Rabu, 29 Januari 2025

Piyungan Bantul dalam Lintasan Sejarah

Yogyakarta dekade 1800-1930-an; Sebuah Pengantar Singkat

Yogyakarta merupakan daerah dengan karakteristik historis yang berbeda dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Sebelum kemerdekaan, Yogyakarta merupakan daerah swapraja yang berbentuk kerajaan. Secara historis berawal dari kota istana atau kota keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat. Didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1756 pasca terjadinya peristiwa Palihan Nagari atau pembagian dua kerajaan (Surakarta-Yogyakarta) tahun 1755 hasil dari perjanjian Giyanti.[1] Pembagian dua kerjaan ini tidak hanya menyangkut tanah dan rakyat akan tetapi pembagian tanda-tanda kebesaran seperti lambang kekuasaan dan pusaka raja. Posisi raja dalam kekuasaan Jawa berlangsung turun temurun yakni mempunyai kekuasaan yang sentral dan absolut.[2] Dengan kedudukan sentral Sultan tersebut maka pemerintahan kerajaan diatur secara terpusat dengan sifat yang otokratis. Melihat hal tersebut, Sultan merupakan sumber satu-satunya dari segenap kekuasaan, kekuatan dan pemilik segala sesuatu di dalam kerajaannya. Konsep kerajaan Jawa ini berada pada satu lingkaran konsentris yang mengelilingi Sultan sebagai pusatnya.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakui daerah-daerah semi-otonom yang memiliki hak pemerintahan sendiri, dikenal dengan sebutan Zelfbesturende Landschappen atau daerah swapraja (daerah otonom/daerah istimewa). Wilayah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti Kasunanan, Kasultanan, Kerajaan, dan Kadipaten. Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya.

Secara administratif, wilayah Yogyakarta banyak mengalami perubahan dan penyusutan wilayah. Hal ini dikarenakan campur tangan pemerintah kolonial karena pelbagai keadaan yang terjadi pada saat itu. Mulai dari adanya pembagian wilayah dengan Paku Alam tahun 1811 sampai dengan adanya Java Oorlog (Perang Jawa 1825-1830). Wilayah Yogyakarta meliputi Mataram, Gunung Kidul, dan Wilayah Surakarta meliputi Pajang dan Sukowati (Sragen).[3] Pada perkembangannya wilayah Yogyakarta mengalami penyusutan wilayah lagi. Wilayah Yogyakarta dibagi menjadi enam kabupaten yakni Kulon Progo, Mataram/Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kalasan, dan Gunung Kidul.[4] Pada tahun 1927, Sultan Hamengkubuwana VIII mengubah pembagian dan nama wilayah administratifnya menjadi Yogyakarta, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo.[5] Menurut sensus yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930, jumlah penduduk di Yogyakarta sebanyak 1.559.027 orang yang terdiri penduduk Inlander (pribumi) 794.544 orang laki-laki dan 789.324 orang wanita; penduduk bangsa Eropa 7.317 orang, dan penduduk Tionghoa sebanyak 12.640
orang.[6]

Daerah Kota Baru (The Nieuwe Wijk), Tahun 1900an.

(Sumber:  collectie.wereldmuseum.nl)

 

Yogyakarta pada periode 1900-1930 bertambah hampir separuh dari jumlah populasi awal, sebuah peningkatan yang cukup signifikan. Penduduk pribumi, khususnya Jawa, mendominasi dengan kisaran persentase 98% dari total penduduk di seluruh wilayah Kesultanan dan hampir 90% di wilayah Kota Yogyakarta. Jumlah penduduk Eropa sangat kecil, meski demikian merekalah yang mendorong perubahan dalam ketatakelolaan pertanahan Yogyakarta baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hampir seluruh penduduk Eropa, yang sebagian adalah pegawai perusahaan perkebunan ataupun jasa lain yang berkaitan dengan perkebunan, tinggal di Kota Yogyakarta. Penduduk Eropa meningkat menjadi 7.317 orang pada tahun 1930, dan antara tahun 1920-1930, lebih dari 400 rumah baru didirikan untuk orang-orang Eropa.[7] Hal ini menunjukkan pluralitas penduduk Yogyakarta yang terbangun sejak masa kolonial sampai pasca kemerdekaan. Kedatangan bangsa asing ini tidak lepas dari sistem ekonomi yang dibangun pada masa kolonial yakni pada awal abad ke-20, di mana di Yogyakarta banyak terdapat perusahaan perkebunan swasta dan sektor jasa lain yang terkait dengan perkebunan.[8]

Penghujung abad ke-19 menjadi periode emas dari Keraton Yogyakarta. Pasalnya, pada saat di bawah pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII (1877-1921) membuka luas kesempatan investasi industri. Tahun-tahun 1900-an, pengusaha Eropa juga mengincar komoditi unggulan yang sedang laku dipasar dunia seperti kopi, indigo, tebu hingga tembakau untuk dikembangkan di Yogyakarta karena termasuk daerah vorstenlanden. Wilayah vorstenlanden dibebaskan dari kebijakan sistem tanam paksa karena di Yogyakarta berlaku hukum tanah dengan sistem apanage yang berbeda dengan daerah lain di Jawa.[9] Hal yang nampak jelas selanjutnya adalah kebutuhan akan tanah dan tenaga kerja untuk mengisi sektor tersebut. Hasilnya di tanah swapraja ini berdiri 33 perusahaan perkebunan dan 19 pabrik gula yang mendongkrak perekonomian pelbagai pihak pada saat itu. Lebih dari 80 persen lahan pertanian dikonversi menjadi perkebunan dan sekaligus dengan sawah serta pemiliknya.[10] Keadaan ini membawa banyak petani dan migran lokal sebagai pekerja yang dibayar. Sekitar 60.000 orang terlibat sebagai tenaga upahan musiman maupun permanen.[11] Jadi, hampir sebagian besar penduduk Yogyakarta terserap sebagai tenaga kerja di industri tersebut. 

Perlu diketahui bahwa pada dekade 1800an sampai dengan 1900-an, Yogyakarta berdiri pelbagai macam perusahaan dan pabrik-pabrik, mulai dari gula, tembakau, rosela, nila, serat dan sebagainya. Akan tetapi yang paling mendominasi adalah pabrik gula. Akan tetapi setelah dikeluarkannya Undang-undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) pelbagai perusahaan semakin banyak yang berinvestasi di Yogyakarta. Kebijakan ini pada dasarnya untuk mengatur hak dasar kepemilikan tanah bagi pribumi dan juga terkait dampak adanya tanam paksa (cultuurstelsel). Selain itu, kebijakan ini juga menjadi tonggak awal liberalisasi ekonomi yang berdampak luas ke depannya karena memberikan hak-hak yang luas kepada para pengusaha swasta.

Sebagai daerah swapraja, para pemegang tanah lungguh diperkenankan menyewakan tanahnya kepada orang asing dan diberikan hak-hak secara resmi sebagaimana pemegang tanah lungguh tersebut. Seperti menarik pajak dan untuk mendapatkan tenaga kerja wajib dari para pemilik tanah. Jangka waktu sewanya pada awalnya 20 tahun kemudian diperpanjang menjadi 30 tahun.[12] Pada awalnya para petani cukup senang karena dibebaskan dari pajak dan sebagai gantinya mereka harus mengikuti sistem gelabagan untuk mengadakan giliran penanam tebu dan padi di atas tanahnya. Apa yang sesungguhnya diinginkan dari industri gula ini adalah kerja wajib di atas tanahnya sendiri sesuai dengan perusahaan gula tersebut. Industri gula membutuhkan tanah yang paling subur dan irigasi yang baik, maka mereka memilih daerah persawahan di Sleman, Bantul, dan sebagian di Adikarto (Kulon Progo). 




