Episteme itu bisa diartikan sebagai aparatus
diskursif yang mengkonstruksi wacana, baik itu wacana ilmiah maupun non-ilmiah.
Kita memperoleh pengetahuan sama dengan kita memperoleh bahasa, dan kesempatan
kita untuk menolak pengetahuan tersebut sama kecilnya dengan kesempatan kita
untuk tidak mau belajar bahasa tertentu dari semenjak lahir hingga dewasa. Ini
tidaklah sama dengan kekuasaan represif (penggunaan kekuasaan untuk
menghentikan kita untuk melakukan sesuatu). Ini terkait dengan penggunaan
kekuasaan untuk membangun kemampuan kita sebagai manusia (tidak semata-mata
hewan saja), dan memiliki pengetahuan tertentu untuk melekatkan makna pada
pengalaman kita. Sebagai contoh seperti anak kecil yang baru mulai menjadi
manusia seutuhnya malalui belajar bahasa tertentu, maka kita hanya akan
mengetahui yang benar dan yang salah, sebagai hasil dari pengaruh wacana
tertentu terhadap pikiran kita. Tapi tidak berarti dengan demikian kita dapat
mengklaim sudah mengetahui sesuatu dengan pasti. Kita hanya akan dapat
mengetahui kebenaran sesuai dengan yang diketahui dan fahami dalam wacana kita.
Seperti anak kecil yang tidak mengetahui bahasa
mana yang harus dipelajarinya seiring bertambahnya usianya, kita pun juga tidak
punya pilihan terhadap pengetahuan tertentu tentang dunia yang kita peroleh. Menurut
Foucault melalui wacana lah yang mendominasi suatu waktu dalam sejarah dan
suatu tempat di dunia sehingga manusia memiliki kerangka pikir atau pandangan
tertentu. Cara pandang model seperti itu adalah seperti yang disebut oleh
Foucault sebagai Episteme. (Pip Jones: 2010). Bagi Foucault, jika anda ingin
memahami perilaku manusia pada waktu dan tempat tertentu, maka temukan wacana
yang mendominasi pada tempat tersebut. Jika ingin mengapa wacana tertentu
berkuasa, maka jadilah arkeolog sosial : mengetahui asal-usul cara mengetahui
dengan melakukan dekonstruksi dan meneliti landasan yang pada kekuasaan
tersebut itu berada dan dominan.
Pemikiran yang penting pada Foucault adalah
arkeologi (archealogy), meski pada perkembangan selanjutnya dia lebih
memilih menggunakan istilah geanologi. Istilah ini mengacu pada pencarian asal
muasal dari kebenaran. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan kebenaran mutlak
atau kebenaran akhir seperti asal usul
segala sesuatu terjadi, seperti Tuhan, Idea, dan sebagainya. Namun, Foucault
menolak tentang kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan yang universal dan
mutlak sumbernya berasal dari metafisika. Bahwasannya manusia dan budayanya,
rahasia alam, yang berada dalam ruang dan waktu tertentu merupakan sumber dari
ilmu pengetahuan dan filsafat, merupakan bagian dari bagaimana cara manusia
mengungkapkannya. Foucault menolak bahwasanya wacana ilmu pengetahuan dan
filsafat yang menyatakan dirinya
universal dan obyektif melalui penelusuran terhadap teori dan konsep yang
digunakan oleh ilmuwan. Pada perkembangannya budaya umat manusia berubah dari
waktu ke waktu atau bersifat discontinue (Ahyar Lubis: 2014). Menurut Foucault
ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang cukup ampuh
untuk pendisiplinan dan pelatihan, dapat digunakan juga sebagai alat untuk
menaklukan dan membuat orang patuh sebagaimana dikemukakan oleh para ilmuwan
ahlinya.
Kritik yang dilontarkan oleh Foucault terhadap
pandangan ilmiah modern adalah bahwa klaim dari ilmu pengetahuan sebagai
kebenaran obyektif dan universal karena darinya kita mengerti benar dan salah
(oposisi binair) sebagai wacana tertentu dalam pikiran kita. Maka dari itu
pengetahuan tidak berarti kita telah mengetahui secara obyektif dan pasti.
