpa
harus menunggu waktu yang lama, hanya sepersekian detik saja semua dapat
diketahui. Kemajuan teknologi dan informasi yang semakin masif pada perkembangan
selanjutnya sudah masuk ke pelbagai lapisan masyarakat. Hal ini menjadikan
seolah terjadi hal yang disebut sebagai “disorientasi”. Masyarakat cepat
melupakan hal-hal yang terjadi sebelumnya, seakan terjadi amnesia. Semisal,
peristiwa kekerasan, korupsi, dan sebagainya datang silih berganti dan terus
menerus berulang dan tertutup. Artinya, kejadian yang sama berulang dan
tertutup oleh kejadian-kejadian baru dan pada selanjutnya berulang kembali. Begitu
seterusnya berputar-putar pada model yang sama dan masyarakat cepat lupa. Hal yang
telah berlalu seolah hanya lewat begitu saja secara sadar atau tidak tanpa
dapat merefleksikan, memanggil dan memikir ulang peristiwa tersebut untuk
kepentingan masa depan. Bangsa ini seolah dan seakan terjebak dan berulang
dalam sebuah lingkaran yang terus berputar-putar.
70
tahun kemerdekaan Indonesia yang setiap tahun diperingati dan dirayakan oleh
pelbagai elemen masyarakat baik secara sadar atau tidak seakan hanya
ritus-ritus formal yang berulang. Refleksi kemerdekaan dalam arti sesungguhnya
belum begitu menyentuh ke dalam ranah yang fundalmental. Terjebak dalam
persaingan dan ego yang masih berkelindan dalam seputaran itu-itu saja. Sebut saja
korupsi, yang sampai detik inipun masih sulit untuk ditanggulangi karena
berhubungan dengan sistem yang mengakar kuat. Pelbagai cara sudah dilakukan
untuk memberantas penyakit ini dan sampai saat ini masih menuju dalam ranah
yang menggembirakan. Setidaknya sudah banyak cara untuk memberantas hal
tersebut. Cara-cara memerdekakan (mensejahterakan) rakyat Indonesia yang
menyeluruh memang masih dalam proses yang berlangsung terus menerus.
Melihat
bangsa yang terus berproses menuju kemajuan ini menarik untuk melihat kembali
kebelakang, mengutip dua statment dari
salah satu founding father Republik
ini, Soekarno. Pertama, “perjuanganku lebih mudah karena aku melawan
kolonialisme, sedangkan perjuangan kalian akan lebih berat karena kamu akan
melawan bangsamu sendiri”. Kedua, dalam sebuah pidato Soekarno mengatakan “Jas
Merah, Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Kedua statment ini masih cukup
relevan untuk melihat dan merefleksikan kembali apa arti perjuangan dan
kemerdekaan yang sesungguhnya dari bangsa Indonesia ini.
Teradapat
perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan antara masa lalu dan masa kini yang
sangat berbeda. Jiwa zaman (zeitgesit) jelas membedakan hal tersebut. Lantas
bagaimana generasi penerus bangsa ini meneruskan dan mengisi kemerdekaan
setelah 70 tahun lepas dari jerat kolonialisme? Apa saja perjuangan nyata yang
telah dilakukan dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini? Hal ini
menjadi dua pertanyaan yang cukup berat untuk dijawab sendirian. Pertanyaan ini
harus dijawab dengan langkah nyata oleh kita semua sebagai generasi penerus
bangsa dalam rangka menjalankan amanat kemerdekaan yang telah diraih dengan
penderitaan dan pengorbanan. Tugas kita adalah bagaimana untuk mengisi kemerdekaan
dengan cara-cara mencerdaskan masyarakat, mengingat sejarah panjang republik
ini dan kemudian merefleksikannya ke dalam bentuk nyata untuk masa depan bangsa
yang lebih baik dan menuju ke arah kemerdekaan yang sesungguhnya. Merdeka! Historia
Magistra Vitae!. Tabik!
Sebuah tulisan pengantar diskusi.
Jakarta
Barat, 24 Agutus 2015
di pinggir danau Universitas
Esa Unggul 12:05 PM
Hasby Marwahid.
0 komentar:
Posting Komentar