Peta persebaran Pabrik Gula di Yogyakarta

(Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Kaart der suikerfabrieken, spoor- en tramwegen van Java en Madoera 1909, digitalcollections.universiteitleiden.nl) 

Peta diatas menunjukan bahwa begitu banyaknya perusahaan gula yang beroprasi di Yogyakarta. Pabrik Gula (P.G) Barongan merupakan yang tertua di Yogyakarta karena beroprasi mulai tahun 1860. Sedangkan yang paling muda adalah P.G Sendangpitu yang mulai beroprasi pada tahun 1922. Sejarah dari pabrik gula ini pada mulanya merupakan pabrik pengolahan nila menjadi pewarna tekstil. Dari 19 pabrik gula yang ada di Yogyakarta. Sebanyak 10 pabrik pada awalnya dibangun sebagai pabrik pengolahan nila. Namun, pada akhir abad ke-19, harga nila turun drastis karena ditemukan pewarna sistesis yang lebih praktis dari Jerman.[13] Kondisi ini yang menyebabkan sejumlah perusahaan pengolah nila beralih ke industri gula yang menguntungkan. Perusahaan gula ini sebagian besar menyewa tanah milik kraton Yogyakarta dan hanya 1 yang berada di tanah milik Kadipaten Pakualaman yakni P.G Sewu Galur.

Industri ini memiliki dua sisi yang berbeda yaitu perkebunan penanaman tebu dan pabrik pengolahan tebu yang keduanya saling mendukung. Industri gula tebu milik swasta yang beroprasi di Yogyakarta ini menanam tebu sendiri di tanah yang mereka sewa dan digiling menjadi gula di pabrik-pabrik gula mereka. Terkait dengan penyerapan tenaga kerja, sebuah pabrik gula biasanya dikelola oleh seorang manajer Belanda (administrateur) dengan bantuan stafnya (sinder/ opziener) yang terdiri 20-25 orang Belanda. Orang-orang Jawa yang bekerja di bawah orang-orang Belanda tersebut berjumlah sekitar 250-300 orang pada musim sepi dan bisa mencapai 800-1000 orang pada musim giling.

Selain itu, banyak para pekerja mencari kesempatan pekerjaan upahan di pabrik-pabrik gula dan menciptakan pergeseran perekonomian non-pertanian dengan munculnya jenis-jenis pekerjaan baru yang melayani kebutuhan pada sektor-sektor tersebut. Sebagai pembanding, pada tahun 1930an terdapat sekitar 273.060 orang yang hidup dari sektor pertanian, dan 163.397 orang yang bekerja di sektor industri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta tidak hanya hidup dari pertanian baik dalam industri tebu maupun tembakau, akan tetapi terdapat pelbagai macam sektor industri yang berkembang pada saat itu. Antara lain seperti industri batik, pertukangan, garam, tenun, perak, dan sebagainya.[14]

Berdirinya perkebunan tembakau maupun pabrik gula yang ada di Yogyakarta mempercepat monetisasi atau peredaran uang dikalangan penduduk pedesaan. Upah yang dibayarkan dari hasil bekerja di pelbagai industri gula dan tembakau sudah dikenalkan dalam bentuk uang. Selain itu, industrialisasi di Yogyakarta pada saat itu mengubah perekonomian tertutup yang berdasarkan sistem barter pada masyarakat pedesaan menjadi perekonian yang sudah menggunakan uang.[15] Meningkatnya peredaran uang ini juga merupakan stimulan bagi sektor industri karena banyak produk yang berasal dari pedesaan diekspor keluar Yogyakarta.

Yogyakarta dikelilingi perkebunan tebu, tembakau dan pabrik gula yang umumnya dimiliki perusahaan Belanda yang telah menguasai kehidupan perkebunan di Yogyakarta. Dalam konteks pengembangan wilayah Hindia Belanda, pada tahun 1864 dibangun jaringan transportasi khususnya kereta api untuk memenuhi kebutuhan transportasi umum dan onderneming.[16] Pemerintah kolonial Belanda memperluas wilayahnya dan mengijinkan perusahaan swasta membuat toko, gedung serta fasilitas perekonomian. Pada 1873, perusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatscahappij (NISM) yang berpusat di stasiun Lempuyangan telah membangun stasiun kecil di Ngabean serta tranportasi untuk pedagang kecil dari Pasar Bringharjo.


 

Akses transportasi Yogyakarta tahun 1930. Sumber: Toeristenkaart van Midden-Java 1930. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Selain itu, N.I.S.M juga membuka jaringan transportasi kereta api ke arah Utara dan Timur. Stasiun Tugu sendiri dibangun oleh Staat Spoorweg Maatschappij (S.S) pada tahun 1887 untuk kebutuhan pengangkutan hasil bumi dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya yang menghubungkan kota-kota Yogyakarta-Solo-Semarang.[17] Kemudian, pada tahun 1895 perusahaan Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS) membangun jalur kereta api lintas selatan Yogyakarta yang menghubungkan ruas Yogyakarta-Palbapang-Srandakan sampai Sewugalur sepanjang 28 km dan diresmikan pada tahun 1915-1916. Lalu, dari Ngabean ke Pundong sepanjang 27 km yang dibuka tahun 1917-1919. Jalur lintas utara Yogyakarta dibangun ruas Yogyakarta-Tempel-Magelang sepanjang 47 km dan dibuka pada tahun 1903. Dari semua jalur utara maupun selatan tersebut hampir semua melewati pabrik gula. Program ini menunjukkan bahwa Yogyakarta diharapkan menjadi pusat kegiatan ekonomi yang menjembatani hubungan-hubungan ekonomis yang berkembang daerah sekitarnya. Fungsi utama dibangunnya jaringan kereta api itu adalah untuk kepentingan transportasi pabrik-pabrik gula.

Terlepas dari itu, munculnya industrialisasi gula dan tembakau di Yogyakarta tidak serta-merta berimbas kepada kemakmuran penduduk pedesaan. Pasalnya, industri ini menjadi penghambat tumbuhnya kelas petani yang lebih makmur. Perusahaan Eropa memperoleh keuntungan karena dapat mengeksploitasi tanah yang subur milik petani dan tenaga kerja murah di pedesaan Jawa. Petani terikat pada aturan-aturan yang aturan-aturan kepentingan perkebunan dan tidak boleh menyimpang dari itu. Para petani juga begitu benci dengan perlakuan yang diberikan oleh para administrateur (administratur) dan para pejabat perkebunan yang rata-rata dipegang oleh orang Eropa. Selain dipaksa bekerja diperkebunan, para petani merasakan upah yang rendah dan tidak sebanding dengan beratnya pekerjaan. Akhirnya para petani menderita, kesakitan akibat lelah kerja berkepanjangan. Mereka juga miskin karena tidak bisa menghasilkan upah yang setimpal dengan harga kebutuhan rumah tangga saat itu yang ikut melambung.[18]

Dalam menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial, para petani tetap bertahan hidup dalam kondisi minimal dengan mengedepankan prinsip safety first atau mendahulukan selamat. Mereka melakukan tiga upaya demi bertahan hidup, pertama mengencangkan ikat pinggang lebih kencang, artinya disini seseorang harus mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan makanan sehari-hari dan menurunkan mutu makanan yang lebih rendah serta hanya makan sekali dalam sehari. Kedua, kegiatan swadaya keluarga petani seperti berjualan kecil-kecilan, menjadi tukang, buruh, bahkan migrasi. Ketiga, jaringan dan lembaga di luar keluarga seperti memanfaatkan bantuan sanak saudara, kerabat atau teman.[19] Selain itu, perlu diingat juga bahwa masyarakat tidak diam saja dalam menghadapi pelbagai tekanan. Mereka juga melakukan beberapa perlawanan terhadap keadaan dan tekanan dari pemerintah kolonial.

Ketika petani mendapatkan ketidakadilan, mereka tidak akan melakukan perlawanan secara terbuka dan terang-terangan lewat pengorganisiran masa (kolektif), namun melakukan resistensi. Resistensi merupakan strategi perlawanan dengan maksud untuk mempertahankan diri dengan cara-cara lunak demi kelangsungan hidupnya. Perlawanan dengan metode ini kadang tidak dianggap sebagai bentuk perlawanan karena tindakannya tidak mengancam pemilik kuasa. Bentuk resistensi antara lain, tidak ikut dalam gotong royong, berbohong, sabotase. Bentuk perlawanan yang tidak langsung tersebut terjadi karena moralitas petani yang lebih mementingkan keselarasan (keselamatan) dibanding konflik.[20]


 

Mengangkut Tebu ke Pabrik tahun 1917. (Sumber: Transport van suikerriet op de suikerfabriek 1917, geheugen.delpher.nl)

Para petani terikat kepada kewajiban-kewajiban tanaman komoditas yang diusahakan oleh industri kolonial dalam skala besar, dengan skema yang kaku dan wajib dijalankan. Di sisi lain mereka para petani masih harus melakukan wajib kerja, jaga malam dan pelbagai macam pajak yang dibebankan.[21] Sikap represif juga didapatkan para petani jika tidak sesuai dengan kepentingan perkebunan, seperti dicaci maki, dicambuk, bahkan hukuman penjara selama 8 hari. Keadaan sosial, ekonomi dan pelbagai tekanan yang dialami masyarakat selama proses kolonialisme ini berlangsung tentu menimbulkan adanya protes dalam berbagai cara. Seperti yang dibahas sebelumnya, bahwa ketika para petani mendapat ketidakadilan, mereka tidak melakukan perlawanan secara terbuka akan tetapi melakukan resistensi. Tujuannya hanya untuk mempertahankan diri demi kelangsungan hidupnya. Perlawanan mereka ditunjukkan seperti pemogokan maupun sabotase.