Bahwa pada suatu era ada episteme, pandangan dunia dan wacana dominan yang
mempengaruhi cara berfikir ilmuwan. Foucault mengemukakan pentingnya memahami
episteme yang tersembunyi dalam wacana ilmiah tersebut dengan suatu metode. Jika
kita ingin mengetahui satu episteme yang dominan pada masa tertentu, langkah
selanjutnya adalah menelusuri asal-usul dan dasar pemikiran episteme itu.
Selanjutnya, dengan kita mengetahui episteme terebut kita bisa mengkritisi
secara ketat kelemahan-kelemahan asumsi-asumsi epsitemologi dominan yang
terjadi. Metode ini sebenarnya identik dengan model dekonstruksinya Derrida.
Foucault menyatakan ada empat hal dominan
dimana diskursus dianggap membahayakan, yakni politik (kekuasaan), hasrat (seksualitas),
kegilaan, dan apa yang dianggap benar atau salah. Point benar atau salah ini
menurut Neitzche dimaksud kehendak untuk berkuasa. Bagi Foucault sendiri ini
diidentikan dengan keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk mempertahankan status
quo ilmu pengetahuan menjadi hegemoni. Geanologi disini diartikan sebagai
hubungan historis antara kekuasaan dengan diskursus. Ilmu pengetahuan berperan
membentuk manusia dan kekuasaan (aturan, politik) yang digunakan untuk mengatur
subyek. Semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroprasinya kekuasaan
karena ingin mengetahui adalah proses dominasi terhadap obyek-obyek dan
manusia. Pengetahuan ternyata merupakan cara bagaimana kekuasaan memaksakan
sesuatu kepada orang lain tanpa memberi kesan berasal dari pihak tertentu.
Pengakuan akan obyektifitas dan keilmiahan seakan impersonal atau bebas nilai
tanpa disusupi kepentingan subyek tertentu.
Maka dari itu setiap wacana selalu mencari
status ilmiah supaya dikaitkan dengan subyek tertentu sehingga tidak dicurigai membawa
kepentingan atau nilai tertentu. Berfikir secara kritis sangat penting untuk
menjawab tantangan atau menganalisa antara hubungan kekuasaan, pengetahuan dan
kebenaran. Melalui cara membongkar hubungan kekuasaan yang disembunyikan maka
akan mendorong munculnya perlawanan dan memperluas kebebasan akan berbagai hal.
Pada lingkup ini memungkinkan kebenaran yang terpinggirkan akan terungkap.
Kebebasan kita memungkinkan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam
bertindak. Orang tidak lagi terkungkung dalam nilai, norma, tradisi, dan aturan yang cenderung melawan perubahan.
Hanya dalam suasana perubahan ini dalam arti kebebasan yang membongkar
dominasi-dominasi kuasa tersebut, maka dapat dimungkinkan menghasilkan
pengetahuan untuk dapat melawan cara memerintah yang dominan. Bahkan bila
pengetahuan itu memakai nilai luhur dan kebaikan didalamnya. (Haryatmono: 2010).
Hubungan antara Kekuasaan, Ilmu pengetahuan dan
kebenaran menurut Foucault ini menarik jika dilihat dari perspektif sejarah. Arkeologi
atau geanologi dari Foucault ini menggeser manusia dari posisinya sebagai
subyek modernitas sebagai pelaku utama. Dari sudut pandang peradaban Eropa yang
terkenal rasional dan serba logis ternyata dalam konteks sejarahnya banyak
melenceng dari idealisme Eropa sendiri. Sejarah tidak selalu diciptakan oleh seorang
aktor yang rasional logis yang dapat menjalankan roda sejarah secara linear dan
bergerak maju. Malah justru sebaliknya, sejarah diciptakan oleh hasrat,
keinginan, dominasi, kekuasaan yang tidak terkontrol, perselisihan pendapat dan
diskontiunitas. Sejarah yang rasional dan dipadu subjek adalah sejarah yang
dikonstruksi oleh epistemologi dan metodologi romantisme tentang dari kita
sendiri sebagai pelaku yang rasional.
Depok.
Hasby Marwahid
0 komentar:
Posting Komentar