Di Vorstenlanden secara tradisional ada bentuk protes petani baik individual maupun aksi kolektif, yaitu nggogol dan mogok.[22] Aksi perseorangan dilakukan untuk melindungi kepentingannya dan membalas dendam kepada pihak pengelola perkebunan dan Belanda. Aksi yang dilakukan yaitu memukuli bahkan sampai membunuh administrateur perkebunan yang merupakan orang Eropa. Kasus yang sering terjadi adalah pembakaran lahan perkebunan tebu sebagai bentuk kekecewaan. Hal ini sering terjadi pada saat mendekati musim panen karena saat itu tanaman tebu akan menjadi kering dan mudah terbakar. Pembakaran ini juga dilakukan supaya para petani mendapat tanahnya kembali supaya mereka juga bisa lekas menanam padi lagi karena pasca kebakaran, pihak perkebunan tidak bisa melakukan apapun kecuali mengembalikan tanahnya kepada para pemiliknya. Kondisi jelas merugikan pihak perkebunan maka sejak itu banyak polisi mulai ditugaskan untuk menjaga perkebunan pada saat musim panen tiba.[23] Selain itu, pihak perusahaan perkebunan seperti di P.G Bantul dan P.G Gesikan, kemudian membentuk Cultuur-briade (pasukan pengamanan perkebunan) yang terdiri bukan dari penduduk setempat, melainkan didatangkan dari Ambon.

Jenis protes petani juga dilakukan secara kolektif yang pertama nggogol, yaitu melakukan jalan bersama menuju ke kabupaten dan menyampaikan aspirasinya seperti kenaikan upah, perlakuan sewenang-wenang mandor Jawa maupun opziener Belanda. Mereka tidak akan pulang sebelum masalah dan keluhan mereka diakomodir oleh bupati. Selanjutnya, bentuk perlawanan lain yaitu mogok, di mana petani secara kolektif menolak melakukan kerja wajib, menghentikan produksi yang mengakibatkan kerugian dari pihak perkebunan. Dalam aksi mogok ini, bupati dan asisten residen turun tangan untuk mendengarkan keluhan mereka dan mencari solusinya. Di Yogyakarta, segala bentuk protes ini terjadi sejak lama sebenarnya, di mana pada tahun 1882 sudah pernah terjadi.[24] Aksi-aksi tersebut hampir terjadi tiap tahun dan tangani pejabat Belanda maupun Jawa. Memasuki abad ke ke-19, dalam kurun tahun 1918-1921 merupakan tahun-tahun banyaknya terjadi aksi-aksi protes di perkebunan tebu.

Kasus yang sering terjadi adalah terbakarnya perkebunan dan sampai pada tahun 1918 sekitar 151 kali kasus tersebut terjadi. Pembakaran lahan perkebunan ini merupakan bentuk kekecewaan yang sering dilakukan secara perorangan maupun kelompok.[25] Bermula di daerah perkebunan tebu Padokan, kemudian bergeser ke arah selatan selatan kota seperti Bantul, Pundong, Barongan dan kemudian menyebar ke perkebunan tebu Cebongan dan ke Tanjung tirto. Ketika aparat sibuk dengan masalah perkebunan tebu yang terbakar, pada tanggal 28 Juli 1918 di perkebunan gula Bantul muncul protes petani (nggogol) yang dipimpin oleh bekas mandor, Troenaprawiro. Sebanyak 500 orang mendatangi kantor manajer perkebunan dan menuntut upah kerja wajib yang tidak dibayar. Ketidakpuasan atas solusi yang diberikan kepada petani, protes selanjutnya Troenaprawiro menggalang massa menjadi 1.500 orang petani datang kantor kabupaten. Aksi ini ternyata tidak bisa dianggap sebelah mata, dan beritanya sampai di Kementrian Urusan tanah Jajahan yang mengakibatkan dipecatnya bupati Bantul.[26]

 

Gambaran sawah di Yogyakarta tahun 1915. (Sumber: Een sawa bij Djocja, 1915. geheugen.delpher.nl)

Aksi protes para petani ini karena beban kerja dan upah yang tidak sebanding. Mereka menuntut kenaikan upah, persamaan hak buruh Belanda dan pribumi, perbaikan kondisi kerja, delapan jam sehari, libur sehari dalam seminggu, dan tambahan bayaran untuk kerja lembur.[27] Menjadi menarik, kenapa petani mau menyerahkan sawahnya kepada perusahaan perkebunan? Hal ini bisa dilihat pasca di tetapkannya U.U Agraria 1870, terkait dengan tata guna tanah, dalam salah satu isinya bahwa tanah milik rakyat dan tidak bisa diperjual-belikan kepada non-pribumi. Rakyat diberikan hak eingedom atau hak mutlak untuk memiliki tanah. Petani bebas untuk menggunakan lahannya untuk tanaman pangan dan dikenakan pajak atau upeti dari hasil lahannya. Namun, jika disewakan kepada pihak perkebunan para petani bebas dari pajak tersebut. Hal ini dikuatkan dari Resident Yogyakarta W.G. Van Andel, sesuai dengan perintah pihak perkebunan dan pabrik gula bahwa pada tahun 1911, lahan sawah yang tidak ditanami tebu akan dikenakan pajak. Jadi, masyarakat Yogyakarta lebih memilih mengganti tanaman pangan seperti padi maupun palawija dengan tanaman tebu.[28] Selain itu, lahan para petani diwajibkan untuk disewakan untuk ditanami tebu karena pajak dari hasil panen pribumi kurang menguntungkan. Kebijakan ini menunjukan bagaimana peran pemerintah serta pengusaha swasta perkebunan menekan para petani dan memopoli pemanfaatan lahan demi keuntungan mereka.

Perlu dicatat juga, bahwa pada tahun 1930 an juga terjadi krisis atau depresi ekonomi global (the great depression) yang melanda dunia tidak terkecuali Indonesia (Hindia Belanda). Zaman ini juga dikenal dengan zaman malaise yang orang lokal menyebutnya sebagai “djaman mleset” (zaman meleset).[29] Perkebunan tebu yang sebelumnya mencapai 17.000 hektare menyusut menjadi 1.100 hektare pada tahun 1935. Keadaan ini tentu berdampak bagi dengan pengurangan lapangan kerja secara besar dan pada saat yang sama penurunan tingkat upah. Jumlah yang kehilangan pekerjaan cukup signifikan, dari total pekerja perusahaan perkebunan sebanyak 1,2 juta orang sebelum depresi, menurun menjadi 600 ribu orang.[30] Inflasi juga terjadi bersamaan dengan menurunnya produksi komoditas dan menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok menjadi mahal sehingga daya beli masyarakat menurun drastis.[31] Beberapa pengusaha pribumi maupun asing juga mengalami kebangkrutan akibat dari ketidakpastian ekonomi ini. Industri perkebunan yang menjadi tulang punggung perekonomian di Yogyakarta mengalami penurunan yang cukup signifikan pada masa ini. Terlihat dari 17 industi gula yang ada hanya tinggal 7 buah yang masih beroprasi pada masa pendudukan Jepang.[32] Terlebih saat terjadinya revolusi kemerdekaan, hampir semua industri gula yang ada di Yogyakarta dihancurkan. Sisa-sisa pabik gula yang berhasil dibangun lagi yakni pabrik gula Maduksimo di Bantul yang bertahan sampai sekarang. Setidaknya depresi ekonomi yang terjadi tahun dekade 1930-an, menjadi awal terjadinya deindustrialisasi di Yogyakarta.

Piyungan dalam lintasan Sejarah


 

Peta Piyungan tahun 1850

(Sumber: Kaart van Java en Madura, 1850, digitalcollections.universiteitleiden.nl)

 

Berdasarkan arsip tahun 1857, secara administratif Residentie Djogjakarta terbagi menjadi tiga regenstschap; Mataram Kulon, Mataram Wetan dan Goenoeng Kidoel. Mataram Kulon terdiri dari 5 districten: Galoor, Pangasih, Nangoelan, Sentolo, Kalibawang. Sedangkan Mataram Wetan 4 districten: Sleman, Kota Djogjakarta, Bantoel-Karang, dan Kalasan. Sedangkan Goenoeng Kidoel 2 districten saja: Awoe-awoe dan Semano.[33] Piyungan sendiri kemungkinan secara administratif masuk dalam regentschap Mataram Wetan, Districten Kalasan. Pada peta tersebut, nama daerah Piyungan belum tercatat. Namun beberapa daerah seperti Pager Gunung dan Jolosutro sudah tercatat. Pada waktu pembuatan peta tersebut, W.F. Versteeg yang merupakan kartografer melakukan blusukan ke lapangan atau hanya berdasarkan laporan dari informan pada waktu itu. Jadi tidak semua nama desa bisa tercatat dengan baik. Selain itu, posisi dari beberapa desa koordinatnya berbeda atau bergeser jauh karena pembuatan peta pada zaman itu teknologinya belum semodern sekarang. Namun, dari sumber lain Kaart van Java en Madura yang diterbitkan pada tahun 1850, nama Piyungan sudah tercatat dengan nama Pijoengan. (lihat peta di atas). Mulai tahun 1870-an, Piyungan sudah cukup tercatat dengan baik beserta desa-desa di sekitarnya.


Daerah Piyungan tahun 1870

(Sumber: Topographische kaart der residentie Djokjakarta 1870, digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Pada peta tersebut cukup detail terkait dengan keberadaan Piyungan dan sekitarnya. Desa-desa yang berada disekitarnya bahkan sampai sekarang masih menggunakan nama-nama tersebut seperti; Madugondo, Bintaran, Kabregan, Djasem, Ngijo, Bebekan, Wanujoyo, Pajangan, Petir dan sebagainya. Terlihat dalam peta tersebut, daerah Piyungan masih banyak persawahan yang cukup luas dengan warna diagonal samar bergaris. Sedangkan yang warna hijau tersebar ini menunjukan wilayah pedesaan. Jalan besar yang sekarang menjadi Jalan Yogyakarta-Wonosari hanya sampai di Piyungan saja (gewone postweg), sedangkan untuk menuju arah Gunung Kidul belum terhubung dengan baik.

Kondisinya jalannya juga tidak rata sehingga pengangkutan gaplek dengan gerobak dari Wonosari ke Yogyakarta yang melewati jalan Piyungan terkendala.[34] Jembatan penghubung antara Wonosari dengan Yogyakarta yang berada di Tambalan Patuk baru dibuka pada tanggal 22 Agustus 1925 dan diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwana VIII.[35] Kemudian, jalan ke arah utara dari Piyungan ke arah Prambanan sudah terhubung meski jalannya kecil dan berpasir. Dari beberapa desa yang ada di Piyungan sudah saling terhubung dengan jalan-jalan kecil atau yang disebut peddatie weg atau jalan untuk pedati. Biasanya jalan tersebut untuk mengangkut hasil-hasil persawahan baik padi maupun palawija. Pada peta tersebut menunjukan bahwa daerah Piyungan merupakan daerah subuh yang mayoritas penduduknya hidup disektor agraris atau petani.

Peta Residentie Yogyakarta Tahun 1890

(Sumber: Residentie Jogjakarta 1890, digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Pada perkembangannya, setelah 20 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1890, Piyungan semakin terkoneksi dengan daerah lain dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan jalur transportasi yang sudah terjalin baik dengan daerah lainnya. Jalan dari Piyungan ke arah utara menuju Prambanan maupun dari Piyungan ke Wonosari melewati Patuk sudah berubah menjadi jalan pos utama atau jalan raya (groote post of rijweg). Kemudian, dari peta tersebut tampak bahwa Piyungan masuk ke dalam Kabupaten (Regenschaap) Kalasan. Berdasarkan penjelasan dari Toelichting behoorende bij de Kaart van de Residentie Jogjakarta 1892, Piyungan termasuk ke dalam District Prambanan-Regentschaap Kalasan-Residentie Yogyakarta-Afdeling Mataram.[36] Dinamika administrasi, penambahan pengurangan naik turun status sebuah wilayah merupakan hal yang biasa seiring dengan penambahan penduduk.

Menurut sensus yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1920an, jumlah penduduk Piyungan mencapai 16.675 orang. Terdiri dari orang Eropa sebanyak 17 orang, Inlanders (Pribumi) sebanyak 16. 647 orang, Cina sebanyak 11 orang. Kemudian pada sensus yang dilakukan pada tahun 1930 penduduk Piyungan meningkat dengan rincian orang Eropa 32 orang, Inlanders (Pribumi) 20.051 orang yang terdiri dari 9.767 laki-laki dan 10.284 perempuan, Cina sebanyak 33 orang dengan total keseluruhan penduduk sebesar 20.116 orang.[37] Data tersebut menunjukan peningkatan jumlah penduduk Piyungan yang meningkat sebesar 20,64 persen.


Suasana Pedesaan di Yogyakarta tahun 1915.

(Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Orang Eropa yang berada di Piyungan biasanya bekerja di onderneming (perkebunan) atau sebagai pegawai pemerintahan. Sedangkan untuk penduduk pribumi bertambah sebanyak 3.441 orang dalam waktu 10 tahun. Orang Cina yang berada di Piyungan juga bertambah menjadi 33 orang. Sebagaimana lazimnya persebaran mereka di Jawa, orang Cina biasanya bekerja sebagai pedagang kelontong. Komoditas yang dijajakan merupakan barang-barang jadi dan barang kelontong kebutuhan rumah tangga seperti: kapas mentah, garam, nila, tembakau, jahe, sutera, porselin, tikar pandan, alat perkebunan, dan alat perang (senjata tajam). Selain itu, mereka juga membeli hasil-hasil dari penduduk sampai ke desa-desa seperti: kopra, singkong, jagung, beras, kulit, gula jawa, dan kerajinan rumah tangga.[38]

Sementara itu, reorganisasi pemerintahan di Yogyakarta dari tahun 1916 sampai tahun 1940 akhirnya selesai dan dipakai sampai sekarang, dari sebelumnya 6 Kabupaten/kota menjadi 1 kotamadya dan 4 kabupaten. Posisi Piyungan sendiri secara administratif juga berubah, pada tahun 1920an masuk di district Kota Gede, pada tahun 1930 masuk district Prambanan, dan pada tahun 1940an sampai sekarang masuk district Bantul. Dalam konteks pemerintahan pada tingkat desa di Kasultanan Yogyakarta beberapa kali perubahan pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini. Pembahasan pengelolaan administrasi dan kewilayahan desa dalam konteks ini berhubungan erat dengan masalah penguasaan tanah (agraria) yang ada di wilayah desa.

Secara geografis, berdasarkan peta pada tahun 1930an letak Piyungan berada di sisi timur dengan banyak daerah daratan yang berupa persawahan, kebun, dan beberapa dataran tinggi. Piyungan sendiri banyak dilintasi sungai-sungai kecil yang dimanfaatkan untuk irigasi persawahan. Selain itu, pohon kelapa juga cukup mendominasi ditanam dibeberapa desa-desa. Jarak antara satu desa dengan desa yang lain tidak terlalu jauh dengan dipisahkan area persawahan dan kebun lebat. Selain itu, sudah terkoneksi dengan baik dengan terdapat jalan utama (Hoofdverbinding wegens) dengan lebar sekitar lebih dari 4 meter dan jalan antar desa lebih sempit dengan lebar kurang lebih 3 meter an. Hal ini digunakan sebagai sarana transportasi pedati untuk mengangkut hasil-hasil persawahan seperti padi maupun palawija.

Jalan Jogja-Solo tahun 1922. 

(Sumber: de 'grote weg' van Jogjakarta naar Soerakarta 1922 collectienederland.nl) 

Piyungan sendiri terletak tidak cukup jauh dengan pabrik gula yang menjadi pusat industri di Yogyakarta pada saat itu.[39] Pabrik gula yang jaraknya terjangkau yaitu P.G Kedaton Plered dan P.G Tanjungtirto. Selain itu, di daerah Piyungan yakni Wanujoyo menjadi sebuah onderneming (Og/perkebunan besar). Dalam beberapa catatan pemerintah kolonial Belanda, onderneming Wanujoyo masih menjadi satu manajemen dengan onderneming Sorogedug yang lahan konsesinya ditanami rosella, serat, nila (indigo), dan juga tembakau. Kedua perkebunan ini merupakan milik keluarga Erven G.L Dorrepaal yang didirikan pada tahun 1887 di Den Haag dengan nama perusahaan N.V Klattensche Cultuur Maatschappij (KCM).[40]

Pada mulanya perusahaan ini berpusat di Klaten dan pada tahun 1910 mereka memperluas usahanya dengan menyewa lahan di daerah swapraja antara lain Wanujoyo dan Sorogedug.[41] Jejak yang masih tersisa hingga sekarang masih terlihat jelas di daerah Sorogedug berupa bekas-bekas gudang tembakau, rumah pegawai, dan fasad lainnya. Di sisi lain, onderneming Wanujoyo tanah konsesi yang disewa oleh N.V KCM meliputi areal persawahan yang berada di areal persawahan Wanujoyo, Poitan, Krasaan, Mandungan, Onggopatran, Payak dan kira-kira sampai Jogomangsan. Jejak yang ditinggalkan yang masih bisa dilihat sampai sekarang yaitu keberadaan administrateurs woning (Rumah administratur) atau masyarakat biasa menyebut dengan loji yang berada di sebelah timur desa Kotengan. Selain itu, pada tahun 1990-an, terdapat bekas gudang tembakau yang sekarang sudah menjadi perumahan Griya Taman Sari 1 (GTS). Terdapat pula decauville (jalur kereta lori)[42] yang menghubungkan pelbagai daerah di areal konsesi dari N.V KCM mulai dari gudangnya di Poitan ke arah barat Krasakan-Kaliwinih-Bangkel-Klenggotan-sampai daerah Nglengis-Madugondo, dan ke arah Utara sampai ke Jogomangsan-Tanjungtirto.

 

Peta Kotegede 1926.  (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)


Onderneming Wanujoyo lahan konsesinya ditanami beberapa tanaman silih berganti tergantung dari komoditi yang sedang menguntungkan. Mulai dari tebu (suikerriet), tembakau (tabak), dan juga rosella (vezel/serat). Pada tahun 1911-1912, Onderneming Wanujoyo bisa menghasilkan tembakau sebanyak 520.420-600.000 kg tembakau untuk keperluan ekspor.[43] Setelah terjadinya depresi ekonomi tahun 1930-an, dengan banyaknya industri gula yang bangkrut, maka pada tahun 1937 diusahakan untuk budidaya tanaman rosella. Tanaman ini diproduksi dalam skala besar diolah menjadi serat untuk dijadikan pelbagai macam produk seperti tas, tekstil, tali tambang, dan karung/goni. Bahkan ujicoba dari penanaman ini mendapat hasil yang positif dan sebagaimana dikutip dari surat kabar Belanda, bahwa “Rosella dari Wanoedjojo dan Delaugoe (Delanggu) diolah menjadi serat dan mendapat peringkat yang sangat baik di Eropa”.[44] Onderneming Wanujoyo dikepalai oleh Administrateur bernama Ir. H. A. W. Scheuer dengan beberapa karyawan inti yang merupakan orang Belanda yaitu A. ten Cate, F. C. Steenhard Sluijter, M. H. T., Keilman, W. G. Masius, L. R. K. E. Reijokers, a.t.e, A. Wardenaar, dan V. Th. G. Giezen, H. W. Verburgt.[45] Sedangakan, masyarakat pribumi sangat sulit untuk duduk di jajaran atas pengurus perkebunan. Meski dibeberapa daerah lain bisa namun perbandingannya sangat sedikit. Pribumi hanya menjadi buruh (koeli) yang bekerja
secara kasar baik di pabrik maupun di perkebunannya.

 

Salah satu loji tembakau milik ondermening Wanoedjojo

 (Sumber: koleksi pribadi, 2024) 

Kemajuan bahkan kemunduran pelbagai industri yang ada di Yogyakarta khususnya di daerah Piyungan menjelaskan bahwa sudah terdapat sistem ekonomi terbuka berskala cukup besar di daerah ini. Hal ini juga menunjukan bahwa kemajuan pesat dari pelbagai industri baik perkebunan dan pabrik milik kolonial Belanda hampir dipastikan menggunakan sebagian besar lahan persawahan milik masyarakat di Piyungan dan sekitarnya. Sebagai perbandingan, usaha pertanian tradisional masyarakat pedesaan pada umumnya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tidak padat modal, lahan terbatas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, dan berorientasi pada kebutuhan sendiri (subsisten).[46] Sedangkan Sistem perkebunan merupakan bentuk usaha pertanian skala besar dan sangat kompleks, bersifat pada modal, penggunaan areal pertanahan yang luas, tenaga kerja dan sebagainya yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia.[47]  Hal ini menyebabkan benturan kepentingan antar kedua belah pihak, dimana para pribumi selalu dipaksa untuk menuruti kebijakan dari pemerintah demi menuruti jalannya sistem perkebunan yang dijalankan oleh pihak swasta. Maka tidak heran, bahwa tekanan dan beratnya kewajiban tersebut membuat para petani meluapkan
kekesalannya dalam pelbagai macam bentuk protes.

Gerobak sapi di perusahaan Tembakau Tahun 1921

(Sumber: Ossenkarren op een tabaksonderneming 1921, collectie.wereldmuseum.nl)

Seperti yang sudah dibahas di atas, bahwa para petani melakukan protes-protes akibat dari beratnya pekerjaan dan hak-hak mereka yang tidak diakomodir baik oleh pemerintah maupun pihak perkebunan. Kasus-kasus terbakarnya perkebunan juga terjadi di daerah Piyungan, terutama di kawasan onderneming Wanujoyo. Pada tanggal 5 September 1916, gudang tembakau di onderneming Wanujoyo terbakar.[48] Pihak polisi dan perkebunan sudah melakukan pemeriksaan dan belum ditemukan penyebab kebakaran tersebut. Kemudian, pada bulan April 1922, para buruh menuntut kenaikan upah dan melakukan mogok kerja. Hal ini direspon secara represif oleh pihak perkebunan dengan memecat sebanyak 62 orang. Pada keesokan harinya, gudang tembakau yang berada di onderneming Wanujoyo terbakar.[49] Kebakaran gudang tembakau tidak serta merta dilakukan oleh para petani saja (subjek yang selalu dicurigai dan dituduh menurut pemerintah kolonial Belanda), namun juga disebakan oleh alam. Seperti yang terjadi pada bulan April 1932, dimana petir menyambar atap bangunan yang mengakibatkan gudang tembakau terbakar habis.[50]

Kasus pencurian juga sering terjadi di area onderneming Wanujoyo. Pada bulan Juli 1931, tiga orang pribumi bernama Toeijo, Hardjosentono dan mbok Kromowirjo dari desa Poitan dijatuhi hukuman 3 bulan karena dituduh mencuri nila milik onderneming Wanujoyo.[51] Daerah Piyungan juga bermunculan para kecu, bandit, begal yang melancarkan aksinya dan meneror masyarakat. Surat kabar De Indische courant pada tanggal 11 April 1924 memberitakan, penangkapan seseorang bernama Paidjan yang meresahkan masyarakat. Dia merupakan salah satu orang yang melakukan kekacauan di P.G Tanjungtirto Berbah. Pada awalnya dihukum penjara 8 tahun, namun hakim memvonis bebas. Namun, menurut berita tersebut dia melakukan kekacauan lagi dan ditembak mati di daerah Tanjungtirto.[52]

Selain itu, fenomena ratu adil juga muncul di Piyungan. Gerakan ratu adil ini merupakan ideologi mesianisme yang mengandung harapan datangnya zaman adil dan makmur. Zaman itu ditandai dengan datangnya ratu adil atau Imam Mahdi. Ideologi mesianisme ini tidak dapat dipisahkan dengan milenarisme yang menggambarkan keadaan dimana suatu masyarakat mengalami zaman keemasan dan penuh kesejahteraan. Masyarakat tidak akan mengalami penderitaan, kesusahan, kelaparan, dan akan digantikan dengan zaman yang baru. Mesianisme dan milenarisme ini ingin merealisasikan harapan-harapan tersebut bukan hanya mitos maka dilaksanakan dengan cara-cara yang magis.[53]

Seperti yang terjadi pada hari kamis tanggal 26 Maret 1936, diadakan pertemuan rahasia “Ratoe Adil” di desa Blonotan Piyungan. Pemimpinnya dan yang dianggap sebagai ratu adil bernama Kartosoediro alias Wastrodiwardjo alias Sakijem. Dia dibantu oleh pamannya yang tinggal satu rumah bernama Kartosemito. Pada pertemuan ini dihadiri lebih 500 orang baik pria maupun wanita yang datang dari pelbagai penjuru desa lain. Menurut laporan dari wartawan surat kabar “Sedio Tomo” yang pada saat itu hadir, bahwa semua duduk jongkok di tanah sedangkan para pemimpinnya duduk dikursi. Kartosoediro terlihat mengenakan kemeja putih dan mengikatkan kain merah dilehernya. Dinding rumah terdapat banyak keris, tombak termasuk gambar ular bertuliskan Kijaie Setomi.



Pengadilan di Yogyakarta tahun 1886. (Sumber: Rechtszaak bij de assistent-resident 1886, collectienederland.nl)

Para tamu wajib membawa beras, menyan, serta uang satu sen dan sebagai imbalan mereka mendapatkan botol berisi air suci. Jika tidak membawa persyaratan tersebut dan tidak ikut pertemuan ini maka akan berubah menjadi monyet putih. Sebelum pertemuan ini digelar, para tamu diperlihatkan sebuah tanaman sakral yang berupa pohon kapuk dinamai Randoe Koembolo.[54] Pertemuan ini diketahui oleh pihak pemerintah dan polisi. Pada Jum’at malam polisi datang membubarkan pertemuan ini serta menangkap Kartosoediro dan Kartosemito, juga disita sekitar 50 keris dan tombak yang akan disucikan, uang tunai kurang lebih 50 gulden, beras beberapa pikul dan kemenyan yang cukup banyak.[55]

Kartosoediro sendiri merupakan bekas mandor pabrik (fabrieksmandoer). Dalam catatan wartawan Belanda, Kartosoediro sudah lama menarik perhatian warga dan tetangga datang mengunjunginya di waktu yang tidak biasa. Awalnya jumlah mereka sedikit, namun jumlah tersebut cukup untuk membuat kabar angin, rumor dan membuat orang banyak percaya. Kartosoediro menyatakan bahwa negara akan dilanda bencana besar dan yang akan selamat adalah para pengikutnya. Ramalan dan janji-janji dari ratu adil bahwa para pengikutnya akan bahagia, tidak ada rasa khawatir, sembuh dari segala macam penyakit, tidak perlu lagi membayar pajak, dan akan mendapat bagian tanah untuk digarap.[56] Janji-janji di zaman yang susah membuat banyak masyarakat yang menaruh banyak harapan akan perubahan nasib, ditengah pelbagai tekanan internal maupun eksternal dari para masyarakat yang mayoritas adalah petani.

Pasca tertangkapnya Kartosoediro, ratu adil muncul lagi di Piyungan pada tahun 1936 tepatnya di desa Bintaran. Djojosoewardi muncul dan mengaku sebagai putra dari Gusti Achmad yang juga dikenal dengan Gusti Soerangalaga yang merupakan putra mahkota Sultan V Yogyakarta yang diasingkan oleh Belanda ke Manado. Dia mengaku sebagai pewaris tahta yang sah sebagai raja Kesultanan Yogyakarta. Djojosoewardi bukan merupakan penduduk asli desa Bintaran, melainkan pendatang. Dia mendekati Kartoigeno yang merupakan orang yang punya pengaruh di desa itu. Berdasarkan laporan dari sidang di landraad (pengadilan umum) Yogyakarta, Djojosoewardi mengajarkan kebatinan kepada masyarakat yang motifnya mirip yang terjadi di desa Blonotan. Bahkan kepada desa Bintara, Raden Soeropratomo mengatakan bahwa banyak orang desa yang percaya bahwa Djojosoewardi memang benar-benar Ratu adil.[57] Namun, fenomena ini tidak berlangsung lama karena pengikutnya tidak sebanyak yang ada di desa tersebut.

Protes lain yang muncul di Piyungan juga terjadi pada akhir tahun 1935, di mana seseorang bernama Karsosetiko menghasut penduduk untuk tidak membayar pajak. Protes ini berbeda dengan protes-protes petani yang ada di Piyungan sebelumnya. Masalah ini dengan mudah ditangani oleh pemerintah kolonial dengan menangkap Karsosetiko.[58] Mengapa ratu adil dan pelbagai protes lain muncul di Piyungan? Menjadi menarik untuk diulas meskipun sedikit. Dari alam kebudayaan Jawa bahwa unsur-unsur millenium sudah ada sejak sebelum datangnya bangsa Barat, yaitu pada masa Hindu-Jawa dengan kepercayaan terhadap Erucaraka. Masa kekuasaan Erucaraka/Herucaraka/Ratu adil dihubungkan dengan milenium yaitu dunia digambarkan sebagai berikut “jika zamannya nanti, tak ada lagi pertentangan, ketidakadilan, dan penderitaan; rakyat akan bebas dari pembayaran pajak yang memberatkan, dari wajib kerja. Tidak ada penyakit dan pencuri; sandang pangan akan melimpah, setiap orang akan memiliki rumah, semua orang akan hidup tentram dan damai”.[59]

Suasana pasar di Yogyakarta tahun 1910.

(Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl) 

Di Piyungan, beberapa kasus dilaporkan terjadi karena didukung oleh organisasi yang berkembang di Yogyakarta seperti Pakempalan Kawulo Ngayogyakarta (PKN), Personeel Fabriek Bond (PFB) yang dipimpin oleh Soerjopranoto, maupun Asosiasi Windoe Kentjana yang merupakan dampak dari ajaran kebatinan dari Ki Surya Mentaram.[60] Akhirnya, penting untuk dicatat banyaknya protes-protes di Piyungan dan bagaimana janji-janji yang terkandung di dalam banyak ramalan tentang millenarisme diarahkan secara khusus kepada rakyat biasa. Kepercayaan, bahwa dunia ideal dibayangkan kedatangannya dalam tradisi millenarisme terutama yang akan menguntungkan rakyat biasa, adalah suatu pencerminan logis dari frustasi dan kebutuhan materi sehari-hari. Beberapa contohnya adalah ramalan tentang melimpahnya makanan dan pakaian, berakhirnya pajak, kerja wajib dan pembagian tanah pertanian yang sama rata.

Sejarah Jawa abad ke-19 dan 20an telah menyodorkan suatu gambaran yang luar biasa tentang masyarakat tani yang berantakan di bawah dampak kekuasaan penjajah. Meskipun protes tradisional dalam pelbagai kejadian di Jawa masa kolonial dihubungkan hal yang bersifat religius, namun dalam banyak dari gerakan protes tersebut mempunyai aspek duniawi. Protes-protes petani banyak disebabkan mencakup persoalan-persoalan duniawi dan lahir dari konflik-konflik ekonomi. Bahwa yang membuat rakyat mau menerima ideologi revolusioner adalah munculnya pemimpin agama yang mempunyai kharisma, penyebaran ide millenaristis mereka dan kebencian terhadap apa saja yang berbau asing yang ditanamkan oleh pemimpin tersebut. Dalam masyarakat tani yang mengalami tergusurnya tradisi, gerakan ratu adil kerap kali di bayangkan sebagai pemulihan kembali tertib tradisional pribumi di dalam bentuk yang sedikit banyak diidealisasikan.


Bupati Bantul R.T. Dirdjo koesoemo, 1920. (Sumber: Portret van R.T. Dirdjo koesoemo, regent van Bantool, Java, ca.1920, collectienederland.nl)

Respon dari pemerintah kolonial dalam memandang fenomena dari pelbagai protes masyarakat petani ini cukup kaku. Artinya, mereka memandang hal ini dari sudut pandang kekacauan, tidak tertib, menganggu stabilitas, tidak sesuai norma. Padahal, yang terjadi merupakan fenomena yang terjadi akibat dari perubahan sosial-ekonomi dampak dari sistem kolonial yang diberlakukan. Misalnya dalam kasus ratu adil yang ada di Blonotan, pemerintah memandang kasus-kasus dimasyarakat harus ditangani dengan tangan besi. Surat kabar De locomotief mengabarkan, dengan banyaknya kejadian-kejadian yang ada di Piyungan ini, menunjukan tidak tegasnya penyelenggara pemerintahan dimana asisten-wedana Piyungan yang sudah menjabat selama 30 tahun an untuk diganti.[61] Di sisi lain, tahun-tahun tersebut banyak gerakan kebatinan, maupun serikat yang berkembang seiring dengan tumbuhnya zaman pergerakan nasional.

Daftar Referensi

Arsip

Algemeen Verslag der Residentie Djogjakarta 1890”, ANRI, Arsip Djogja, bundle 5.

Koleksi Arsip Binnenlandsch Bestuur 1931.

Arsip Puro Pakualaman masa Pemerintahan PA V No 7.

Arsip Puro Pakualaman kurun waktu 1822-1936, No 155.

Brinkmans Cultuur-Adresboek Voor Nederlandsch-Indië: 1939.

Departement Van Economische Zaken, Volkstelling 1930 Deel III: Inheemsche Bevolking Van

Midden-Java En De Vorstenlanden. Batavia Centrum: Landsdrukkerij, 1934.

Gegevens Over Djokjakarta 1925.

Gegevens over Djokjakarta 1926.

Kaart der suikerfabrieken, spoor- en tramwegen van Java en Madoera (bijgewerkt tot 1 Juni 1925) http://hdl.handle.net/1887.1/item:2011835

Kaart van de Residentie Djocjakarta, 1857.

Koloniaal Verslag 1914. Nederlandsch (oost-) indië., Bijlage NN.

Toelichting behoorende bij de kaart van de residentie Jogjakarta 1892.

Uitkomsten Der In De Maand November 1920 Gehouden Volkstelling Dell II. Drukkerijen Ruygrok & Co, 1922.

Volkstelling 1930 Deel II, Inheemsche Bevolking van Midden-Java en de Vorstlenlanden, (Batavia: Departement van Economische Zaken, 1934).

Surat Kabar Sezaman

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 27 Desember 1928. 

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 02 April 1936.

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 19-06-1937 

Darmo-Kondo No. 104, Tahun ke-VI, Sabtu, 9 September 1916.

De Avondpost, 05 Juli 1936.

De locomotief 28 Mei 1936.

Deli courant, 09 April 1936.

De Indische Courant, 19 April 1932. 

De nieuwe Vorstenlanden, 25 April 1922

De Sumatra post, 11 April 1936.

Mata-hari, No.2 Tahun 4, Senin, 4 Januari 1937.

Pemandangan, No.3 Tahun ke-5, Selasa 5 Januari 1937.

Soerabaijasch handelsblad 03 April 1936.

Jurnal

O’ Malley, William Joseph. “Indonesia di masa Malaise: Suatu studi terhadap Sumatera Timur dan Yogyakarta di tahun 1930-an”. Prisma No. 8, Tahun XII Agustus 1983.

Purwanto, Bambang. “In Search of New Opportunities: The Indonesianisasi of Economic Life in Yogyakarta in the 1950s”, dalam Journal Masyarakat Indonesia, vol. 39, No. 2, 2017.

Prasetyo, Yudi. Dari Pikulan ke Kelontong: Tionghoa dan Toko Kelontong Yogyakarta 1900 – 1942. ENTITA: Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial. Vol. 2 No. 1, Juni 2020.

Utomo, Djoko. “Pemogokan Buruh Tani di Abad ke-19: Kasus Yogyakarta,” Prisma, 8 Agustus 1983.

Buku

Bosma (ed), Ulbe. Sugarlandia Revisited: Sugar and Colonialism in Asia and the Americas, 1800-1940. New York: Berghahn Books, 2007.

Colombijn dkk (ed), Freek. Kota Lama Kota Baru; Sejarah Kota-kota di Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2015.

de Vries, E. Pertanian dan kemiskinan di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.

Fakih dkk (Peny), Farabi. Bersinergi dalam Keistimewaan; Peran Bank Indonesia dalam Pembangunan Ekonomi Yogyakarta. Jakarta: BI Institute, 2020.

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi: Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. 

Haryono, Anton. Mewariskan Tradisi Menemukan Solusi; Industri Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta masa Kolonial (1830-an-1930-an). Yogyakarta: Penerbit USD, 2015.

Holt (Ed), Claire. Culture and Politics in Indonesia. Jakarta: Equinox Pub, 2007.

Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.

Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Marwahid, Hasbi. Berwisata setelah Perang: Strategi Pemerintah dalam Membangun Pariwisata di Yogyakarta 1954-1966. Tesis tidak diterbitkan: FIB UI, 2022.

Mrazek, Rudolf. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Padmo, Soegijanto. Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media., 2004.

Poeze, Harry A. Politiek-politioneele overzichten van Nederlandsch-Indië: 1931-1934 Leiden: KITLV Press., 1988.

Republik Indonesia. Daerah Istimewa Jogjakarta. Jakarta: Kementerian Penerangan, 1953.

Ricklefs, M.C. Sejarah Modern Indonesia 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2007.

Scott, James C.  Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES, 1989. 

Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1997.

Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. 

Sulistyo, Bambang. Pemogokan Buruh sebuah Kajian Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana 1995. 

Soemardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Depok: Komunitas Bambu, 2009.

Soewarno, P.J. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1943-1974; Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Sunjayadi, Achmad. Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942. Jakarta: Gramedia, 2019.

White, Ben dan Peter Boomgard. Dari Krisis ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Resesi Ekonomi selama Abad ke-20. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016.


[1] Lihat M.C Ricklefs. Sejarah Modern Indonesia 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2007., hlm. 221-222. Lihat juga Djoko Suryo. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990, dalam Freek Colombijn dkk (ed). Kota Lama Kota Baru; Sejarah Kota-kota di Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2015., hlm. 33. 

[2] Dalam konsep kekuasaan Jawa terdapat beberapa poin yang menjadi dasar. Pertama kekuasaan yang bersifat kongkrit, kekuasaan yang homogen, kekuasaan atas alam semesta, dan terakhir adalah kekuasaan yang tidak memerlukan keabsahan. Lihat Benedict Anderson. The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt (Ed). Culture and Politics in Indonesia. Jakarta: Equinox Pub, 2007., hlm. 5-8. 

[3] Lihat P.J. Soewarno. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1943-1974; Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: Kanisius, 1994., hlm. 53.

[4] Pemerintah Belanda membagi Djokjakarta menjadi beberapa “regentschap” atau setingkat “kabupaten” atau “Kotamadya” sekarang. Regentschap dibagi menjadi beberapa “district” (atau setingkat kecamatan) dan district dibagi menjadi beberapa “Onderdistricten” (setingkat desa/kalurahan). Lihat Gegevens Over Djokjakarta 1925., hlm. 138-145.

[5] Pembagain wilayah administratif ini bertahan sampai sekarang. Lihat P.J. Soewarno, op.cit., hlm. 53.

[6] Volkstelling 1930 Deel II, Inheemsche Bevolking van Midden-Java en de Vorstlenlanden, (Batavia: Departement van Economische Zaken, 1934), hlm. 136-139.

[7] Bambang Purwanto, “In Search of New Opportunities: The Indonesianisasi of Economic Life in Yogyakarta in the 1950s”, dalam Journal Masyarakat Indonesia, vol. 39, No. 2, 2017, hlm. 365.

[8] Lihat Hasbi Marwahid. Berwisata setelah Perang: Strategi Pemerintah dalam Membangun Pariwisata di Yogyakarta 1954-1966. Tesis tidak diterbitkan: FIB UI, 2022.

[9] Sistem ini dihapus dengan kebijakan reorganisasi dan hak conversie oleh pemerintah kolonial pada tahun 1912. Lihat Farabi Fakih dkk (Peny). Bersinergi dalam Keistimewaan; Peran Bank Indonesia dalam Pembangunan Ekonomi Yogyakarta. Jakarta: BI Institute, 2020., hlm. 98-99. Lihat juga Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. 

[10] Industri ini mempunyai 2 bagian yang berbeda yakni perkebunan dan pabrik. Perkebunan ini membutuhkan tanah yang subur dengan sistem irigasi yang terbaik. Lihat Selo Soemardjan. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Depok: Komunitas Bambu, 2009. hlm. 310. Lihat Majalah Kalawarti “Ekonomi”. No.1-2 Tahun VIII, 1955., hlm. 10-11. 

[11] Lihat juga Selo Seomardjan., op.cit., hlm. 316-317. 

[12] Ibid., hlm. 309-310.

[13] Selo Soemardjan., op.cit., 310.

[14] Anton Haryono. Mewariskan Tradisi Menemukan Solusi; Industri Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta masa Kolonial (1830-an-1930-an). Yogyakarta: Penerbit USD, 2015.

[15] Selo Soemardjan., op.cit., 316.

[16]Algemeen Verslag der Residentie Djogjakarta 1890”, ANRI, Arsip Djogja, bundle 5.

[17] Rudolf Mrazek. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006., hlm. hlm. 8-11.  Lihat juga Achmad Sunjayadi. Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942. Jakarta: Gramedia, 2019., hlm 20.

[18] William Joseph O’ Malley. “Indonesia di masa Malaise: Suatu studi terhadap Sumatera Timur dan Yogyakarta di tahun 1930-an”. Prisma No. 8, Tahun XII Agustus 1983. Terkait dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat petani lihat E. de Vries. Pertanian dan kemiskinan di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.

[19] James C. Scott.  Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES, 1989.

[20] Ibid.

[21] Bambang Sulistyo. Pemogokan Buruh: sebuah Kajian Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana 1995., hlm. 66-68.

[22] Takashi Shiraishi. Zaman Bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1997, hlm. 22-23.

[23] Ibid., hlm. 23-24.

[24] Di Yogyakarta pada tahun 1882 terjadi pemogokan berturut-turut. Gelombang pertama berlangsung sejak awal minggu terakhir bulan Juli 1882 sampai tanggal 4 Agustus 1882, melanda empat pabrik gula. Gelombang kedua berlangsung dari tanggal 5 Agustus sampai 22 Agustus melanda 5 pabrik dan perkebunan. Gelombang ketiga berlangsung dari 23 Agustus sampai pertengahan Oktober 1882 melanda 21 perkebunan. Lihat Djoko Utomo, “Pemogokan Buruh Tani di Abad ke-19: Kasus Yogyakarta,” Prisma, 8 Agustus 1983., hlm. 68-78.

[25] Pembakaran lahan perkebunan tebu juga pernah terjadi jauh sebelumnya misalnya pada 23 agustus 1882 yang mana terdapat laporan dari Demang Sadimeja polisi Bang Malang kepada lurah Mas Polisi Wangsadirja Polisi Distrik Sewugalur Kulon Progo, tentang keluhan masyarakat pegunungan mengenai terbakarnya tebu di sebelah utara dusun Kerbangan. Lihat Arsip Puro Pakualaman masa Pemerintahan PA V No 7.

[26] Takashi Shiraishi. op. cit., hlm. 219-221.

[27] Ibid.

[28] Arsip Puro Pakualaman kurun waktu 1822-1936, No 155.

 

[30] Ben White. Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta 1930-an, 1960-an, dan 1990-an, dalam Ben White dan Peter Boomgard. Dari Krisis ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Resesi Ekonomi selama Abad ke-20. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016., hlm. 224.

[31] Soegijanto Padmo. “Depresi 1930an dan Dampaknya terhadap Hindia Belanda”, dalam Jurnal Humaniora, No. 2, 1991., hlm. 153-154. 

[32] Republik Indonesia. Daerah Istimewa Jogjakarta. Jakarta: Kementerian Penerangan, 1953., hlm. 528. 

[33] Lihat Kaart van de Residentie Djocjakarta, 1857 / tezamengesteld door W.F. Versteeg; geteek. Cronenberg en Wolff https://nla.gov.au/nla.obj-230934882/view

[34] Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 27 Desember 1928.

[35] Gegevens over Djokjakarta 1926., hlm. 116.

[36] Toelichting behoorende bij de kaart van de residentie Jogjakarta 1892., hlm. 1-9.

[37] Departement Van Economische Zaken, Volkstelling 1930 Deel III: Inheemsche Bevolking Van

Midden-Java En De Vorstenlanden. Batavia Centrum: Landsdrukkerij, 1934., hlm. 136-137.

[38] Yudi Prasetyo. Dari Pikulan ke Kelontong: Tionghoa dan Toko Kelontong Yogyakarta 1900 – 1942. ENTITA: Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial. Vol. 2 No. 1, Juni 2020., hlm. 69-70.

[39] Lihat peta persebaran pabrik gula dan tembakau di atas. Lihat juga Kaart der suikerfabrieken, spoor- en tramwegen van Java en Madoera (bijgewerkt tot 1 Juni 1925) http://hdl.handle.net/1887.1/item:2011835

[40] Perusahaan-perusahaan besar yang ada di Yogyakarta pada awalnya merupakan perusahaan keluarga (kreol) orang Eropa yang memanfaatkan kedekatan mereka dengan pihak Kraton. Ulbe Bosma. Sugar and Dynasty in Yogyakarta., dalam Ulbe Bosma (ed). Sugarlandia Revisited: Sugar and Colonialism in Asia and the Americas, 1800-1940. New York: Berghahn Books, 2007., hlm. 80-82.

[41] Soegijanto Padmo. Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media., 2004., hlm. 92-93.

[42] Decauville: penggunaan serangkaian rel bersepur sempit yang telah diikat ke bantalan baja, sehingga rangkaian rel tersebut dapat dibongkar pasang dan diangkut dengan mudah.

[43] Koloniaal Verslag 1914. Nederlandsch (oost-) indië., Bijlage NN. hlm. 11.

[44] “Nieuwe cultures de rosella-cultuur in de Vorstenlanden”, De Avondpost, 05 Juli 1936.

[45] Brinkmans Cultuur-Adresboek Voor Nederlandsch-Indië: 1939., hlm. 233.

[46] James C. Scott., op. cit., hlm. 40-41

[47] Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991., hlm. 4-5.

[48] Darmo-Kondo No. 104, Tahun ke-VI, Sabtu, 9 September 1916.

[49] De nieuwe Vorstenlanden, 25 April 1922

[50] De Indische Courant, 19 April 1932 

[51] Mustika, No. 56, Tahun I, Rabu 08 Juli 1931.

[52] De Indische courant, 11 April 1924.

[53] Sartono Kartodirdjo. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

[54] Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 02 April 1936.

[55] Pikul adalah satuan berat yang biasa digunakan oleh para petani, selain pikul ada juga gendong.1 Pikul= 62,5 kg dan 1 gulden/florin= 100 sen. Lihat Koleksi Arsip Binnenlandsch Bestuur 1931, hlm. 19.

[56] De Sumatra post, 11 April 1936. Soerabaijasch handelsblad 03 April 1936.

[57] Pemandangan, No.3 Tahun ke-5, Selasa 5 Januari 1937. Lihat juga Mata-hari, No.2 Tahun 4, Senin, 4 Januari 1937.

[58] Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 19-06-1937 

[59] Sartono Kartodirdjo. op. cit., hlm. 15.

[60] Suryomentaram menerapkan ajaran “ilmu bedjo”, bahwa semua orang harus hidup dalam harmoni dan berbagi kemakmuran dan kesulitan, dalam perkumpulan koperasi. Ia menyusun peraturan windoe kentjono. Berdasarkan peraturan ini, koperasi di Jawa Tengah (Salatiga, Yogyakarta, dan Surakarta) tidak menggunakan keuntungan mereka untuk dibagikan di antara anggotanya tapi untuk tujuan sosial dan filantropi (bantuan pernikahan dan khitanan, pajak, dan lain-lain). Lihat Harry A. Poeze. Politiek-politioneele overzichten van Nederlandsch-Indië: 1931-1934 Leiden: KITLV Press., 1988.

[61] De locomotief 28 Mei 1936. Bahkan surat Kabar Deli Courant mengkritik bahwa apa yang terjadi di Piyungan terkesan ditutup-tutupi dan tidak terbuka informasinya. Lihat Deli courant, 09 April 1936

[62] Lihat Uitkomsten Der In De Maand November 1920 Gehouden Volkstelling Dell II. Drukkerijen Ruygrok & Co, 1922.

[63] Lihat Departement Van Economische Zaken, Volkstelling 1930 Deel III: Inheemsche Bevolking Van

Midden-Java En De Vorstenlanden. Batavia Centrum: Landsdrukkerij, 1934.